Oleh: Fahmi Salim
Hidayatullah.com | KENAPA Baitul Maqdis belum bisa dibebaskan oleh umat Islam dari penjajahan Zionis ‘Israel’? Pertanyaan ini tentu menampar kita semua, sekaligus jadi bahan untuk evaluasi diri. Sebagai bangsa Indonesia, kita telah mendeklarasikan perlawanan segala bentuk penjajahan di muka bumi ini, bahkan sebagai seorang muslim, kita juga terikat dengan komitmen keimanan untuk merawat jejak kenabian ‘Isra-Mi’raj’ di Baitul Maqdis (Jerusalem).
Pembebasan kota suci ini sudah dirintis oleh baginda Rasulullah ﷺ dan berhasil diwujudkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Pada saat itulah, Baitul Maqdis selama 462 tahun (637 M-1099 M) menjadi negeri yang damai, bahkan rumah bagi pemeluk 3 agama: Islam, Yahudi dan Nasrani.
Sejak Baitul Maqdis lepas dari umat Islam, tepatnya sejak Inggris menjajah tanah suci itu pada tahun 1917 setelah kekalahan Turki Usmani di Perang Dunia I. Maka, mulailah terjadi gelombang kedatangan bangsa Yahudi besar-besaran ke Palestina, hingga berdirinya Negara ‘Israel’ pada tahun 1948, dengan mengambilalih secara paksa sebagian wilayah Palestina.
Zionis ‘Israel’ terus berusaha mewujudkan cita-citanya mendirikan ‘‘Israel’ Raya’, yang wilayah kekuasaannya membentang dari Sungai Nil di Barat, hingga Sungai Eufrat di Timur, yang terdiri dari Palestina, Lebanon, Suriah Barat dan Turki Selatan. Itulah batas wilayah yang dicita-citakan oleh Theodore Hertzel, pendiri Zionisme ‘Israel’, yang disimbolkan dalam 2 garis biru yang mengapit bintang David di bendera resmi ‘Israel’.
Karena ambisi inilah, Baitul Maqdis atau Jerusalem ditetapkan sebagai ibukota ‘Israel’ secara sepihak disokong sepenuhnya oleh Donald Trump dengan pemindahan Kedubes USA ke Al-Quds di Jerussalem Timur tahun 2017. Kemudian, Perdana Menteri ‘Israel’ Benyamin Netanyahu mengumumkan rencana aneksasi wilayah Tepi Barat dan daerah strategis Lembah Yordan pada 1 Juli 2020.
Zionis ‘Israel’ ingin memperluas wilayah jajahannya berdasarkan proposal perdamaian Presiden AS Donald Trump yang disebutnya “Deal of Century” (Kesepakatan Abad Ini). Proyek perluasan pemukiman Yahudi merupakan tindakan ilegal dan merusak upaya kemerdekaan Palestina.
Rencana ini ditentang oleh sejumlah negara, termasuk PBB dan Uni Eropa yang mengecam rencana aneksasi ini, selain melanggar hukum Internasional, juga akan menghambat kesepakatan damai dalam konflik ‘Israel’-Palestina. Bahkan, lebih dari 800 orang Yahudi di Inggris juga menandatangani surat terbuka penolakan pencaplokan Tepi Barat oleh ‘Israel’.
Rencana aneksasi ‘Israel’ terhadap Tepi Barat makin memperluas proyek pemukiman Yahudi. Wilayah Tepi barat yang lebih dari 80 persen dihuni warga Palestina dan sisanya diisi pemukiman yahudi yang fasilitas kotanya jauh lebih baik, dan selalu dijaga tentara ‘Israel’.
Maka, secara bertahap komposisi penduduk Yahudi akan lebih banyak dibanding warga Palestina. Akibat aneksasi ‘Israel’, orang-orang Palestina akan kehilangan tanah pertanian dan sumber daya air, terutama di wilayah Lembah Yordan. Suatu saat, orang-orang Palestina pun akhirnya akan terusir total dari negerinya sendiri.
Hikmah dari wabah Pandemi Covid 19, untuk sementara ‘Israel’ menunda proyek aneksasi ini, karena pemerintah ‘Israel’ tengah kesulitan mengatasi wabah. Tapi, apakah rencana aneksasi ini akan dibatalkan? “Walaupun ditunda, rencana ini akan terus dilakukan oleh ‘Israel’,” ungkap Dr. Fadli Zon, Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI yang disampaikannya dalam program Ngaji Syar’ie (NGESHARE), “Ngaji Dulu, Alim Kemudian.”
Meskipun melanggar hukum dan norma Internasional, Amerika Serikat selalu mendukung ‘Israel’. Tak peduli, hak-hak rakyat Palestina telah dirampas, dengan mengusirnya dari tanah leluhurnya sendiri.
Karena itulah, upaya untuk menentang penjajahan ‘Israel’ tidak boleh kendor. Fadli Zon telah menginisiasi penggalangan dukungan parlemen-parlemen dunia untuk menolak aneksasi Tepi Barat Palestina oleh ‘Israel’.
Petisi ini sudah ditandatangani lebih dari 300 anggota parlemen, dari Amerika, Inggris, dan beberapa negara di Timur Tengah. Tak cukup itu, sebagaimana biasanya berbagai protes terhadap kekejaman Zionis ‘Israel’ tak pernah didengar.
Menurut Fadli Zon, perlu ada terobosan baru dari organisasi internasional dalam penyelesaian konflik Palestina dan ‘Israel’, misalnya,pengucilan secara sosial, ekonomi, dan politik terhadap ‘Israel’.
Indonesia sejak awal berkomitmen untuk menentang penjajahan ‘Israel’ terhadap Palestina, meskipun menurut Fadli Zon, perhatiannya masih naik turun dengan derajatnya yang berbeda-beda di setiap era kepemimpinan nasional. Seharusnya Indonesia mampu memainkan peran penting dalam berbagai isu di Palestina, misalnya menjadi katalisator untuk bersatunya antara faksi Hamas dan Fatah dalam menghadapi penjajahan ‘Israel’. “Politik Luar negeri Indonesia itu bebas aktif, harus kembali lebih diaktifkan,” tegas mantan Wakil Ketua DPR RI.
Saat ini, beberapa negara yang vokal membela Palestina, adalah Turki, Kuwait, Qatar dan Tunis. Posisi Fadli Zon, menurut Dzikrulloh W. Pramudya dari Sahabat Al Aqsha—yang juga menjadi narasumber dalam program Ngeshare, sangat strategis untuk menyuarakan nasib bangsa Palestina. Karena, posisinya sebagai Wakil Presiden Liga Parlemen Dunia untuk Al Quds yang terpilih dalam konferensi ketiga organisasi parlemen dunia di Selangor, Malaysia pada awal Februari 2020 lalu. Liga parlemen dunia terdiri dari 700 anggota parlemen dari 70 negara, yang saat ini dipimpin oleh Syekh Hamid Abdulloh al-Ahmar, dari Parlemen Yaman.
Selain lobi-lobi politik untuk melawan penjajah Zionis ‘Israel’ juga dibutuhkan kesadaran umat Islam dunia untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina. Tak hanya bantuan ekonomi, juga penyebaran informasi yang benar, apa yang sesungguhnya terjadi di Palestina.
Mengutip pendapat Prof. Abdul Fattah el-Awaisi, seorang ilmuwan asal Palestina, yang juga pendiri Pusat Studi Baitul Maqdis dan Islamic-Jerusalem Research Academy (ISRA), bahwa bahwa salah satu penyebab utama mengapa tanah yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an sebagai tanah berkah ini belum dibebaskan adalah karena bencana pengetahuan yang kini melanda umat Islam. Bencana pengetahuan disebutnya sebagai ‘An-Nakbah Al-Ma’rifiyyah’.
Umat Islam belum mampu membebaskan Baitul Maqdis, karena hilangnya ilmu dan pengetahuan hakiki dari kaum Muslim tentang keberkahan, keutamaan, dan kebenaran sejarah Baitul Maqdis. Karena, selama satu abad, Zionis ‘Israel’ berusaha menutupi identitas Baitul Maqdis. Karena itulah, menurut Dzikrulloh, Institut Al-Aqsa untuk Riset Perdamaian (ISA) mengumpulkan makalah-makalah pilihan terkait Baitul Maqdis untuk menjadi rujukan ilmiah tentang Baitul Maqdis dalam sebuah buku, yang diberi judul “Buku Emas Baitul Maqdis”.
Meneladani jejak perjuangan Rasulullah ﷺ, operasi militer untuk membebaskan Baitul Maqdis tidaklah lama. Namun, Rasulullah lebih dulu menanamkan akidah terhadap para sahabatnya, termasuk keyakinan bahwa Baitul Maqdis yang saat itu dikuasai Imperium Romawi Timur akan dikuasai umat Islam. Tak terbayangkan kala itu, kekuatan baru muncul dari negeri Hijaz di tengah kekuatan besar dua negeri adi daya, Romawi dan Persia.
Pembebasan Baitul Maqdis dimulai saat Rasulullah ﷺ mengirim Dihyah bin Khalifah al-Kalbi membawa surat ajakan masuk Islam kepada Heraclius Kaisar Romawi, yang saat itu tengah berada di Baitul Maqdis. Dihyah sengaja tak mendatangi Konstantinopel yang menjadi Ibukota Romawi Timur Bizantium, seolah-olah memberikan pesan inilah kota yang akan dibebaskan umat Islam.
Jauh sebelum itu, peristiwa Isra Mi’raj, perjalanan nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha juga mempertegas jejak nabi di kota suci itu selamanya harus menjadi milik umat Islam, bahkan sebelum mi’raj ke Sidratul Muntaha, Rasulullah ﷺ memimpin shalat bersama para nabi di Baitul Maqdis.
Pasca kokohnya negara Madinah sebelum dan setelah Fathu Makkah, Rasulullah ﷺ memimpin langsung operasi militer untuk membebaskan Baitul Maqdis terjadi pada perang Mu’tah, dan dilanjutkan dengan perang Tabuk. Sebelum wafat, Rasulullah sudah menyiapkan pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid, putra dari Zaid bin Haritsah yang gugur dalam perang Mu’tah.
Rasulullah ﷺ memerintahkan Usamah berangkat menuju Syam, tepatnya di wilayah Abna-Palestina, yang saat itu masih dikuasai oleh pasukan Romawi. Misi ini terhenti karena Rasulullah wafat, kemudian dilanjutkan lagi pada masa Khalifah Abu Bakar. Karena masih berusia muda, 17 tahun, Usamah sempat diragukan kemampuannya oleh para sahabat nabi.
Namun, Abu Bakar berkata di hadapan mereka. “Berangkatlah pasukan Usamah, sesungguhnya aku tidak peduli jika binatang-binatang buas akan menerkam dan mencabik-cabikku di Madinah karena berangkatnya pasukan tersebut. Sesungguhnya telah turun wahyu kepada Nabi Muhammad, ‘Berangkatkan pasukan Usamah!!’, dan aku tak akan mengubah keputusan (wasiat) beliau”.
Itulah rangkaian puzzle strategi politik-militer yang dirancang oleh Rasulullah dengan bimbingan wahyu Allah, untuk membebaskan Baitul Maqdis dari tirani Romawi. Wasiat nabi ini juga diitujukan untuk kita semua. Sebagaimana pendapat Prof. Abdul Fattah el-Awaisi, mulailah dengan ‘jihad pengetahuan’ untuk memahami Baitul Maqdis yang harus dilakukan oleh seluruh individu yang beriman.
Ikhtiar ini sudah bukan lagi fardhu kifayah yang bisa diwakili sebagian orang, melainkan fardhu ‘ain yang merupakan kewajiban setiap orang. “Sebenarnya bukan Baitul Maqdis yang butuh bantuan kita, tapi kita lah yang membutuhkan Baitul Maqdis,” tegas Dzikrulloh.
Rencana aneksasi Tepi Barat bisa jadi inilah awal Zionis ‘Israel’ menggali kuburannya sendiri. Karena, rakyat Palestina makin bersatu untuk melakukan perlawanan. Syeikh Ahmad Yasin, pendiri Hamas yang syahid dirudal ‘Israel’, pernah memprediksi bahwa kekuasaan ‘Israel’ akan berakhir pada tahun 2027.
Dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera, beliau menjelaskan, “Al-Quran menyebutkan, lahirnya generasi yang baik perlu 40 tahun. Nakba sudah lewati masa 40 tahun (sejak 1947-1987), nanti ditambah Intifadhah 40 tahun (sejak 1987), maka di tahun 2027 in syaa Allah ‘‘Israel’’ End (selesai).”
Buku Emas Baitul Maqdis menawarkan 2 solusi permanen dan jangka panjang bagi konflik peradaban yang berlangsung sejak 1917 ini. Sebab, khazanah keilmuan dan sejarah umat Islam lebih kaya dan lebih sukses dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena terbukti dalam sejarah mampu menyelesaikan persoalan pelik yang sudah berabad-abad beralangsung, yaitu ‘Solusi Umar’ (berlaku 462 tahun, 637 M-1099 M) dan ‘Solusi Salahuddin’ (berlaku 730 tahun, 1187 M-1917 M).
Solusi Umar dan Solusi Salahuddin itu tak lain adalah solusi yang mengikuti wahyu: sunnah dan arahan Rasulullah ﷺ. Ringkasan tahapannya begini: memperbaiki dan menguatkan umat dalam aspek akidah, keilmuan, kecerdasan, keterampilan, ketangguhan dan kesiapsiagaan pasukan perdamaian muslimin sedunia; lalu dengan bergantung kepada pertolongan Allah ta’ala saja, mengerahkan dirinya dalam jihad menyebarluaskan rahmat Allah ke seluruh alam. Sampai Allah menentukan hari kemenangan, yang bukan hanya dinikmati oleh umat Islam, tetapi seluruh umat manusia apapun agama dan etnisnya akan merasakan perdamaian yang kekal abadi dan bermartabat.
Itulah yang dibuktikan oleh ‘Solusi Umar’ yang memantapkan perdamaian di Baitul Maqdis selama 462 tahun, dan ‘Solusi Salahuddin’ yang mengokohkan pondasi perdamaian itu selama 730 tahun, dimana Muslim, Yahudi dan Nasrani hidup berdampingan secara aman dan damai.
Saatnya, kita bertanya kepada diri sendiri, peran apa yang kita lakukan untuk Baitul Maqdis. Indonesia adalah negeri berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, seharusnya secara akidah, moral, ilmu, diplomasi dan materil yang terdepan dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina. Takbiiir..! Wallohu ‘alam.*
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI. Artikel diolah dari program Ngeshare Bersama Dr. H. Fadli Zon, M.Sc dan Dzikrullah W.