Hidayatullah.com | FITRAH manusia menunjukkan bahwa sesungguhnya kita tidak dapat hidup sendirian. Kita butuh bantuan orang lain. Sayang, bila mata gelap, pikiran kalut, hati telah terisi dengan dendam dan benci segalanya menjadi serba gelap.
Nasehat tak lagi diindahkan. Iman tertutup oleh hiasan syetan. Dan sering terjadi, agama sebagai pedoman tertinggi dalam kehidupan dicampakkan begitu saja.
Allah subhanahu wata’ala memberi kita mata, tapi seringkali tertutupi oleh silaunya dunia. Allah memberi telinga, tapi seringkali tersumbat oleh kepuasan dunia. Allah telah memberi hati, tapi seringkali terkotori dan ternodai oleh lumpur kemaksiatan.
Hal ini menjadikan kita sulit membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Mana jalan menuju keimanan dan mana jalan menuju kekufuran. Dan mana jalan keadilan dan mana jalan kedhaliman.
Dalam kondisi yang serba gelap seperti ini, kita hanya membutuhkan campur tangan Allah semata. Kita sudah tidak dapat lagi berharap kepada selain Allah.
Dunia telah dilanda kemunafikan, dan hilangnya kesucian ruhani. Bahasa-bahasa indah, telah ternodai dengan bahasa-bahasa yang tercemari. Komunikasi ilahiah telah diganti dengan komunikasi syetaniah. Wa kafaa billahi syahida, wa kafaa billahi waliya. (Dan cukup Allah yang menjadi saksi dan cukup Allah sebagai pelindung).
Konon di semua orang di dunia menginkan tegaknya hukum, sebagai salah satu ciri puncak keadilan. Tapi seringkali pula hukum itu dikotori oleh segelintir manusia yang diliputi nafsunya.
Pelaksanaan hukum yang suci ternodai oleh sifat rakus dan serakah para pelaksana hukumnya. Sehingga penegakan hukum kembali mentah.
Fungsi hukum bagaikan ‘sarang laba-laba’. Ia tidak lagi mampu menjaring yang besar-besar, melainkan hanya menangkap yang kecil-kecil saja. Itu pun harus diikuti dengan tindakan dan sikap yang kurang mendidik.
Bila zaman sudah sedemikian keruhnya dengan segala kehancuran akhlak dan hilangnya tata krama dalam kehidupan, apa bedanya masyarakat jahiliyah dulu dengan masyarakat modern sekarang ini?
Jikalau, keadaan sudah demikian, tidak ada lagi alternatif kecuali kita harus kembali kepada ajaran agama. Menghidupkan kembali dimensi transenden Al-Qur’an sebagai blue print Ilahi.
Kita mesti sadar bahwa keadilan itu indah. Keadilan sangat diperlukan dalam kehidupan.
Tanpa keadilan jalannya kehidupan akan timpang. Keadilan adalah sebuah niat yang tulus dalam beramal. Keadilan adalah sebuah fikrah yang bersih dari segala kepentingan pribadi. Keadilan adalah sebuah hati yang telah tersucikan dari virus kemaksiatan dan kedhaliman.
Sayyidina Ali dan Baju Besi
Untuk membicarakan soal keadilan kiranya tepat bila sebuah kejadian yang pernah dialami oleh Amirulmukmin Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra dengan seorang Yahudi, dalam ‘Kasus Baju Besi’. Suatu kali Ali bin Abi Thalib menyatakan, bahwa baju besi yang dimiliki Si Yahudi itu adalah miliknya. Menurutnya baju besi itu hilang ketika ia hendak pergi ke medan Perang Siffin.
Beliau tidak ragu-ragu, meskipun baju besi seperti kepunyaannya banyak yang serupa, tetapi terhadap miliknya, belau tidak pernah lupa. Sebab baju besinya sering dipakainya dalam setiap pertempuran. Sayyidina Ali bersikukuh bahwa tidak akan lupa meski sulit untuk menunjukkan tanda-tanda pengenalnya yang pasti.
Si Yahudi itu tetap menyangkalnya. Ia tetap bertahan dan mengatakan, bahwa baju besi itu adalah kepunyaannya. Dengan tak kalah sengitnya ia mengatakan, “dir’i wa fi yadii!” (Ini baju besiku dan sekarang berada ditanganku!). Bahkan dengan sedikit agak ngotot Si Yahudi itu minta dihadapkan ke hadapan Qadhi (hakim). Baginya, hakim adalah sebuah lembaga keadilan yang tertinggi, yang dengan adilnya mampu memutuskan mana-mana yang hak dan mana-mana yang batil.
Ali bin Abi Thalib tatkala dalam mendatangi sidang tidak ada bedanya dengan warga lainnya atau masyarakat awam. Beliau tidak meminta protokoler khusus dan pengawalan.
Selaku amirulmukminin, Ali tidak melakukan kolusi dengan hakim yang menangani perkaranya. Walaupun hal itu sangat mungkin untuk dapat dilaku kannya.
Apa susahnya seorang amirulmukminin memerintahkan hakim untuk memenangkan perkaranya? Tapi itulah akhlak Ali bin Abi Thalib yang alumnus ‘Madrasah Ilahiah Rasulullah’.
Hukum harus tetap tega, yang salah tetap salah dan harus disalahkan tanpa pandang bulu. Sebaliknya yang benar tetap benar dan harus dibenarkan. Itulah ajaran Islam, itulah pesan Rasulullah ﷺ.
Suatu ketika Rasulullah pernah mengatakan, jika Fatimah binti Rasulullah ﷺ mencuri, maka beliau pasti akan memotong tangannya. Kekayaan, kedudukan, ataupun kekeluargaan tidak dapat digunakan untuk tempat bersembunyi atau untuk menyembunyikan hak dan keadilan.
Setelah siding Sayyidina Ali, Si Yahudi duduk di depan persidangan. Hakim yang bernama Syuraih lantas bertanya kepada Ali. “Ma tasya-u ya Amirulmukminin?” (Apa yang saudara kehendaki, Wahai Amirulmukminin?).
Sayyidina Ali menjawab, “Itu soal baju besiku yang jatuh dari untaku, yang kemudian diambil oleh orang Yahudi ini!”
Lalu Syuraih bertanya kepada orang Yahudi itu, “Apa yang hendak kau katakan?” Ia menjawab, “Ini benar-benar baju besiku dan sekarang berada di tanganku!.”
Setelah itu sang hakim berkata, “Amirulmukminin benar, baju besi itu adalah milik saudara (Ali, red). Akan tetapi untuk membuktikan kebenaran pernyataan saudara, harus didukung dengan dua orang saksi. Dan dari dua saksi itu harus benar-benar pernah menyaksikan, bila baju besi itu benar-benar milik saudara!”
Maka, Sayyidina Ali mengajukan dua orang saksi, yaitu pembantunya yang bernama Qanbar dan putranya sendiri Hasan bin Ali. Syuriah menerima kesaksian Qanbar, tetapi ia tidak mau menerima kesaksian Hasan bin Ali.
“Kesaksian Qanbar saya benarkan, tetapi kesaksian Hasan bin Ali tidak dapat saya terima karena ia adalah putra saudara sendiri!,” demikian kata hakim.
Ali bin Abi Thalib lalu berkata, “Tidaklah saudara Hakim pernah mendengar bahwa Umar bin Khaththab pernah berkata, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, ‘al-Hasan dan Husein adalah pemimpin di Surga’?”
Dengan suara yang lembut tapi penuh wibawa Syuraih menjawab, “Allahumma na’am” (Ya Allah, memang benar). Kemudian Ali bertanya lagi dengan tutur kata yang indah, tanpa menunjukkan kejengkelan sedikitpun pada Sang Hakim meski kesaksian putranya tidak diterima.
“Masihkah tidak dapat diterima kesaksian pemimpin pemuda di Surga ini (Hasan, red)?”
Namun, Syuraih masih tetap dalam pendiriannya bahwa ia tidak dapat menerima kesaksian Hasan bin Ali. Akhirnya hakim itu menghukum Sayyidina Ali bin Abi Thalib tanpa melihat kedudukannya sebagai amirulmukminin. Dengan tegas hakim mengatakan bahwa baju besi itu adalah kepunyaan Si Yahudi itu.
Sayyidina Ali tidak angkat bicara lagi. Beliau tidak berdaya untuk melawan peraturan dan undang-undang. Beliau akhirnya menerima keputusan hakim itu dengan senang hati.
Sayyidina Ali menyadari bahwa beliau tidak dapat menghadirkan saksi yang mendukung pernyataannya. Lalu sambil tersenyum beliau berka- ta, “ashaba Syuraih ma lii bayyinatun!” (Sahabatku Syuraih kamu sungguh benar, saya tidak mempunyai bukti yang kuat).
Si Yahudi itu melihat dengan mata kepala sendiri betapa puasnya Ali bin Abi Thalib terhadap keputusan yang dijatuhkan hakim tersebut. Ia heran mengapa seorang amirulmukminin mau tunduk terhadap peraturan dan undang-undang, yang bisa saja dia langgar, karena beliau sedang berkuasa.
Melihat adegan yang mengharukan itu, Si Yahudi pun lalu berkata kepada majelis persidangan itu, “Baju besi ini benar- benar kepunyaan amirulmukminin. Di mana aku memungutnya waktu baju besi itu terjatuh dari untanya, ketika ia hendak pergi ke medan peperangan di Siffin….”
Selanjutnya orang Yahudi itu meneruskan ucapannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, “Asyhadu alla ilaaha illah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”
Dari peristiwa yang baru saja dialaminya itulah, secepat kilat si Yahudi itu mendapatkan hidayah Allah swt. Lalu dengan kesadaran ia masuk Islam. Ia terpikat oleh keadilan yang merata dalam segenap lapisan rakyat tanpa terkecuali.
Tatkala Ali mendengar Si Yahudi telah membaca syahadat, dengan segera pula beliau menyatakan, “Kalau begitu, baju besi itu kuhadiahkan kepadamu!”
Kemudian orang Yahudi itu juga dihadiahi uang oleh Sayyidina Ali sebanyak sembilan ratus dirham. Demikianlah selanjutnya, orang Yahudi itu masuk Islam dan tidak pernah ketinggalan turut berjihad bersama-sama amirulmukminin.
Peristiwa “baju besi” di atas merupakan ibrah (pelajaran) yang mestinya untuk kita tauladani bersama. Bukan sekedar cerita pengantar tidur putra-putri kita.
Ini sebuah cerita sekaligus pesan bagi kita yang baru diberi amanah oleh rakyat untuk mengem- ban tugas tertinggi di bidang keadilan itu. Karena bagaimana pun, hakekatnya tugas itu juga merupakan amanah Allah yang ‘sementara’ dipercayakan-Nya.
Marilah kita hidup di dunia ini, dengan niat yang tulus, pikiran yang bersih, dan hati yang suci. Sehingga mampu melaksa- nakan fungsi syariah secara benar dan konsekuen, karena ini merupakan keindahan tersendiri yang menjadi kebanggaan setiap insan.
Dengan demikian, tidak ada lagi kemunafikan, dusta, iri, hasud, dengki, buta jabatan, penumpukan materi, dan menghalalkan segala cara dalam kehidupan. Sebaliknya, hidup ini diisi dengan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran dalam rangka menegakkan keadilan. Semoga Allah menuntunnya.*/ Emmel M Haikal, Bulletin al-Qalam