“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)” inilah tafsir Surat Al-Baqarah 208-210
Hidayatullah.com | DALAM Surat Al-Baqarah 208-201, Allah Subhanahu Wata’ala menganjurkan orang beriman untuk masuk dalam agama Islam secara keseluruhan (kaffah). Teks lengkap suratnya sebagai berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Salam dan teman-temannya dari kalangan Yahudi yang sudah masuk Islam mereka masih mengagungkan hari Sabtu dan tidak mau makan daging unta. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan, maka biarkan kami tetap menjaga perintah hari Sabtu. Taurat adalah kitabullah, maka biarkan kami mengamalkan ajarannya pada malam hari,” maka turunlah ayat di atas.
Masuk Islam secara kaffah
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah terlihat oleh Rasulullah ﷺ membawa kitab Taurat, maka beliau memarahinya dan bersabda, “Seandainya Musa hidup sekarang, pasti dia mengikutiku.” Hal ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda;
عن أبي هريرة -رضي الله عنه- مرفوعًا: «والذي نفسُ مُحمَّد بيدِه، لا يسمعُ بي أحدٌ من هذه الأمة يهوديٌّ، ولا نصرانيٌّ، ثم يموتُ ولم يؤمن بالذي أُرْسِلتُ به، إلَّا كان مِن أصحاب النار
“Demi yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah umat ini mendengar tentang kedatanganku sebagai Nabi dan Rasul baik itu Yahudi maupun Nasrani, kemudian mati dalam keadaan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya (Al-Quran ) kecuali dia termasuk ahli neraka.” (HR: Muslim)
Allah mengecam orang-orang Yahudi yang mengambil ajaran taurat setengah dan meninggalkan setengahnya sesuai dengan kepentingan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ثُمَّ اَنْتُمْ هٰٓؤُلَاۤءِ تَقْتُلُوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُوْنَ فَرِيْقًا مِّنْكُمْ مِّنْ دِيَارِهِمْۖ تَظٰهَرُوْنَ عَلَيْهِمْ بِالْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِۗ وَاِنْ يَّأْتُوْكُمْ اُسٰرٰى تُفٰدُوْهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ اِخْرَاجُهُمْ ۗ اَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتٰبِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍۚ فَمَا جَزَاۤءُ مَنْ يَّفْعَلُ ذٰلِكَ مِنْكُمْ اِلَّا خِزْيٌ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يُرَدُّوْنَ اِلٰٓى اَشَدِّ الْعَذَابِۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ
“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (sesamamu), dan mengusir segolongan dari kamu dari kampung halamannya. Kamu saling membantu (menghadapi) mereka dalam kejahatan dan permusuhan. Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu dilarang mengusir mereka. Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Baqarah [2]: 85).
Ayat di atas diturunkan tentang perbuatan Yahudi, tetapi berlaku juga untuk umat Islam yang berbuat seperti perbuatan mereka. Yaitu mengambil sebagian dari ajaran Islam yang sesuai dengan selera mereka dan meninggalkan sebagian yang lain sesuai dengan kepentingan mereka.
Ajaran Islam mencakup 4 bidang
Akidah yang terdiri dari rukun iman, dan amalan-amalan hati, seperti yakin, khusyu, qona’ah, rasa takut, harapan, tawakkal dan ketaqwaan. Ibadah yang terdiri; shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, dzikir dan doa-doa lainnya.
Akhlak yang terdiri; akhlak kepada Allah, rasul, kepada sesama manusia, yaitu perilaku, seseorang terhadap sesama seperti, saling menghormati, empati kepada sesama, menolong orang lain yang membutuhkan dan sebagainya. Sementara muamalat terdiri dari pernikahan dan jual beli.
Sebagian ulama membagi ajaran Islam menjadi agama yang mengatur; Masalah pribadi,.
- Masalah keluarga
- Masalah masyarakat
- Masalah negara
Larangan mengikuti langkah-langkah setan
وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ
“Dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan.” (QS: Al-Baqarah: 168)
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Salam dan beberapa temannya meminta izin kepada Rasululah ﷺ untuk membaca Taurat dalam shalat dan mengejutkan sebagaian yang ada di dalamnya. Maka turunlah ayat ini, “janganlah kalian mengikuti langkah setan.”
Artinya setan mengajak dan membujuk umat Islam untuk memasukkan sesuatu yang bukan ajaran Islam ke dalam ajaran Islam.
Diriwayatkan juga bahwa ada seseorang yang datang kepada Nabi ingin masuk Islam, tetapi ia meminta izin untuk berzina. Maka Rasulullah ﷺ menegurnya dan menanyakan, bagaimana jika yang dizinahi itu adalah ibunya, anaknya atau saudaranya?
Artinya setan selalu menggoda umat Islam untuk selalu bermaksiat dan meninggalkan ajaran Islam.
Larangan mengikuti langkah setan disebutkan di dalam firman-Nya,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168).
Ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu langkah setan yang tidak boleh diikuti adalah memakan makanan yang diharamkan oleh syariat dan mengharamkan apa yang di halalkan oleh syariat. Hal ini di ditunjukkan oleh firman-Nya,
وَلَا تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ وَاِنَّهٗ لَفِسْقٌۗ وَاِنَّ الشَّيٰطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ اِلٰٓى اَوْلِيَاۤئِٕهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ ۚوَاِنْ اَطَعْتُمُوْهُمْ اِنَّكُمْ لَمُشْرِكُوْن
“Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik.” (QS: Al-Anam [6] : 121).
Tergelincirnya orang alim
فَاِنْ زَلَلْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْكُمُ الْبَيِّنٰتُ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Tetapi jika kamu tergelincir setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepadamu, ketahuilah bahwa Allah Maha-perkasa, Mahabijaksana).” (QS. Al-Baqarah [2]: 209)
Ayat di atas terdapat ancaman bagi orang-orang yang sudah mengetahui kebenaran akan diterangkan kepadanya satu kebenaran, kemudian dia berpaling dan menyeleweng dari kebenaran, maka Allah mampu menurunkan siksa-Nya dan hukuman kepadanya.
Asal kalimat (Zalaltum) dari kata zalla- yazillu- zillatan, yang artinya tergelincir. Asal penggunaannya untuk kaki, dikatakan “ kakinya tergelincir.”
Kemudian dipakai untuk menyebut orang yang salah atau tersesat,dari akidah atau pemikiran. Dikatakan “dia telah tergelincir dari akidah yang benar.”
Dalam istilah para ulama jika ada seorang alim keliru dalam memahami satu atau dua masalah penting dan berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, orang alim tersebut disebut telah tergelincir atau lebih populernya disebut dengan, “Zillatu al- Alim” ( tergelincirnya seorang alim). Kita dilarang mengikuti orang alim ketika tergelincir.
Berkata Al-Qurthubi, “ayat ini sebagai dalil bahwa hukuman orang alim ketika berbuat dosa lebih besar dan lebih berat daripada orang jahil.” Hal itu karena orang alim sudah mengetahui kebenaran, sedangkan orang jahil tidak mengetahui kebenaran sebelumnya.
Diriwayatkan bahwa Ka’ab Al Anshar (seorang pendeta Yahudi) ketika masuk Islam, dia belajar Al-Qur’an dari seseorang. Ketika membaca ayat ini, guru tersebut salah membaca akhir ayat,
فَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غفور الرحيم
Ka’ab berkata “nampaknya bacaan ini salah”. Tiba-tiba datang orang lain, kemudian Ka’ab bertanya kepada orang tersebut tentang bacaan yang benar, maka orang tersebut membaca,
فَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Ka’ab berkata “inilah yang benar.”
Ayat ini ditutup dengan dua nama Allah, Aziz dan Hakim, hal itu bahwa untuk menunjukkan bahwa orang yang alim setelah mengetahui kebenaran, kemudian sengaja menyeleweng atau berpaling darinya, maka Allah mampu menurunkan siksanya (Aziz) tetapi siksanya tetap adil dan bijak (Hakim).
Menunggu awan yang membawa azab
هَلْ يَنْظُرُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيَهُمُ اللّٰهُ فِيْ ظُلَلٍ مِّنَ الْغَمَامِ وَالْمَلٰۤئِٕكَةُ وَقُضِيَ الْاَمْرُ ۗ وَاِلَى اللّٰهِ تُرْجَعُ الْاُمُوْر
“Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu kecuali datangnya (azab) Allah bersama malaikat dalam naungan awan, sedangkan perkara (mereka) telah diputuskan. Dan kepada Allah-lah segala perkara dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 210)
Ayat di atas ditujukan kepada orang-orang yang belum mau masuk Islam, padahal tanda-tanda dan bukti kebenaran Islam sudah disampaikan kepada mereka. Mereka tidaklah menunggu kecuali azab dari Allah.
Maksud datangnya azab Allah ada dua penafsiran :
Pertama, azab itu berupa awan, yang mereka anggap akan membawa hujan, tetapi membawa azab yang sangat pedih. Ini seperti dalam firman-Nya,
فَلَمَّا رَاَوْهُ عَارِضًا مُّسْتَقْبِلَ اَوْدِيَتِهِمْ قَالُوْا هٰذَا عَارِضٌ مُّمْطِرُنَا ۗبَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهٖ ۗرِيْحٌ فِيْهَا عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍۢ بِاَمْرِ رَبِّهَا فَاَصْبَحُوْا لَا يُرٰىٓ اِلَّا مَسٰكِنُهُمْۗ كَذٰلِكَ نَجْزِى الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Maka ketika mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita.” (Bukan!) Tetapi itulah azab yang kamu minta agar disegerakan datangnya (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, sehingga mereka (kaum ‘Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (QS: Al-Ahqaf [46] : 24-25 )
Kedua, azab ini datang pada hari kiamat, ini seperti firman-Nya,
هَلْ يَنْظُرُوْنَ اِلَّآ اَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلٰۤئِٕكَةُ اَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ اَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ اٰيٰتِ رَبِّكَ ۗيَوْمَ يَأْتِيْ بَعْضُ اٰيٰتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا اِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ اٰمَنَتْ مِنْ قَبْلُ اَوْ كَسَبَتْ فِيْٓ اِيْمَانِهَا خَيْرًاۗ قُلِ انْتَظِرُوْٓا اِنَّا مُنْتَظِرُوْنَ
“Yang mereka nanti-nantikan hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka, atau kedatangan Tuhanmu, atau sebagian tanda-tanda dari Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu. Katakanlah, “Tunggulah! Kami pun menunggu.” (QS. al-Anam [6]: 158).
Abu Yahya berkata, “Para malaikat datang di bawah naungan awan, sedang Allah datang sesuai dengan kehendak-Nya. ini seperti dalam firman Allah,
وَيَوْمَ تَشَقَّقُ السَّمَاۤءُ بِالْغَمَامِ وَنُزِّلَ الْمَلٰۤئِٕكَةُ تَنْزِيْلًا
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) langit pecah mengeluarkan kabut putih dan para malaikat diturunkan (secara) bergelombang.” (QS. Al-Furqan [25]: 25).*/Dr. Ahmad Zain An Najah, M.A, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI) , www.ahmadzain.com