Riya’ adalah virus perusak amal, sementara popularitas adalah sesuatu yang sangat ditakuti dan dijauhi oleh para sahabat Nabi ﷺ
Hidayatullah.com | SUDAH jamak kita ketahui, bahwa syarat diterimanya amal itu ada dua. Pertama ikhlas karena Allah dan Ittiba’ (mengikuti tuntunan Rasulullah ﷺ).
Ikhlas dalam beramal merupakan ruh bagi amal itu sendiri. Artinya, amalan yang dikerjakan oleh seorang hamba tidak bernilai apa-apa di hadapan Allah kalau tidak ada keikhlasan di dalamnya.
Ia ibarat jasad yang teronggok tanpa nyawa, mati. Kenapa keikhlasan bisa hilang dan terkikis dari suatu amal ibadah? ada beberapa sebab yang melatarinya, diantaranya;
1. Keinginan beramal untuk dilihat manusia (Riya’ )
Keinginan beramal dengan maksud agar dilihat oleh orang lain adalah riya’ yang dicela dalam agama. Riya’ adalah keinginan hawa nafsu untuk memperoleh bagian duniawi dalam sebuah amal yang seharusnya diniatkan ikhlas untuk Allah semata.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa yang berharap pertemuan dengan Robb-nya, maka hendaklah ia beramal sholih dan janganlah berbuat syirik dalam ibadah kepada-Nya.” (QS: Al-Kahfi 110)
Inilah riya’ yang juga disebut sebagai syirkul khofy (kesyirikan yang tersembunyi) karena begitu lembut dan samarnya sehingga pelakunya sering tidak menyadari keberadaannya. Inilah perkara yang sangat ditakutkan oleh Rasulullah ﷺ karena begitu besar daya rusaknya terhadap pahala amal ibadah seseorang.
Abu Sa’id al-Khudry menceritakan, suatu ketika ia bersama Rasulullah ﷺ menyebut-nyebut tentang Dajjal. Lalu Baginda Rasulullah ﷺ bersabda,
ألا أُخْبرُكُمْ بما هوَ أخْوَفُ عليكُمْ عندي من المسيحِ الدَّجالِ؟»، قالَ: قُلنا: بَلَى، فقالَ: «الشِّرْكُ الخَفِيُّ، أنْ يقومَ الرَّجُلُ يُصلِّي فيُزَيِّنُ صلاتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ»
“Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang lebih aku takutkan dari Al-Masih Dajjal? Ia (Abu Sa’id) berkata; kami pun mengatakan ‘Tentu’. Lalu beliau bersabda, “Yaitu syirik khofy (syirik yang samar), ketika seseorang melakukan shalat lalu ia membagus-baguskan shalat ketika dilihat oleh orang lain.” (HR: Ibnu Majah)
Riya’ tergolong salah satu bentuk kesyirikan, yaitu syirik kecil. Meski disebut syirik kecil, riya’ tergolong dosa besar yang bisa menghapus pahala amal seseorang pada hari kiamat. Seorang Sahabat Nabi yang bernama Syaddad bin Aus mengatakan,
(كُنَّا نَعُدُّ على عهدِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أنَّ الرِّياءَ الشِّرْكُ الأصْغَرُ)
“Sesungguhnya kami pada masa Rasulullah ﷺ menganggap bahwa riya’ adalah syirik kecil.” (HR: Hikam).
Diriwayatkan dari Mahmud bin Lubaid, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda;
إنَّ أخْوَفَ ما أخافُ عليكُمُ الشِّرْكُ الأصْغَرُ، قالوا: وما الشِّرْكُ الأصْغَرُ يا رسولَ اللهِ؟ قالَ: الرِّيَاءُ، يقولُ اللهُ عَزَّ وجَلَّ لهم يومَ القيامةِ: إذا جُزِيَ الناسُ بأعمالِهِمْ: اذهَبُوا إلى الذينَ كُنتُمْ تُراءُونَ في الدُّنيا فانظُرُوا هلْ تَجِدُونَ عندَهُمْ جَزَاءً
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yaitu Riya’ , kelak Allah Azza wa Jalla akan berkata kepada mereka (orang-orang yang riya’ ) pada hari kiamat ketika manusia-manusia sudah dibalas amal perbuatannya, ‘pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian ingin dilihat oleh mereka (riya’ ) di dunia lalu lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari sisi mereka!” (HR: Ahmad)
2. Menyukai Ketenaran atau Popularitas (Syuhroh)
Al-Quran memperingatkan umat manusia agar tidak tertipu oleh kepentingan kehidupan dunia dengan mengorbankan kepentingan akhirat.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ۖ وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ ﴿٥﴾
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (QS: Fathir: 5)
Salah satu bentuk tipuan dunia itu adalah kecintaan seseorang akan popularitas atau ketenaran. Ketenaran merupakan suatu kedudukan yang bisa menggelincirkan seseorang kepada kerusakan akhlak dan agama.
Meski demikian, banyak manusia yang ingin terlihat menonjol di hadapan manusia, ingin terlihat sebagai seorang bintang di berbagai forum ilmiah yang selalu di dengar ucapannya atau dibaca tulisannya. Berbagai upaya dia lakukan untuk menaikan popularitas dan ratingnya meski untuk itu dia mengorbankan muru’ah dan agamanya.
Bagi sebagian orang, menjadi terkenal adalah suatu keniscayaan karena skill dan keunikan yang Allah berikan kepadanya. Ada yang terkenal sebagai seorang qori’ karena indah bacaan Al-Quran dan kemerduan suaranya.
Ada yang terkenal karena keluasan ilmu dan pengetahuan agamanya, sehingga banyak orang datang untuk meminta fatwa kepadanya. Ada yang terkenal sebagai da’i karena kemampuannya menyampaikan pidato dengan memukau di hadapan banyak umat manusia.
Bagi mereka yang memiliki popularitas dan ketenaran hendaknya senantiasa senantiasa menjaga keikhlasan kepada Allah dan menyadari bahwa ketenaran yang ia dapatkan adalah ujian dari Allah untuknya. Selain itu hendaknya ia menjaga hati dari ingin mendapat sanjungan dan pujian dari manusia dengan cara selalu bertawadhu’ dan merendahkan hati di hadapan mereka.
Hal yang sulit, kecuali mereka yang dirahmati Allah azza wa Jalla.
Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia bertanya: ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku? Dia menjawab, ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid.’ Allah berfirman: ‘Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu perbuat?’ Dia menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al-Qur’an demi Engkau.’ Allah berfirman: ‘Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu, kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki yang diberi keluasan rezeki oleh Allah, kemudian dia menginfakkan hartanya semua, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas.’ Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu perbuat dengannya?’ dia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridhai.” Allah berfirman: ‘Dusta kamu, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR: Muslim)
Ketiga orang itu melakukan amalan-amalan besar di dunianya; berjihad di jalan Allah, mempelajari Al-Quran (ilmu agama) dan mendermakan harta. Tetapi mereka menghapus pahala amalan-amalan besar tersebut dengan keinginan mereka untuk mendapat ketenaran dan kepopuleran dari amal besar yang telah mereka lakukan.
Mereka adalah orang-orang yang pertama kali akan merasakan panasnya adzab neraka karena keinginan mereka untuk untuk terlihat menjadi orang yang nomor satu melalui amal ibadahnya.
Popularitas adalah sesuatu yang sangat ditakuti dan dijauhi oleh para sahabat Nabi ﷺ. Sebutlah Buraidah bin Husaib radhiyallahu ‘anhu misalnya. Ia mengatakan,
شهدتُ خيبر، وكنت فيمن صعد الثُّلْمة، فقاتلتُ حتَّى رُئِي مكاني، وعليَّ ثوبٌ أحمر، فما أعلم أنِّي ركبتُ في الإسلام ذنبًا أعظم عليَّ منه
“Aku telah menyaksikan Perang Khaibar dan aku termasuk sahabat yang naik di atas benteng musuh. Lalu aku menyerang hingga tempatku kelihatan karena aku memakai baju merah. Setelah itu aku merasa tidak pernah melakukan dosa yang lebih besar darinya dalam Islam —yaitu kemasyhuran—.” (Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar a’lam an-nubala, 2/470).
Pandangan ulama tentang ketenaran dan popularitas
Pertama, popularitas adalah sesuatu yang tercela kecuali Allah jadikan ia tenar karena mendakwahkan agama-Nya. Imam Al-Ghazali mengatakan;
“Ketahuilah -semoga Allah memperbaiki keadaanmu- bahwa asal kedudukan itu adalah tersiarnya reputasi dan popularitas. Dan itu perkara yang tercela. Kecuali bagi orang yang Allah jadikan dia terkenal dan populer karena mendakwahkan agamanya tanpa dia berupaya mencari popularitas tersebut. Yang tercela adalah mencari popularitas tersebut. Adapun popularitas yang memang Allah berikan kepada kepada seorang hamba tanpa ia berusaha mencarinya maka itu tidaklah tercela.”
Kedua, popularitas adalah ujian dan musibah
Imam Ahmad bin Hanbal beliau mengatakan,
قد بليت بالشهرة.
“Sungguh aku diuji oleh Allah dengan ketenaran.”
Bisyr bin Al-Harits Al-Hafy mengatakan,
ما أعلم أحدًا أحبَّ أن يُعرَف إلا ذهب دينُه وافتُضِح
“Aku tidak mengetahui seseorang yang mencintai ketenaran melainkan akan hilang agamanya dan nampak aibnya.”
Ketiga, kecintaan kepada popularitas akan menghilangkan manisnya cinta akhirat
Bisyr bin Al-Harits Al-Hafy mengatakan,
لا يجد حلاوة الآخرة رجلٌ يحبُّ أن يعرفَه الناسُ.
“Tidak akan bisa merasakan cinta terhadap kehidupan akhirat orang yang ingin dikenal oleh manusia.”
Keempat, kejujuran dan ketaqwaan tidak akan terwujud dengan adanya cinta popularitas
Ibrahim bin Al-Adham mengatakan,
ما صدق الله من أحب الشهرة
“Tidak akan jujur kepada Allah orang yang mencintai popularitas.”
Ayub Sikhtiyani beliau mengatakan,
والله ما صدق اللهَ عبدٌ إلا سرَّه ألا يشعر بمكانه
“Demi Allah seorang hamba tidak akan bisa jujur (ikhlas) kepada Allah kecuali kalau ia merasa bukan siapa-siapa.”
Bisyr bin Al-Harits Al-Hafy mengatakan,
ما اتقى اللهَ مَنْ أحبَّ الشهرة، لا تعمل لتُذكَر.
“Tidak akan bisa bertaqwa kepada Allah orang yang mencintai ketenaran, janganlah beramal agar engkau disebut-sebut.”
Popularitas antara boleh dan tidak
Bagi para penuntut ilmu sudah lazim untuk diketahui bahwa kemasyhuran atau kepopuleran seseorang dalam suatu disiplin ilmu terutama ilmu hadits merupakan syarat diterimanya riwayat seorang perawi hadits. Sebaliknya kalau ia tidak populer akan menjadikan riwayatnya dipertanyakan keabsahannya karena keberadaannya yang tidak dikenal. Adalah Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah yang sangat membenci ketenaran dan popularitas dan berusaha menjauhkan diri darinya sehingga beliau berkata,
أُريدُ أنْ أكونَ في شِعبٍ بمكةَ حتى لا أُعرفَ، قد بُليتُ بالشُّهرةِ، إنِّي أتمَنَّى المَوتَ صَباحًا ومَساءً.
“Aku lebih suka berada di lembah Mekkah sehingga aku tidak dikenal. Sungguh aku telah diuji dengan ketenaran sehingga aku berharap kematian baik di waktu pagi maupun sore hari.”
Dan beliau berkata kepada murid beliau, Al-Marwadzi,
أخْمِلْ ذِكْرَكَ؛ فإنِّي قد بُليتُ بالشُّهرةِ
“Sembunyikan reputasimu. Sungguh aku diuji oleh Allah dengan ketenaran” (Siyar A’lamin Nubuwah 11/216-222).*/Imron Mahmud