Ulama bukan sekedar embel-embel, atau stempel tetapi orang berilmu yang mengamalkan agar orang semakin takut kepada Allah Swt, mari memuliakan ulama seperti ini
Hidayatullah.com | DALAM pandangan Islam, ilmu mendapatkan tempat yang tinggi. Maka, orang yang memiliki ilmu juga memperoleh maqam mulia. Allah Swt memberi beberapa “derajat” kepada orang beriman dan yang berilmu (QS. Al-Mujadalah: 11). Jadi, segala hal yang bernisbah kepada ilmu akan menjadi mulia.
Khalifah Harun ar-Rasyid, merupakan salah satu khalifah yang cinta ilmu dan memuliakan para ulama. Ia memiliki dua putra yang mulazamah dengan seorang alim bernama Syeikh Ashma’i. Salah satu kehebatan dua putra kepala pemerintahan Islam ini adalah adab kepada gurunya.
Harun Ar-Rasyid memerintahkan kepada kedua putranya untuk khidmah kepada gurunya itu. Ia akan menghukum bila ketahuan anaknya teledor dalam melayani guru. Suatu hari, dua putra ini ribut.
Setelah didatangi, ternyata mereka berdua berebut menyiapkan sandal gurunya itu. Agar tidak bertengkar, maka Syaikh Ashma’i, sang guru, meminta kepada keduanya untuk membagi tugas menyiapkan sandalnya. Sandal kiri dan sandal kanan disiapkan oleh keduanya.
Kisah tersebut merupakan hanya sepenggal tradisi dari orang-orang terdahulu dalam menghormati ilmu dan ahli ilmu. Suatu masa dimana ilmu jauh lebih berharga daripada uang dan orang mendapatkan kehormatan karena ilmu, bukan harta.
Menurut beberapa cerita, di masa Kekhalifahan Abbasiyah, para pemuda berlomba-lomba untuk menjadi ahli ilmu. Pemudanya tidak tamak pada harta, tetapi tamak pada ilmu.
Cita-cita yang menjadi idaman adalah menjadi ahli ilmu. Cita-cita mereka bukan menjadi artis, penyanyi, dan lain-lain.
Era itu memang dunia ilmu pengetahuan berada dalam genggaman para ulama di Timur Tengah dan Andalusia. Konon, pemuda-pemuda Eropa merasa bangga jika bisa berbahasa Arab.
Karena itu, tidak ada orang yang bisa berhasa Arab kecuali mereka adalah orang terdidik. Bahkan, pakaian orang Arab pun dibanggakan. Di pusat-pusat kota Baghdad dan Cordoba ditemukan pemuda Jerman, Prancis, Inggris yang belajar di teras-teras masjid, mereka sedang kuliah.
Pemuda Eropa yang seperti inilah yang akan menjadi pelopor kebangkitan bangsa Barat. Menurut kepercayaan orang-orang di masa itu, hormat kepada ahli ilmu bisa mengundang keberkahan hidup.
Persis seperti pernah dikatakan oleh Imam Al-Haddad: “Minimnya faidah yang diperoleh orang sekarang karena kurangnya mereka ta’dzim kepada ulama. Akibatnya mereka terhalang mendapatkan kebaikan ilmu.”
Tetapi, sifat-sifat ahli ilmu atau ulama yang diposisikan agung dalam tradisi para ulama dahulu itu cukup ketat. Bukan sekedar luas pengetahuan, pintar berdalil, dan berceramah.
Ulama yang memiliki sifat sebagai “nuwwab” (pengganti) Nabi Muhammad ﷺ itu disebutkan kriterianya dalam al-Qur’an. Ahli ilmu pemegang pewaris Nabi ﷺ adalah; pertama, “alim-‘amil”. Memahami dan menguasai ilmu agama dari Allah melalui Rasul-Nya serta mengamalkan ilmunya. Kedua, “tafaqquh fid din”.
Allah Swt menjelaskan dalam al-Qur’an surat at-Taubah: 122, bahwa hendaknya tidak semua orang pergi berperang. Harus ada kelompok kecil (thaifah) yang mengkaji ilmu agama agar mereka bisa memberi peringatan kepada umat manusia. Ketiga, “rasikh” yaitu pengetahuannya mendalam.
Sebagaimana dijelaskan Allah Swt dalam surat Ali Imran ayat 7 bahwa orang berilmu yang “rasikh” itu memahami ayat-ayat Allah Swt secara mendalam. Para ulama ahli tafsir menjelaskan kriteria “rasikh” ini.
Yaitu mereka yang akar-akar ilmunya mendalam sehingga ilmu yang dimiliki tidak mudah jatuh. Mereka kelompok kecil yang kokoh ilmu dan imannya sehingga tidak gampang melenceng digoda oleh beragama fitnah-fitnah.
Sebagian ahli tafsir menjelaskan maksud “rasikh” yaitu mereka yang kuat ilmunya sehingga tidak menjual ilmu itu dengan harta yang murah.
Dengan sifat itu, ahli ilmu menjadi manusia yang paling takut kepada Allah Swt. Mereka tidak takut manusia, apalagi tidak takut dengan harta.
ؕ اِنَّمَا يَخۡشَى اللّٰهَ مِنۡ عِبَادِهِ الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيۡزٌ غَفُوۡرٌ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” (QS: Surat Fathir: 28).
Oleh sebab itu, banyak pengetahuan agama saja tidak cukup, tetapi mereka harus paling takut kepada Allah Swt. Sebagai “nuwwab” Nabi, maka tugas ulama tidak jauh beda dengan tugas Nabi.
Yakni menyampaikan kebenaran dari Allah kepada manusia, mengajak manusia menjadi baik. Tugas tersebut terangkum dalam konsep “amar ma’ruf nahi munkar”.
Setiap ulama pasti menjalankan tugas “amar ma’ruf nahi munkar”. Oleh sebab itu, cobaan para ulama itu cukup berat, sebagaimana cobaan para Nabi itu juga sangat berat.
Ada seorang ulama alim sedih ketika muridnya yang menjadi ulama itu jalan dakwahnya manis terus. Tidak ada rintangan dan yang menggodanya.
Ketika ada khabar si muridnya itu dijebloskan penjara karena difitnah orang yang hasud, sang Syaikh justru bahagia. “Alhamdulillah, kali ini aku yakin kamu sudah berada di jalan ulama salaf”, tutur sang Syaikh.
Ulama bukan sekedar embel-embel, bukan cap, stempel tetapi mereka adalah orang berilmu yang mengamalkan apa yang diketahuinya yang menjadikan semakin takut kepada Allah Swt. Mereka dimuliakan Allah, manusia wajib memuliakan apa saja yang dimuliakan-Nya. Tempatkan sesuatu sesuai pada maqamnya.*/Dr. Kholili Hasib, peneliti InPAS, dan dosen Pascasarjana IAI Dalwa