Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Beggy Rizkiyansyah
PEMBELA Islam juga kerap bersuara mengecam orang-orang yang menistakan Islam dan ajarannya. Salah satunya adalah tulisan Dr. Soetomo, yang menganggap pengasingan di Digul lebih baik daripada Makkah.Ia menganggap orang yang diasingkan ke Digul adalah orang-orang yang dihukum, tetapi pergi ke Makkah hanyalah soal kewajiban agama semata. M. Natsir menanggapi tulisan Dr. Soetomo dengan menyebutnya meniru dengan buta buku-buku barat. Natsir justru mengingatkan betapa para haji yang pulang dari Makkah sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial. Pembela Islam juga menyerang paham sesat Ahmadiyah Qadian, dengan menurunkan tulisan perdebatan langsung antara A. Hassan dengan Rahmat Ali dari Ahmadiyah di tahun 1933 dan 1934. Praktek kristenisasi dan pelecehan oleh missionaries terhadap Islam tak luput dari kritik keras Pembela Islam. Seperti misalnya tulisan Natsir yang berjudul Zending Contra Islam (1931). [Federspiel, Howard M. 1966. The Persatuan Islam (Islamic Union). Tesis Phd. Institute of Islamic Studies, McGill University,Montreal]
Maka tak salah ketika Buya Hamka, yang menjadi salah satu pembaca Pembela Islam, mengatakan;
“Mulai saja majalah itu dibaca, timbullah dalam jiwa semangat yang terpendam yaitu semangat hendak turut berjuang dalam Islam. Artikel-artikel yang dimuat di dalamnya menggugah perasaan hati untuk bangun, bergerak, berjuang hidup dan mati dalam Islam.”[ Panitya Peringatan M. Natsir/M. Roem 70 tahun. 1978. M. Natsir 70 tahun Kenang-kenangan Kehidupan & Perjuangan. Jakarta: Pustaka Antara]
Ia lalu menambahkan, yang ditunggu-tunggu dari Pembela Islam adalah tulisan-tulisan M. Natsir.
“Artikel-artikel dari M. Natsir di dalam majalah Pembela Islam itu sangat menarik hati saya. Saya pun seorang pengarang. Tetapi saya mengakui bahwa karangan Natsir memberi saya bahan untuk hidup, sehingga saking tertariknya saya kepada tulisan-tulisannya itu, saya pun mencoba mengirim karangan kepada Pembela Islam,dan karangan saya disambut baik dan dimuat dalam Pembela Islam,” begitulah kesaksian Buya Hamka. [Panitya Peringatan M. Natsir/M. Roem 70 tahun. 1978. M. Natsir 70 tahun Kenang-kenangan Kehidupan & Perjuangan. Jakarta: Pustaka Antara.]
Masa-masa semaraknya pers Islam di Indonesia juga menghampiri dunia pesantren. Di kalangan Nadhlatul Ulama, terbit Suara NU yang beraksara arab pegon. Ada pula Berita NU, dipimpin oleh KH Mahfudz Shiddiq yang beraksara latin. Tahun 1941 menyusul terbit Soeloeh NU yang diterbitkan oleh Hoofdbestur NU Bagian Ma’arif. Soeloeh NU di pimpin langsung oleh KH A. Wahid Hasyim. Terbitnya Soeloeh NU, tak lain sebagai wadah informasi dan saluran modernisasi di NU, sebagaimana tujuannya; Bulanan, membicarakan perkara-perkara kemadrasahan.[ H. Aboebakar. 2011. Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim. Bandung: Mizan]
Pers Islam semakin bertaburan menghiasi pergerakan di Indonesia. Tak hanya di Sumatera Barat dan Jawa, tetapi merambah hingga Kalimantan, hingga Ambon. Di Kalimantan hadir Persatuan (Samarinda), Pelita Islam (Banjarmasin). Di Bangkalan, Madura, terdengar Al Islah (yang kemudian dibredel tahun 1936). Di Ambon, hadir SUISMA yang terbit tiga kali dalam sebulan. Namun, yang mencolok kala itu adalah Sumatera Utara (Medan). Medan kemudian dikenal sebagai gudangnya pers Islam. Sebut saja Suluh Islam (KH Abdul Madjid Abdullah), Medan Islam, Al Hidayah, Medan Islam, Menara Puteri (Rangkayo Rasuna Said) hingga Panji Islam (ZA Ahmad-kelak menjadi tokoh Masyumi). Namun tak ada yang dapat menandingi prestasi Pedoman Masyarakat.
Terbit di Medan, Sumatera Utara tahun 1935, Pedoman Masyarakat identik dengan nama Buya Hamka dan Yunan Nasution (kelak keduanya bertemu kembali di Masyumi). Bergabung pada usia 28 tahun, Buya Hamka menjadi Pemimpin Redaksi Pedoman Masyarakat, awalnya hanya beroplah 500 eksemplar, namun ditangannya, melonjak oplahnya hingga 4000 eksemplar. Suatu prestasi yang luar biasa untuk sebuah majalah pada masa itu dikenal sebagai zaman sulit.
Memasang motto ‘Memajukan Pengetahuan dan Peradaban Berdasarkan Islam’, Pedoman Masyarakat nyata-nyata bekerja untuk peradaban. Di kupasnya masalah pengetahuan umum, agama, sejarah,’ Alam perempuan’, ‘Dunia Islam’ serta ‘Cermin Hidup’. Di ruang inilah lahir karya-karya besar Buya Hamka seperti, Merantau ke Deli, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Tasauf Modern dan lain-lain. Sementara Yunan Nasution memegang peran penting sebagai penulis rubrik editorial, Syma Nare. Namun Pedoman Masyarakat tidak hanya mengandalkan penulisnya sendiri, beragam kalangan dimuat tulisannya oleh Pedoman Masyarakat, seperti Soekarno dari nasionalis, sederet tokoh Islam seperti H. Agus Salim, dan M. Natsir, KH Mas Mansyur, hingga tokoh perempuan seperti Rangkayo Rasuna Said. Pedoman Masyarakat juga tak luput dari pengawasan pemerintah kolonial. Kritik-kritik tajamnya membuat Pedoman berkali-kali nyaris bersalaman dengan pembredelan. Namun dicengkaraman penjajahan Jepang-lah Pedoman Masyarakat beserta banyak media massa lainnya menemui ajalnya. Sulitnya bahan baku kertas serta penindasan jepang membuat masa itu menjadi kuburan massal bagi pers kala itu.
Dibalik kesulitan-kesulitan yang mengepung, pers Islam tetap berkiprah dengan semangat yang membara. Mereka terus bersuara lantang, dengan landasan Islam. Menjadi pembela hak-hak rakyat yang terjajah, walaupun kerap diintai ranjau undang-undang pers yang sewenang-wenang dan siap membungkam. Namun nyatanya pers Islam tetap bergerak. Pers Islam tidak hanya menjadi pembentuk opini untuk meninggikan kalimat Allah, tetapi juga menjadi pembela agamanya. Pers Islam tidak pernah menanggalkan identitasnya, dan justru karena identitas Islam itu, pers Islam tidak pernah tertinggal dalam setiap peristiwa nasional yang mewarnai perjalanan bangsa ini. Mulai dari pembentukan sebuah bayangan akan komunitas yang kelak bernama Indonesia, hingga melawan penjajahan dan pendukung kemerdekaan. Pers Islam tidak hanya berenang-renang ditepian, tapi ia terjun dipusaran perjalanan negeri kita.
Karena itu jika serang orang sedang sibuk melarang media dan pers Islam, ketahuilah, sesengguhnya media nasional sudah ada sebelum adanya pers Islam. Namun pers (media) Islam sendiri sudah ada sebelum Indonesia merdeka.*
Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa