Oleh: Andi Ryansyah
JUMAT kemarin, 92 tahun silam, Deliar Noer dilahirkan. Kita, umat Islam di Indonesia, rasanya harus tahu tokohnya yang satu ini. Karena kita bisa belajar banyak darinya. Ia adalah seorang cendekiawan yang cemerlang, berkarakter, jujur, teguh pendirian, berani, kritis, peduli pada umat dan bangsanya. Ia bukan orang yang merenung dan berpikir bak sarjana yang duduk di atas singgasana gading saja, kata Buya Hamka, tapi juga seorang pejuang Islam di samping kesarjanaannya (Sambutan Hamka untuk buku Bunga Rampai dari Negeri Kanguru, 1981).
Deliar adalah doktor ilmu politik pertama asal Indonesia. Gelar Ph.D-nya ia sabet dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Profesornya, George Mc. Turnan Kahin, pernah memuji integritasnya.
“… yang paling mengesankan saya adalah penghargaan tinggi yang diberikan oleh Hatta dan Natsir terhadap kecerdasan dan pengetahuannya tentang Islam. … Bila Hatta dan Natsir masih hidup, saya percaya bahwa mereka akan melanjutkan –seperti yang mereka sampaikan pada saya di masa silam– kekaguman mereka terhadap integritas intelektual dan politik Deliar yang luar biasa,” tulis Kahin di buku 80 Tahun Deliar Noer (2007).
Hatta dan Natsir adalah tokoh yang ditanya Kahin ketika mencari pemuda yang bisa membantunya riset tentang peran Islam dalam politik di Indonesia. Keduanya kompak menjawab, Deliar Noer.
Dari tangan Deliar, lahir gagasan-gagasan berupa artikel di media massa dan buku tentang masalah politik, sejarah, dan keislaman di Indonesia. Disertasinya yang kemudian diterbitkan oleh Oxford University Press, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, menjadi rujukan bagi banyak ilmuwan. Bukunya, Mohammad Hatta: Biografi Politik, pernah dipuji oleh sejarawan Taufik Abdullah sebagai biografi sang proklmator yang paling lengkap (Majalah Tempo, 23 Juni 2008). Dan masih banyak lagi karya-karya mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Islam (HMI) ini.
Pada tulisan ini, kita akan sedikit menceritakan bagaimana sikap kritis Deliar sebagai akademisi, dan juga membahas pemikirannya tentang politik Islam serta hubungan antara Islam dan negara. Mengapa tiga topik ini yang diangkat? Karena tiga topik itu rasanya yang paling relevan untuk dibicarakan hari ini.
Akademisi dan Penguasa
Pulang dari Cornell ke Indonesia, putra Minang kelahiran Medan ini mengajar di Universitas Sumatera Utara (USU). Kala itu, masanya demokrasi terpimpin dan sinkretisme politik Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme). Rakyat yang memprotes Nasakom harus siap di-bully oleh orang kiri. Deliar, salah satu rakyat yang siap. Ia mengkritik terang-terangan Nasakom. Sebab menurutnya, Nasakom sangat kontradiktif dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Koran Tempo, 20 Juni 2008). Ia sangat mengkritisi pemikiran Marx. Sedangkan penggagas Nasakom yang tak lain adalah Presiden Sukarno, menganggap Marxisme sebagai alat yang ampuh untuk menganalisis sejarah.
Karena kritis terhadap Marxisme, Deliar dikecam oleh mahasiswa kiri. Ia disebut anti Nasakom, anti revolusi, anti Marxis dan segala macam. Bahkan sampai ada resolusi yang menuntutnya dipecat dari jabatan dosen USU. Tahu hal ini, pimpinan fakultas menyarankan kepada mahasiswa itu untuk menyelesaikan masalah ini tidak dengan politis, tapi dialog. Tunjukkan di mana kesalahan Deliar. Namun, mereka tidak menerima saran itu. Mereka hanya bisa demo saja. Kebanyakan mereka memang menjadikan Deliar sebagai target politiknya.
Pimpinan fakultas sayangnya tidak mampu menguasai keadaan ini. Mereka hanya mencatat siapa-siapa mahasiswa yang menolak dan mendukung Deliar. Catatan ini lalu ia sampaikan ke presidium USU dan menteri di Jakarta. Presidium USU sendiri, Ulung Sitepu, adalah orang yang memberikan jalan mahasiswa kiri tadi demo. Jadi tidak mungkin berharap darinya. Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Syarif Thayeb pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya menyuruh Deliar sabar. “… menteri mengatakan keadaan memang tidak normal,” tutur Deliar dalam bukunya Aku Bagian Ummat Aku Bagian Bangsa: Otobiografi Deliar Noer (1996). Meski berat dan protes dilarang mengajar karena alasan politis, namun Deliar akhirnya bisa menerima takdir. * >>> Lanjutt