Sambungan artikel PERTAMA
HIdayatullah.com–Oleh karena itulah, sebagai satu-satunva jalan keluar dari kemelut PMP ini, delegasi para Alim Ulama dan pemimpin-pemimpin Ormas-ormas Pendidikan Islam telah mengajukan cara penyelesaian yang “tuntas”, melalui satu petisi kepada “Pimpinan DPR/MPR”. Intisarinya:
-Buku PMP ini jangan dipakai lagi di sekolah-sekolah. Diganti dengan buku pelajaran kewarganegaraan (civic). Namakanlah “Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila”. Ini lebih cocok dengan materinya. Istilah “moral” mempunyai konotasi lain bagi umat beragama Samawi.
-Kosongkan samasekali buku tersebut dari pembicaraan-pembicaraan tentang ajaran agama manapun. Jangan diteruskan menanamkan ajara aliran kebatinan dan syncretism kepada anak-anak-anak didik dalam mata pelajaran ini atas nama “Moral Pancasila”.
-Soal agama adalah soal yang amat sensitif. Serahkan sajalah kepada guru-guru agama yang lebih berhak berbicara tentang agama masing-masing. Besar resikonya bila urusan dalam agama dicampuri oleh orang luar.
4. Dalam pertemuan delegasi dengan Pimpinan DPR/MPR diajukan juga harapan agar yang berwajib meninjau persoalan ini secara menyeluruh dan mendasar. Sebab penciptaan “Pendidikan Moral Pancasila” seperti yang kita lihat sekarang, ternyata, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri.
Di bidang pendidikan formal melalui sekolah ada buku PMP. Tetapi tidak sampai di situ saja. PMP ini nyatanya, hanya merupakan satu bagian dari satu program yaang komprehensif.
Kegiatan Direktorat Kebudayaan P&K dalam rangka pelaksanaan Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila (P4) ini meliputi bidang yang lebih luas. Sudah diterbitkan untuk umum beberapa jilid buku:Seri Pembinaan Penghayatan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” Ada yang berjudul : Inventarisasi, Sarasehan, Penataran P4, Perkawinan, Sumpah/Janji, Pengarahan Sarasehan, dan lain-lain.
Ini semua diterbitkan guna pendidikan non-formal, untuk masyarakat di luar sekolah. Dimulai dengan menyamakan pengertian bahwa aliran-aliran kebatinan adalah Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahay Esa. Legitimasinya diambil dari pasal 29 UUD 1945 ayat 2.
Sekarang sudah disetujui sekitar 217 organisasi aliran kebatinan atas nama “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bertebaran di seluruh Indonesia. Malah kepercayaan kaharingan di Kalimantan, yang tadinya, dianggap animis, sekarang termasuk daftar cabang-cabang organisasi “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”, berkantor pusat di Jakarta.
Tadinya, sepanjang pengertian resmi, Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan agama, melainkan kebudayaan. Tetapi dalam praktiknya ternyata telah diberi peluang untuk melakukan perkawinan secara sendiri.
Dinas Pemakaman DKI Jakarta sudah mencantumkan pada formulir untuk urusan jenazah: “Agama Kepercayaan”. Apa maksudnya.
Dalam rangkaian lima sila dalam Pancasila tercantum dua sila yang berurutan yaitu;
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sekarang, koma diantara dua sila itu dihilangkan. Ditukar dengan kata-kata “berdasarkan”. Timbullah doktrin baru, yang berbunyi “Identitas pokok dari kepercayaan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.” (lihat buku “Identitas Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dalam Perkembangannya Sebagai Sumber Pembinaan Budi Pekerti yang selaras dengan Pancasila, hal.5).
Ini berarti, satu instansi resmi Pemerintah Pusat Republik Indonesia mempromosikan pengertian bahwa yang selaras dengan Pancasila itu ialah “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.” Dengan kata lain, kemanusiaan yang adil dan beradablah yang menjadi dasar bagi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan sebaliknya.
Wahyu Ilahi sebagai sumber keimanan tak ada dalam kamus literatur Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang seolah-olah Departemen P&K kita ini ingin bertindak sebagai juri, yang menentukan mana kepercayaan yang selaras dengan Pancasila, mana yang tidak!
Apakah yang “tidak selaras” nanti akan dituduh pula anti Pancasila?
Yang menjadi persoalan ialah: ini semua disangkutkan kepada P4. Dan P4 disangkutkan kepada Ketetapan-Ketetapan Majelis Tertinggi dalam tata-negara kita ini, (MPR), untuk memperoleh legitimasinya. Disangkutkan kepada Tap MPR No.IV/MPR/1973, TAP MPR No.II/MPR/1978, TAP MPR No.IV/MPR/1978 dan lain-lain.
Apakah memang begitu yang dimaksud oleh Majelis Tertinggi (MPR) dalam Ketatanegaraan RI, dengan P4 itu?
Pada waktu soal P4 ini akan diputuskan dengan pungutan suara dalam MPR 1978, fraksi PPP yang berasas Islam -di bawah pimpinan alm. Kiai H. Bisri- meningalkan ruang sidang (walk out) untuk menyatakan protes dan tidak turut bertanggung jawab atas diterimanya ketetapan MPR mengenai P4 itu. Mereka berpendirian lebih baik kalah daripada mengalah dalam satu soal yang prinsipil.
Walau bagaimanapun, orang tidak akan menyangka pada waktu itu, bahwa akan sampai begini jadinya. Pada masa revolusi dahulu, berkumandang seruan Bung Tomo di Surabaya dengan takbirnya “Allahu Akbar”, memanggil Umat Islam, laskar-laskar Hizbullah dan Sabilillah, untuk mempertaruhkan harta dan jiwa atas dasar jihad fi sabilillah untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Presiden Sukarno sengaja datang ke Aceh, meminta kepada Tengku Daud Beureueh supaya memaklumkan Perang Jihad untuk mengusir Belanda. Permintaan ini dipenuhi dengan segala baik sangka oleh Tengku Daud Beureueh. Kapal terbang RI yang pertama untuk alat penghubung dengan luar negeri, “Seulawah” dibeli dengan sebagian dari dana dan harta yang terkumpul atas dasar perang jihad itu.
Sekarang orang bertanya-tanya dengan berbisik-bisik: “Betulkah kita akan dilarang pula memakai Islam sebagai asas di bidang politik? Kenapa kita perlu menyembunyikan identitas kita sebagai orang Islam?”
Asas Islam, Marhaenisme, Katolik, Protestan, Sosialisme, dan lain-lain yang tadinya merupakan sumber tenaga, motivasi dan semangat perjuangan, semenjak memulai, sampai menyelesaikan revolusi fisik, serta menutupnya di papan catur diplomasi internasional, hingga berhasil, -apakah itu semua akan digusur saja?
Ini telah cukup menimbulkan keresahan dan keprihatinan dalam masyarakat, baik yang beragama Islam ataupun yang bukan.
Memang, menurut Tap MPR No. II/MPR/1978, P4 itu tidak merupakan tafsir baru bagi Pancasila sebagai Dasar Negara.
Tapi, perkembangan akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan:Apakah, menurut pemahaman Pancasila di kalangan resmi sekarang, Republik Indonesia kita harus menuju kepada sistem satu partai? Asas satu, ciri satu, nama masih boleh berbeda, asal sesuai dengan petunjuk pihak atasan.
Apakah itu yang dimaksud dengan ”Demokrasi Pancasila itu?” Orang bertanya-tanya. Lebih-lebih antara Pemilu II dan Pemilu III dalam Orde Baru ini seringkali timbul pertanyaan dalam hati umat Islam khususnya “Apakah ketenteraman umat Islam di negeri kita, masih sama-sama dianggap sebagai salah satu unsur dari apa yang disebut kepentingan nasional itu, yang selalu disebut-sebut dalam pidato resmi di mana saja?”
Inilah yang perlu mendapat jawaban. Kalaupun tidak dengan kata-kata, perbuatan dan keadaan, tolong dengarkan pula suara kami!*
Artikel M.Natsir yang ditulis pada 1 Oktober 1982 ini, diambil dari Majalah Panji Masyarakat No. 375 hal.20-22 dan disunting oleh Muhammad Cheng Ho, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)