Hidayatullah.com– Saat cahaya Islam mulai menyapa Kota Madinah, getaran hidayah masuk ke relung-relung hati setiap jiwa yang disapa hidayah, tidak terkecuali pemuda yang hidup di pinggiran kota Madinah. Mungkin namanya tidak masyhur di telinga kita, bahkan menyebut namanya saja cukup sulit tapi semoga goresan sirah singkat ini menjadi perkenalan awal kita dengan Sahabat mulia ini.
Memiliki nama asli Abdul Uzza dia adalah seorang yatim yang miskin, ayahnya meninggal tidak mewariskan apa-apa, sehingga sang ibu menyerahkannya kepada pamannya untuk diasuh dan dibesarkan, sehingga Abdullah Dzul Bijadain dapat menikmati kehidupan yang layak.
Saat Nabi hijrah dan tiba di Kota Madinah, ada semacam kerinduan yang terpendam untuk bisa berjumpa dengan Rasululullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun keinginan itu terhalang oleh pamannya beberapa tahun.
Namun jiwa hidayah yang menggelayutinya membuat tidak tahan lagi untuk segera bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan berharap dapat mencicipi nikmatnya berislam. Dengan rasa segan yang bercampur keberanian, diapun datang kepda pamannya dan berkata:
“Wahai pamanku, sudah lama aku menunggu kesediaanmu agar kita dapat masuk Islam bersama-sama. Namun aku tidak melihat dan tidak merasakan bahwa engkau tertarik kepada apa yang dibawa oleh Muhammad, maka izinkanlah aku untuk pergi dan masuk Islam.”
Jawaban yang tidak pernah ia duga, pamannya mengatakan: “Demi Tuhan, kalau kamu mengikuti Muhammad, kembalikan semua yang pernah aku berikan kepadamu, termasuk dua pakaian yang kamu kenakan itu!”
Tidak gentar dengan jawaban sang paman, Abdullah Dzul Bijadain pun menanggapi dengan gagah dan tegas: “Demi Allah, aku lebih memilih mengikuti Muhammad, dan meninggalkan penyembahan berhala. Ambillah semua yang ada padaku?” lalu pamannya mengambil semua yang ada padanya, bahkan sarung yang sedang dikenakannya pun diambil kembali.
Setelah itu Abdullah Dzul Bijadain pergi menemui ibunya. Lalu ibunya yang sangat mencintai anaknya segera mengambil satu-satunya kain kasar dipotong menjadi dua helai, satu helai untuk bawahan (sarung, celana) dan satu helai lagi untuk atasan (jubah, baju).
Kemudian dia lekas pergi ke Madinah. Sesampainya menjelang subuh, dia berbaring tidur di Masjid Nabawi.
Dia pun menemui Nabi dan melepaskan kerinduannya, mengucapkan syahadat serta menceritakan kisahnya sehingga Nabi memberikan gelar kepadanya yaitu Abdullah Dzul Bijadain artinya Pemilik Dua Kain Kasar.
Abdullah Dzul Bijadain menjalani kehidupan barunya dengan penuh kebahagiaan, hari-hari dilaluinya dengan beribadah kepada Allah.
Abdullah Dzul Bijadain senantiasa menemani Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam layaknya seperti sepasang mata yang selalu bersama wajah, demi meraih petunjuk dan ilmu serta meniru akhlak dari orang yang paling sempurna akhlaknya. Kecintaannya kepada Rasullah tidak dapat diukir dengan kata-kata dan tulisan yang indah, hanya Allah yang tahu kadarnya.
Para Sahabat tidak punya ambisi yang berlebihan untuk mengejar dunia, sebaliknya mereka berlomba-lomba dan amat tekun untuk meraih derajat yang tinggi di surga kelak.
Demikian pula halnya sang “pemilik dua kain kasar” ini. Ekspektasinya terhadap kesyahidan guna mencicipi surga sangat tinggi sekali sehingga ia berharap agar mati pada medan jihad. Dia pun meminta kepada Nabi agar didoakan.
Tapi Nabi berkata kepadanya seraya memegang pundaknya: “Ya Allah, sesungguhnya aku mengharamkan (tak rela) kaum kafir menumpahkan darahnya.” Ini adalah ekspresi kecintaan Nabi kepada Sahabat yang mulia ini.
Ibnu Mas’ud pernah berkata: “Seandainya aku yang dikuburkan ketika itu”. Ini kisah yang sangat menakjubkan dari seorang Sahabat yang namanya tenar dengan Al-Qur’an dan hadits karena kecintaannya kepada Al-Qur’an dan banyak meriwayatkan hadits.
Ibnu Mas’ud menceritakan; “aku bangun pada tengah malam ketika ikut bersama Rasulullah dalam Perang Tabuk. Lantas aku melihat ada obor pada salah satu sudut markas. Aku menghampiri cahaya obor itu guna melihat apa yang terjadi, di sana ada Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar yang tengah mengurus jenazah Dzul Bijadain, ternyata dia telah wafat.”
Liang lahad yang sudah selesai digali, Abu Bakar dan Umar berada di atas dan Nabi berada di dalam kuburan. “Berikanlah jenazahnya kepadaku,” ujar Rasulullah, lalu Abu Bakar dan Umar menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sambil memiringkan tubuh Dzul Bijadain, beliau bersabda: “Ya Allah sesungguhnya pada malam ini aku ridha kepadanya, maka ridhailah dia.”
Ibnu Mas’ud yang melihat itu, merasa takjub dan mengatakan “Duhai, seandainya aku yang dikuburkan ketika itu. Ini adalah bentuk ”iri” dari Sahabat yang juga tidak kalah mulianya.
Demikianlah lembaran sejarah yang mengharukan dari Sahabat yang mulia, meninggalkan kenikmatan dunia dan lebih memilih Islam sebagai jalan hidupnya, selalu mencintai dan merindui Nabi. Dia begitu paham dan yakin bahwa nilai dunia di sisi Allah tidak sebanding dengan sayap nyamuk.
Akhir kehidupannya yang manis, diturunkan jenazahnya oleh dua Sahabat mulia, lalu disambut dan didoakan Nabi telah mengantarkan namanya ke dalam daftar 104 Sahabat yang paling mulia. Semoga kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah ini. Dapatkan sirahnya raih berkahnya.*
Mohammad Ramli | Ketua komunitas PENA Batam