Hidayatullah.com | SAAT memberikan tausiah kepada peserta Latihan Kader Dakwah “Al-Hikmah”, Buya Natsir tak lupa mengingatkan mengenai 3 pilar dakwah penting yang perlu diperhatikan: Pertama, masjid. Kedua, madrasah atau pesantren. Ketiga, kampus.
Terkhusus tentang masjid, penulis pernah membaca buku tipis beliau yang berjudul: “Masjid Sebagai Tempat Pembinaan Ummat”. Buku kecil ini adalah Kuliah Shubuh Buya Natsir di Masjid al-Munawwarah Kampung Bali Tanah Abang (1967).
Buku ini diterbitkan oleh Pengurus Ikatan Masjid Djakarta Raya pada bulan Oktober 1968. Meskipun buku ini tipis (15 halaman) dan terbilang cukup lama, namun semangat, nilai, pelajaran yang ada di dalamnya sebenarnya masih sangat relevan hingga sekarang.
Sebelum lebih jauh membahas peran dan fungsi masjid, yang diingatkan terlebih dulu oleh Mantan Menteri Penerangan RI ini adalah penataan niat. Masjid yang didirikan bukan dari niat yang baik –meminjam istilah at Taubah ayat 109—menurut Natsir sebagai masjid yang dibangun di pinggir jurang.
Karena itu beliau mengingatkan, “Amal jang didasarkan kepada selain daripada mengharapkan keridhaan Ilahy, ‘amal itu akan hantjur; tidak ada harganja; ‘ala jurfin harin, pada pinggir djurang benar. Sedikit sadja tanahnya runtuh, maka keseluruhan ‘amalnja djatuh dan orangnja djatuh.”
Supaya tidak demikian maka dalam pembangunan masjid niat pembangunan masjid harus didasarkan pada takwa dan ridha Allah SWT. Masjid yang dibangun dengan niat demikianlah yang nantinya melahirkan orang-orang (generasi) yang mencintai Allah yang ingin sekali membersihkan dirinya (sebagaimana terkmaktub dalam surah at-Taubah 108).
Setelah perbaikan niat, Buya Natsir membincang fungsi masjid. Bagi beliau, bercermin pada At-Taubah 108, masjid berfungsi sebagai tempat untuk membentuk manusia. Artinya, membentuk manusia-manusia yang ingin dirinya bersih dan membersihkan diri tiap kali dirinya disentuh oleh yang kotor.
Selain itu, ada fungsi lain yang tidak kalah penting, yaitu: masjid sebagi tempat pembinaan umat lahir batin. Mengenai hal ini beliau tidak lupa mendasarinya dengan sirah Rasulullah Saw. Dalam sejarah disebutkan amalan pertama kali saat hijrah sebelum sampai Madinah yang dilakukan Nabi adalah membangun Masjid Quba’.
Bayangkan, dalam proses pengejaran musuh seperti itu, dalam kondisi yang tidak aman dan penuh ketidakmenentuan, yang dilakukan Nabi adalah pembangunan masjid. Sesampainya di Madinah pun yang dilakukan beliau adalah membangun masjid. Sebagai pemimpin besar kala itu, sebenarnya beliau teramat mudah untuk memikirkan kebutuhan pribadi, namun sekali lagi yang dilakukan justru membangun “Rumah Allah.”
Disitulah Nabi membina umatnya. Umat yang rela hijrah meninggalkan segalanya di Mekah demi mempertahankan keimanan kepada Allah. Di tempat itu kaum Muhajirin dan Anshar saling membantu. Kaum Muhajirin yang miskin yang dikenal dengan nama Ahli Shuffah, tinggal di serambi masjid yang kebutuhannya juga ditopang oleh kaum Anshar.
Meski masjid itu sangat sederhana dan bersahaja pada awalnya, karena disirami oleh jiwa takwa dan air mata yang hendak takwa kepada Allah dengan segenap penderitaan yang dialamim, ternyata masjid itu mendapat berkah dari Allah. Lahirlah kemudian manusia-manusia yang disebut sebagai orang-orang yang ingin membersihkan jiwanya dan Allah mencintai mereka. Tak mengherankan jika pada gilirannya terjadilah langkah pertama dalam pembinaan umat yaitu “ukhuwah Islamiyah” (persaudaraan Islami).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah membangun masjid langsung bergegas untuk membina persatuan umat Islam dengan mempersaudarakan mereka. Langkah itu dilakukan bukan saja dengan retorikan indah laiknya kebanyakan motivator, tapi dengan terjun langsung ke lapangan. Meminjam bahasa Natsir, Rasulullah menghubungkan silaturahmi, menghubungkan dan mempertemukan hati dengan hati. Itulah yang beliau sebut sebagai dasar daripada Ukhuwah Islamiyah.
Lantaran niat sudah benar, masjid sudah dibangun dan umat sudah disatukan, maka kemudian makmurlah masjid itu sebagai Pusat Pembinaan Umat. Ada yang menarik dalam diksi “memakmurkan masjid” yang dipakai Natsir dari istilah al-Qur`an.
Kata beliau, “Makmur dalam arti bukan bentuknja bagus dan megah, bukan lantaran lantainja marmer, bukan lantaran ukir dindingnja jang bagus2, akan tetapi ma’mur diukir dan dihiasi oleh manusia2 jg beriman kepada Allah.” Jadi, kemakmuran terletak pada manusianya yang beriman bukan pada bangunan yang megah.* Mahmud Budi Setiawan