Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Alwi Alatas
DALAM riwayat lain pada kitab Adab al-Hasan al-Bashri karya Ibn al-Jauzi disebutkan bahwa seorang lelaki minta pendapatnya untuk menyertai pemberontakan Ibn al-Asy’at dan al-Hasan melarangnya. Orang itu kemudian menyebutkan tentang sikap tidak suka al-Hasan terhadap Hajjaj sebelum itu.Tentang ini Hasan al-Basri menjawab, “Pada hari ini pandangan saya terhadapnya [Hajjaj] lebih buruk, celaan saya terhadapnya lebih banyak, dan kecaman saya atasnya lebih keras lagi.Tapi ketahuilah … bahwa kekejaman penguasa itu adalah hukuman (kemurkaan) di antara hukuman-hukuman Allah Ta’ala dan hukuman Allah tidak bisa dihadapi dengan pedang. Hendaknya kamu bertaqwa, menolaknya dengan doa, taubat, perubahan (diri), dan meninggalkan dosa-dosa. Jika kamu menghadapi hukuman Allah dengan pedang maka ia akan memotongmu.”
Sikap al-Hasan ini terkesan seperti sikap pasrah terhadap kedzaliman penguasa. Namun sebenarnya, al-Hasan bukannya sama sekali tidak pernah melawan kedzaliman Hajjaj. Ia juga memeranginya dengan ‘pedang’ yang lain, yaitu dengan lidahnya,serta memanahnya dengan ‘anak panah’ yang lain, yaitu dengan doanya. Yang tidak disetujuinya adalah melawan kedzaliman itu dengan pendekatan militer dan kekerasan fisik.Adapun berkenaan dengan nasihat dan kritik terhadap penguasa yang dzalim, maka itu merupakan tanggung jawab ulama dan orang-orang beriman pada umumnya, dan Hasan al-Basri menunaikan tanggung jawabnya ini.
Abul Hasan Ali al-Nadwi menulis dalam bukunya Saviours of Islamic Spirit, vol. 1: “Kekejaman Hajjaj bin Yusuf yang buas dan tak bisa ditoleransi sangat masyhur, tetapi Hasan tidak menahan lidahnya dari mengungkapkan apa yang menurutnya benar dan adil, bahkan di masa pemerintahan Hajjaj.”
Sebuah kisah bisa diangkat sebagai contoh, sebagaimana tercantum dalam Adab al-Hasan al-Bashri.Pada satu kesempatan, Hajjaj membangun sebuah istana dan al-Hasan diundang untuk melihatnya.Saat memasuki bangunan yang indah itu, al-Hasan tanpa ragu menyuarakan kritiknya.Ia menyebutkan tentang seorang penguasa yang membangun benteng yang megah serta memperindah pakaian dan kendaraannya, sampai kemudian ia dikelilingi oleh keburukan. Kemudian ia berkata, “Kami telah melihatnya, wahai orang yang terpedaya. Lalu apa, wahai orang yang paling fasiq? Adapun penduduk langit telah membencimu, sementara penduduk bumi melaknatmu.Engkau membangun istana yang bakal hancur (fana’) dan merubuhkan istana yang kekal.Engkau membangun kekuatan di negeri kesombongan, untuk menjadi hina di negeri kebahagiaan (akhirat).” Setelah itu ia keluar dan pergi.
Hajjaj marah besar saat mendengar tentang hal ini.Ia memerintahkan para pengawalnya untuk menangkap dan membawa al-Hasan ke hadapannya.
Al-Hasan pun di bawa ke hadapan Hajjaj. Saat ia melangkah memasuki istana, mulutnya komat-kamit membaca sesuatu tanpa suara. Hajjaj kemudian berkata-kata dengan penuh kemarahan pada al-Hasan.Hasan al-Bashri pun menjawab, “Semoga Allah merahmatimu, wahai Amir [pemimpin]. Sesungguhnya orang yang membuatmu takut yang kemudian membawa kepada keamanan bagimu adalah lebih baik dan lebih engkau sukai daripada orang yang membuatmu merasa aman yang kemudian membawa pada apa yang menakutkanmu…. Dua pilihan ada di tanganmu, kemaafan atau hukuman. Pilihlah yang lebih utama bagimu dan bertawakkallah pada Allah….”
Di luar perkiraan, Hajjaj yang semula garang dan siap menumpahkan darah tiba-tiba merasa malu,berbalik memuliakan al-Hasan,dan membiarkannya pergi tanpa diganggu.
Ada beberapa pelajaran yang biasa diambil dari sikap al-Hasan dalam menghadapi penguasa dzalim ketika itu. Pertama, ia tidak menyetujui penggunaan cara-cara kekerasan serta pemberontakan dalam menghadapinya, karena seringkali hal ini tidak menyelesaikan masalah, malah justru memperkeruh keadaan. Kedua, ia sendiri tidak bersikap ridha terhadap kedzaliman si penguasa. Ia tidak menyembunyikan ketidaksukaan dan celaannya atas perbuatan si dzalim yang memang tercela. Ia juga tidak melalaikan tanggung jawabnya untuk menasihati dan menyampaikan kritik kepada penguasa dzalim tersebut dan tidak menahan dirinya dari menyampaikan kecaman secara terbuka, jika hal itu dilihat sebagai tanggung jawab yang perlu ditunaikannya sebagai seorang ulama.
Ketiga, dan mungkin ini merupakan pelajaran terpenting, al-Hasan melihat munculnya pemimpin dzalim sebagai satu bentuk hukuman dari Allah kepada umat. Dengan kata lain, ada kesalahan di dalam diri kaum Muslimin yang ikut memberikan kontribusi dalam kemunculan pemimpin dzalim tadi. Karena itu, solusi utama yang perlu diambil adalah dengan perbaikan ke dalam diri, bukan dengan jalan memusnahkan penguasa dzalim yang ada di luar sana.
Solusinya adalah dengan bertaubat, menjauhi dosa-dosa, dan semakin mendekatkan diri pada Allah. Saat kedzaliman di dalam diri dihapuskan, hingga Allah ridha akan hal itu, maka kedzaliman yang menimpa umat juga insya Allah akan sirna.
Berbagai cara bisa diupayakan untuk melawan kedzaliman penguasa, tetapi jangan lupakan yang satu ini: evaluasi dan berbenah diri. Karena boleh jadi kedzaliman penguasa yang bermaharajalela di luar sana hanyalah bayang-bayang dari kedzaliman yang ada di dalam jiwa-jiwa hamba. Dan boleh jadi pemecahan masalah yang sesungguhnya justru datang dari dalam diri sekumpulan hamba yang sungguh-sungguh kembali kepada Tuhannya.
Ini bukanlah satu bentuk fatalisme atau sikap pasif atas kesulitan yang menimpa, melainkan satu pendekatan spiritual dalam menyelesaikan persoalan yang ada.Pendekatan ini tersembunyi dan merupakan satu jalan yang sunyi.Namun dampak yang diberikannya mungkin lebih berbunyi, walaupun tiada yang mampu mendeteksinya.
Oleh sebab itu, saat mengalami kesusahan karena kedzaliman penguasa, teruslah berjuang untuk melakukan perubahan. Tetapi, jangan lupakan apa yang dipesankan oleh al-Hasan, “Hendaknya kamu bertaqwa, menolaknya dengan doa, taubat, perubahan (diri), dan meninggalkan dosa-dosa.”*
Penulis mudir PRISTAC, Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok