Oleh: Alwi Alatas
Hidayatullah.com | PADA dua dekade terakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, pemerintah Turki Utsmani mendirikan konsulat di Batavia. Keberadaan konsulat ini sebetulnya tidak disukai oleh pemerintah Hindia Belanda, tetapi diterima juga, walaupun para konsul itu hanya dianggap sebagai agen perdagangan saja.
Di pihak Turki Utsmani sendiri, tujuan pengangkatan para konsul tersebut adalah “untuk melindungi warga Turki Utsmani di Jawa” (Terzi, Ergün, Alacagöz, 2017: 302).
Konsul yang pertama ditunjuk pada tahun 1882 adalah Sayyid Aziz Effendi atau Abdul Aziz al-Musawi al-Kazimi, seorang peniaga asal Mosul atau Baghdad yang menetap di Batavia. Ia merupakan mertua dari seorang saudagar Hadrami bernama Abdullah bin Alwi Alatas.
Rumahnya yang berada di Petamburan kini sudah menjadi Museum Tekstil. Bagaimanapun, penunjukkannya kemudian ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda, dan pada tahun berikutnya Turki Utsmani mengangkat Galip Bey sebagai konsul (Supratman, 2017: 35).
Sejak saat itu, para konsul Turki secara bergiliran memainkan peranan diplomatik mereka di Hindia Belanda, sementara pemerintah dan pers kolonial mengamati aktivitas mereka dengan rasa curiga. Ketika itu ide Pan-Islamisme memang tengah berkembang, dengan Sultan Turki sebagai pusat harapan masyarakat Muslim. Pejabat kolonial seperti Snouck Hurgronje berulang kali mewanti-wanti pemerintah Hindia Belanda akan bahaya gerakan ini.
Masyarakat terjajah yang merasa tertindas tentu menaruh harapan pada ide ini, sebagaimana pemerintah Turki Utsmani juga berharap dapat bangkit kembali lewat dukungan kaum Muslimin di penjuru dunia. Di antara komunitas yang sangat dekat dan sering mengadukan persoalan mereka kepada para konsul Turki adalah orang-orang Hadrami di Indonesia, khususnya para elit pengusahanya. Beberapa nama mereka, yang juga merupakan pendukung kuat Pan-Islamisme, dicatat oleh Snouck: Abdullah bin Alwi Alatas, Ali bin Syahab, Abdul Kadir Alaydrus, Sahl bin Sahl, dan Muhammad bin Abdul Rahman Salabiyah (Hurgronje, Gobee, & Adriaanse, 1994: IX/1690).
Orang-orang Hadrami antara lain mengadukan tentang pembatasan tempat tinggal (wijkenstelsel) dan pembatasan gerak (passenstelsel) yang dikenakan atas mereka sejak awal abad ke-19 dan menjadi lebih ketat lagi sejak tahun 1866 (De Jonge, 1997: 97). Bahkan untuk pergi dari Pekojan, Batavia, ke Pelabuhan Tanjung Priok atau ke Bogor, mereka perlu mengurus surat jalan yang memerlukan waktu cukup lama (Mobini-Kesheh, 1999: 31-32).
Orang-orang Hadrami menuntut kesetaraan dengan orang-orang Eropa, karena mereka berasal dari Hadramaut di Yaman dan Yaman ketika itu merupakan bagian dari wilayah Turki Utsmani, bangsa yang disetarakan dengan Eropa. Mereka sebetulnya kesal dengan kebijakan kolonial yang diskriminatif dan menyusahkan.
Pemerintah kolonial, bagaimanapun, khawatir akan potensi pengaruh negatif komunitas ini terhadap masyarakat pribumi, antara lain yang berpotensi menimbulkan pemberontakan keagamaan. L.W.C. Van den Berg (1989: 113-116) membantah anggapan ini di dalam karya penelitiannya di penghujung abad ke-19, tetapi tak serta merta menyurutkan pandangan negatif pemerintah kolonial terhadap komunitas ini.
Pengiriman Pelajar ke Istanbul
Para pendukung Pan-Islam menyadari bahwa pendidikan menjadi salah satu kunci penting perbaikan diri dan masyarakat. Di samping pendidikan Islam tradisional, mereka merasa perlu juga untuk mendapatkan pendidikan modern, setidaknya bagi anak-anak mereka. Pada akhir abad ke-19, sekolah Islam modern belum muncul di Hindia Belanda. Namun, dengan adanya transportasi yang lebih mudah ke Timur Tengah serta adanya konsulat Turki di Batavia, terbuka peluang untuk mengirimkan sejumlah pelajar ke pusat pemerintahan Turki.
Angkatan pertama pelajar yang berangkat ke Istanbul pada tahun 1895 berjumlah enam orang, semuanya dari keluarga Abdullah bin Alwi Alatas. Mereka sebelumnya belajar di Kairo dan kemudian mendapat peluang beasiswa ke Istanbul lewat perantaraan seorang pejabat Turki di Kairo. Keberhasilan para pelajar ini mendaftar di sekolah-sekolah di Istanbul memberi semangat kepada yang lainnya di Hindia Belanda untuk mengikuti jejak yang sama.
Berikutnya, konsulat Turki di Batavia memainkan peranan penting dalam pengiriman pelajar ke Istanbul. Pada tahun 1898, empat orang pelajar berangkat ke Istanbul dan pada tahun berikutnya tujuh orang pelajar menyusul. Angkatan yang ketiga ini diterima langsung oleh Menteri Pendidikan Turki, Zuhdi Pasha.
Para pelajar tersebut didaftarkan di Mulkiye (Fakultas Ilmu Politik), di Sekolah Sultani (Galatasaray), atau di Asiret (Tribal School). Bagaimanapun, belajar di negeri yang jauh bukanlah hal yang mudah.
Pada tahun 1901, empat pelajar wafat di Istanbul dan dua orang lagi pulang ke Jawa (Schmidt, 2003: 114-118). Setelah itu masih ada lagi satu pelajar yang meninggal dunia.
Iklim yang jauh berbeda membuat banyak pelajar sering sakit. Pada tahun 1903, para pelajar angkatan ketiga yang belajar di Asiret dikirim berlibur ke Pulau Lesbos untuk memulihkan kesehatan mereka dan pada tahun berikutnya mereka diizinkan pulang berlibur ke Jawa, semuanya dengan biaya pemerintah Turki Utsmani.
Pemerintah Turki tampaknya menyebut para penerima beasiswa ini sebagai ‘pelajar Jawa’. Mungkin karena itu, konsul Belanda di Istanbul yang diperintahkan untuk menyelidiki para pelajar ini sempat mengira mereka sebagai anak-anak Jawa. Tetapi Snouck mengingatkan bahwa mereka semua sebenarnya adalah anak-anak keturunan Arab (Hurgronje, Gobee, & Adriaanse, 1994: IX /1655-1656).
Pengiriman pelajar tampaknya tidak berlanjut setelah tahun 1899, disebabkan kesulitan keuangan pemerintah Turki dan mungkin juga karena ada sebagian pelajar yang tidak berhasil dalam studinya. Kamil Bey, konsul Turki di Batavia yang berperan dalam pengiriman pelajar pada tahun 1898 dan 1899, menjadi sasaran kemarahan pers dan pemerintah kolonial. Hal itu mungkin ikut menjadi penyebab munculnya desakan agar ia diberhentikan pada tahun 1899. Bagaimanapun, konsul-konsul Turki yang berikutnya tetap memberi laporan yang positif tentang para pelajar ini beserta keluarganya.
Menurut Deliar Noer (1994: 69), para pelajar tersebut tidak memiliki peranan yang berarti setelah mereka kembali ke Hindia Belanda. Hal ini secara umum benar, dalam arti kontribusi mereka tidak lebih menonjol dibandingkan orang tua-orang tua mereka, terlebih mengingat besarnya ekspektasi yang tentunya muncul dari perjalanan studi semacam itu. Bagaimanapun, bukan berarti mereka tidak memiliki peranan sama sekali.
Para pelajar ini berusaha melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang dianggap merugikan. Abdul Rahman Alaydrus mengenakan pakaian Turki saat pulang berlibur ke Batavia pada tahun 1905. Ia didenda oleh pemerintah kolonial karena melanggar aturan berpakaian. Sikapnya ini mendapat pembelaan dari ayahnya Abdul Kadir bin Husin dan juga dari konsul Turki (Hurgronje, Gobee, &Adriaanse, 1994: IX / 1705-1706).
Pada tahun sebelumnya, tujuh orang pelajar dari angkatan 1899, di antaranya Ahmad dan Said bin Abdul Rahman Ba Junaid, juga berkeras mengenakan pakaian Turki saat tiba di Tanjung Priok. Ketika itu konsul Turki sudah mengatur agar polisi tidak memeriksa mereka saat tiba di Batavia.
Peristiwa itu menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat Arab di Batavia. Bagaimanapun, anak-anak ini tetap dilarang untuk mengenakan pakaian Turki saat berada di Hindia Belanda (Schmidt, 2003: 118-119).
Pemerintah kolonial ketika itu memang mengharuskan setiap kelompok masyarakat – pribumi, Arab, China – untuk berpakaian sesuai dengan identitas mereka, dan jika melanggar bisa dikenai denda atau hukuman. Para pelajar di atas telah melakukan perlawanan terhadap kebijakan tersebut, dan juga terhadap kebijakan yang mendiskriminasi mereka dari golongan Eropa yang dianakemaskan oleh pemerintah kolonial. Hal itu mereka lakukan dengan cara mengenakan pakaian Turki.
Ahmad dan Said Ba Junaid yang disebutkan di atas berasal dari Bogor. Pada tahun 1909, mereka ikut mendirikan dan menjadi pengurus Sarekat Dagang Islamiah (SDI) bersama Tirtoadisurjo. Ahmad menjadi presiden asosiasi itu, sementara Said menjadi bendahara (Mobini-Kesheh, 1999: 43).
SDI Bogor ini memang tidak berumur panjang. Tetapi semangat dan nama asosiasi ini kemudian diteruskan oleh Haji Samanhudi, yang pada masa berikutnya berubah menjadi Sarekat Islam dan tumbuh besar lewat kepemimpinan HOS Tjokroaminoto. Kedua bersaudara Ba Junaid sendiri tampaknya sudah tak banyak berperan lagi pada masa-masa berikutnya. Namun, orang-orang Hadrami lainnya masih memainkan peranan penting di dalam Sarekat Islam pada tahun 1910-an.
Para pelajar dari Jawa yang berangkat ke Istanbul pada akhir abad ke-19 mungkin tidak memberi kontribusi langsung yang sangat penting saat mereka kembali ke kampung halaman. Mereka tidak menjadi tokoh atau pemimpin masyarakat di kemudian hari. Bagaimanapun, mereka mewakili geliat kebangkitan yang tengah berlangsung pada era itu, geliat yang jejak-jejaknya masih terus ada hingga hari ini.*/Kuala Lumpur, 12 Rabiul Awwal 1442/ 29 Oktober 2020
Penulis adalah staf pengajar International Islamic University Malaysia (IIUM)
Daftar Pustaka
De Jonge, Huub.1997. “Dutch Colonial Policy Pertaining to Hadhrami Immigrants,”in Ulrike Freitag and W.G. Clarence-Smith (eds.). Hadhrami traders, scholars,and statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s. Leiden: Brill.
Hurgronje, C. Snouck, E. Gobée, and C. Adriaanse. 1994. Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, Vol. IX. Jakarta: INIS.
Mobini-Kesheh, Natalie. 1999. The Hadhrami awakening, community and identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942. New York: Cornell Southeast Asia Program Publications.
Noer, Deliar. 1994. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Schmidt, Jan. 2003. Porte, Den Haag dan Buitenzorg. In Nico J.G. Kaptein (ed.), Kekacauan dan kerusuhan: Tiga tulisan tentang Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Leiden-Jakarta: INIS.
Supratman, Frial Ramadhan.2017. “Rafet Bey: The Last Ottoman Consul in Batavia during the First World War 1911-1924”, Studia Islamika, Vol. 24 No. 1.
Terzi, Mehmet Akif, Ahmet Ergün and Mehmet Ali Alacagöz. 2017. Turki Utsmani-Indonesia: Relasi dan Korespondensi Berdasarkan Dokumen Turki Utsmani. Trans. Muhammad Zuhdi. Istanbul: Hitay.
Van den Berg, L.W.C. 1989. Hadhramaut dan koloni Arab di Nusantara,Trans.Rahayu Hidayat. Jakarta: Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies/INIS.