Oleh: Susiyanto
KETIKA tahun 1832 Johan Donker, komisaris Belanda di Kediri, meminta informasi tentang sejarah Kediri, mungkin Mas Ngabehi Purbawijaya selaku orang Jawa tidak pernah mengira bahwa ini merupakan bagian dari proyek rekayasa “masa depan” budaya Jawa. Layaknya seorang hamba yang mengabdi, Purbawijaya yang saat itu menjadi beskal (pelafalan dari kata fiscaal = pejabat setingkat jaksa) di Kediri, hanya menuruti saja kehendak sang “tuan”. Meski hasilnya bukan karya bernilai historis seperti dikehendaki Donker, nyatanya karya “mistis-mitologis” serupa pada masa selanjutnya tetap dianggap berguna.
Sebenarnya telah lama Belanda menghendaki penguasaan terhadap narasi sejarah bangsa jajahannya. Pengumpulan tradisi-tradisi lokal dan manuskrip kuno di Jawa telah menjadi agenda. Para akademisi Belanda diturunkan untuk menggali pelbagai data terkait. Kesarjanaan yang memiliki penguasaan terhadap tradisi, adat istiadat, dan sistem nilai suatu masyarakat akan berguna dalam membangun pendekatan, termasuk dalam merancang format hegemoni dan pelanggengan “kekuasaan”.
Di penghujung akhir Perang Jawa kebutuhan untuk memahami kawasan ini semakin terasa. Apalagi pemerintah menggulirkan kebijakan tanam paksa (cultuur stelsel) untuk mengisi kas negara yang terkuras untuk pembiayaan operasional menumpas berbagai aksi perlawanan. Dalam praktik di lapangan, kebijakan baru yang bersifat eksploitatif itu menuntut lebih banyak interaksi dengan kalangan bumiputera. Karenanya, pendidikan bagi para pegawai dan pejabat Belanda hendaknya diarahkan untuk memahami bahasa dan budaya rakyat setempat.
Netherlands Zending Genootschap (NZG), lembaga misionaris Belanda, menangkap peluang ini dengan baik. Abad ke-19 bisa dikatakan merupakan era baru bagi penginjilan di Nusantara. Banyak kesempatan dan celah yang bisa dimanfaatkan oleh kalangan pewarta Injil. Pada masa sebelumnya keberhasilan penginjilan di Jawa bisa dikatakan sangat minim. NZG menawarkan konsep lembaga Bahasa Jawa yang memungkinkan pegawai dan pejabat Belanda dididik untul memahami adat istiadat dan Bahasa Jawa.
Gayung pun bersambut. Tidak benar jika sejumlah akademisi Kristen menolak teori adanya keterkaitan antara Gereja dan pemerintah negara jajahan. Dalam kasus Lembaga Bahasa Jawa inisiatif awal kerja sama justru bermula dari badan penginjilan. Tindakan kompromistis antara pemerintah penjajah dan institusi misi ini kemudian membidani lahirnya Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) pada 27 Februari 1832.
Guna pendirian lembaga Bahasa Jawa tersebut, NZG lantas mengutus Johann Friedrich Carl Gericke. Gericke yang kemudian menjabat sebagai pemimpin dalam lembaga tersebut bisa dianggap sebagai peletak utama kesarjanaan Belanda dalam studi literatur Jawa.
Awalnya ia tiba di Surakarta pada 1827 untuk menterjemahkan Bible ke dalam Bahasa Jawa. Pada tahun 1829 ketika salah seorang pangeran dari Kasunanan hendak belajar agama ke Pesantren Tegal Sari, Ponorogo Gericke megikuti dengan tujuan lain, yaitu belajar tentang literatur Jawa selama 9 bulan. Perjalanan Gericke selalu ia laporkan kepada induk semangnya di Nederlands Bijbelgenootschap di Amsterdam.
Lembaga Bahasa Jawa didirikan dengan berbagai tujuan yang hendak diraih. Bagi Pemerintah negara jajahan, keberadaan lembaga yang mampu menyediakan tenaga terdidik untuk berdialog dengan pribumi dinilai menguntungkan dalam upaya menjaga stabilitas dan memelihara hegemoni. Sementara itu bagi kalangan zending belanda, Instituut voor de Javaansche Taal akan menjadi ujung tombak bagi penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. Dengan demikian kepentingan kolonialis dan misionaris terpadu menjiwai semangat pendirian lembaga ini.
Pemerintah Belanda bukannya tidak mengetahui bahwa diantara tujuan pendirian lembaga itu berhubungan langsung dengan kepentingan misi Kristen. Baud mengungkapkan penawarannya tentang pendirian lembaga bahasa tersebut kepada Gubernur Jendral Belanda sebagai berikut: “Jika pemerintah setuju maka akan didirikan institut di Jawa untuk studi bahasa-bahasa Timur, dengan maksud memajukan usaha penerjemahan Alkitab.”
Instituut voor de Javaansche Taal memiliki banyak peran strategis dalam menentukan wajah Jawa. Berbagai kitab kuno diteliti ulang, sejumlah pandangan hidup Jawa diberi pemaknaan baru, dan kebanggaan terhadap masa lalu terutama era pra Islam dikembangkan secara masive. Bahkan beberapa wujud kebudayaan yang menampakkan anasir Hindhu-Budha dilegitimasi sebagai bentuk kebudayaan “asli Jawa”. Sementara itu produk kebudayaan Islam dibiarkan tenggelam dan kalaupun diangkat biasanya lebih pada wujud kebudayaan era transisional yang masih kental dengan sifat dekaden.
Berbagai langkah ditempuh guna “menjinakkan” Islam. Termasuk inisiatif bagi terwujudnya segregasi antara Islam dan budaya Jawa. Islam dianggap sebagai bahaya laten yang berpotensi melawan pemerintahan kolonial.
Upaya Pemerintah penjajah ini sudah tentu didukung penuh oleh kalangan misionaris Protestan maupun Katolik. Karel Steenbrink, seorang akademisi, menggambarkan bahwa Islam dianggap sebagai kekuatan yang harus diminimalisasi dengan berbagai cara. Langkah yang ditempuh beragam, namun terdapat ciri yang serupa yaitu penggambaran Islam sebagai musuh menakutkan yang tidak harus diserang secara langsung, tetapi dihadapi dengan mempromosikan kebiasaan rakyat kuno, adat, dan agama rakyat. Juga melalui perawatan kesehatan dan pendidikan Barat. Van Randwijk, mantan konsul zending, mencirikan strategi ini dengan kalimat: “Strategi memangkas Islam”.
Bagi kalangan misionaris, keberadaan lembaga tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak mengingkari adanya penjajahan di Jawa. Pembentukan lembaga ini sendiri justru merupakan bentuk dukungan kalangan misi Kristen terhadap kekuasaan dan hegemoni Pemerintah Kolonial Belanda.
Dalam salah satu surat untuk Nederlands Biblegenootschaft (NBG), masyarakat Bible Belanda, pada Oktober 1852, Gericke menegaskan bahwa penterjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa itu memiliki tujuan politis yang akan menguntungkan Pemerintah Belanda. Alasannya, ketika pemerintah telah menawarkan pendidikan bagi orang Jawa tanpa diimbangi penyebaran Injil sangat mungkin rakyat jajahan akan menyulitkan pemerintah pada masa yang akan datang. Gericke menyatakan bahwa jika mereka diberi pendidikan “tanpa serentak mengajar mereka mengenal Tuhan dan takut akan Dia maka dimasa depan mereka tidak akan dapat lagi diatur dengan mudah dan mungkin akan terdorong untuk melemparkan beban yang selama ini mereka pikul dengan sukarela dan taat … ”.
Hasil kerja dari Gericke membuahkan hasil dengan penerbitan terjemahan Perjanjian Lama pada Oktober 1852 dan diterbitkan ulang dalam 3 jilid tebal berbentuk oktaf pada 1854. Pada saat buku itu terbit NBG menyatakan bahwa bible berbahasa Jawa merupakan “hadiah yang layak untuk mengimbangi harta kekayaan yang setiap tahun mengalir kepada kita dari pulau yang diberkati dengan kekayaan alam yang begitu banyak”.
Jadi pendirian Instituut voor de Javaansche Taal yang digawangi oleh kalangan penginjil dari NZG tidak murni bersifat akademis apalagi pengembangan budaya. Juga bukan sekedar menyangkut kepentingan penyebaran Agama Kristen belaka. Secara tidak langsung juga menunjukkan support kalangan misi terhadap keberlanjutan sistem tanam paksa. Juga memperlihatkan dukungan lembaga penginjilan terhadap upaya melanggengkan penjajahan di Jawa.*
Penulis adalah Peneliti – Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Surakarta