Oleh: Alwi Alatas
Hidayatullah.com | KESULTANAN Mataram Islam berdiri dan berkembang setelah kemunculan dan kemunduran Kesultanan Demak dan Pajang. Pusat dari masing-masing kerajaan ini bergeser dari pesisir utara ke pedalaman selatan Jawa Tengah, yang biasanya dilihat sebagai mewakili gradasi dari nilai-nilai Islam yang lebih kental kepada nilai-nilai yang lebih berkarakter abangan, di samping juga menggambarkan pergeseran kultur ekonomi yang lebih akrab dengan perdagangan kepada yang lebih bersifat agraris.
Puncak kejayaan Kesultanan Mataram berlaku pada era pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646). Secara bertahap sebagian besar daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur berhasil dikuasainya melalui ekspansi militer, termasuk penguasaan atas Madura dan pengaruh terhadap Banjarmasin dan Palembang, tetapi minus Blambangan dan Bali (Ricklefs, 2001: 55-56).
Resistensi kalangan santri pada tahun 1630 bukan hanya berhasil diredam oleh Sultan Agung, tetapi kemudian juga berusaha dirangkul lewat ziarahnya ke makam Sunan Bayat pada tahun 1633. Hal ini menjadikan Mataram lebih dekat kepada nilai-nilai Islam dibandingkan masa-masa sebelumnya (Ricklefs, 2001: 53). Sultan Agung juga berusaha untuk merebut kota Jayakarta (Batavia) yang dikuasai VOC beberapa tahun sebelumnya, walaupun tanpa hasil.
Sultan Agung meninggalkan kerajaan yang besar kepada puteranya Amangkurat I (1646-1677) yang bernama asli Raden Mas Sayidin. Bagaimanapun, kesultanan Mataram mengalami kemunduran serius di tangan Amangkurat I dan banyak terjadi peristiwa di dalamnya yang berujung pada kejatuhan pemerintahannya (Kriswanto, 2016). “Kesuksesan militer Sultan Agung (1613-45), diikuti oleh ekses tirani Amangkurat I (1645-77) membawa pada pemberontakan, intervensi Belanda, dan akhirnya perpecahan permanen di Jawa menjadi beberapa kerajaan yang saling bersaing …” (Ito & Reid, 1985: 199).
Secara umum Sultan Agung berhasil memperluas wilayah kekuasaan Mataram, merangkul bekas musuhnya, berusaha untuk berdamai dengan kaum santri, serta memerangi VOC di Batavia. Amangkurat I melakukan persis kebalikan dari itu semua. Kerajaan yang ditinggalkan Sultan Agung, bagaimanapun, masih bersifat baru dan rapuh, serta memerlukan administrasi yang tegas tetapi toleran. Amangkurat I berusaha mencengkeram kerajaannya kuat-kuat dan hendak menghimpun seluruh kekuasaan di tanganya. Hal itu sama sekali tidak menjadikan Kesultanan Mataram semakin solid, melainkan malah hancur berantakan.
Kerajaan Jawa menghendaki sistem hirarki yang ketat dan terpusat, tetapi dari waktu ke waktu wilayah-wilayah yang dikuasainya berusaha untuk mengendurkan kendali atau melepaskan diri dari otoritas pusat. Untuk memastikan kepemimpinan pusat berjalan secara efektif, langkah militer tidak selalu memadai. Beberapa strategi lainnya untuk menarik loyalitas pemimpin daerah serta dukungan masyarakat, termasuk lewat jalan pernikahan, kadang perlu juga dilakukan (Brown, 2003: 57).
Kehadiran pemimpin yang kuat dan berpengaruh di pusat, yang mampu memerintah secara adil dan efisien, akan menjamin keberadaan dan pertumbuhan kerajaan. Sayangnya, Amangkurat I tidak memiliki sifat-sifat yang diperlukan untuk itu.
Pandangan Ricklefs (2001: 91) kurang dapat diterima ketika menjelaskan bahwa jika Amangkurat I sukses dalam upayanya menyatukan kerajaan serta dalam memonopoli seluruh sumber daya ke tangannya, maka ia akan merevolusi politik Jawa. Amangkurat I bukanlah seorang pemikir dan praktisi reformasi administrasi pemerintahan yang gagal dalam upaya perubahannya. Ia semata-mata adalah seorang yang “memerintah secara sewenang-wenang, dan menundukkan segalanya dengan kekuasaannya yang mutlak, sehingga kerajaan menjadi kacau balau” (De Graaf, 1989: 4).
Amangkurat I berada di balik banyak pembunuhan politik di kerajaannya. Tidak mudah untuk memahami alasan di balik kebijakan yang ganjil tersebut. Ia mungkin menghendaki ketundukan mutlak dari para pembesar di sekitarnya. Bagaimanapun, perilaku seperti ini tentu saja meruntuhkan kepercayaan, memupuk dendam, dan pada akhirnya berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan.
Pemimpin yang bijak tentu akan menjauhi hal semacam ini. Shalahuddin al-Ayyubi, misalnya, pernah memberi nasihat kepada puteranya al-Zahir di akhir masa pemerintahannya, “… Saya memperingatkanmu untuk tidak menumpahkan darah, memperturutkan hati untuk melakukannya, dan menjadikannya sebagai kebiasaan, karena darah tidak pernah tidur …” (Ibn Shaddād, 2001: 235).
Korban pertamanya adalah Tumenggung Wiraguna yang pada tahun 1647 dikirim berperang ke Jawa Timur tetapi kemudian dibunuh di perjalanan. Keluarga Wiraguna dieksekusi mati segera setelahnya. Pemicu pembunuhan ini adalah skandal satu dekade sebelumnya yang melibatkan Amangkurat I (ketika itu masih putera mahkota) dengan istri Wiraguna.
Kejadian ini menyebabkan Pangeran Alit, saudara Amangkurat I, yang berpihak pada Wiraguna berusaha untuk mendongkel kekuasaan saudaranya itu dengan cara menyerang istana. Pangeran Alit gagal dalam upayanya dan mati terbunuh di tengah pertempuran. Satu laporan VOC menyebutkan bahwa Amangkurat I kemudian mengumpulkan para pemuka agama Islam beserta keluarganya yang dianggap terlibat dalam pemberontakan Pangeran Alit dan mengeksekusi mati mereka semua. Ini merupakan satu pembunuhan masal, karena dikatakan bahwa jumlah mereka yang dieksekusi adalah 5.000 hingga 6.000 orang (Forrester, 1971: 28; Ricklefs, 2001: 92).
Korban-korban berikutnya berjatuhan, termasuk di antaranya Pangeran Pekik serta sebagian besar anggota keluarganya pada tahun 1659. Pangeran Pekik tak lain adalah mertua Amangkurat I sendiri, serta kakek dari putera mahkotanya, Adipati Anom, yang kelak memerintah dengan gelar Amangkurat II.
Peristiwa ini boleh jadi menjadi salah satu penyebab permusuhan putera mahkota kepada ayahnya. Bagaimanapun, perselisihan lain di antara raja dan putera mahkota dalam memperebutkan seorang gadis telah memperuncing permusuhan, sehingga membawa pada intrik politik yang tajam di istana. Sementara itu, kegelisahan atas kelaliman penguasa juga semakin meluas di berbagai daerah, yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi pemberontakan.
Putera Mahkota lantas menjalin hubungan rahasia dan secara diam-diam mendukung rencana pemberontakan yang dilakukan oleh Trunajaya, seorang pembesar Madura, untuk menjatuhkan kekuasaan Amangkurat I. Pemberontakan Trunajaya bermula pada awal tahun 1670-an dan berkembang menjadi pemberontakan terbesar di era itu. Trunajaya mendapat dukungan dari kalangan santri, di samping juga dari sekumpulan pelaut Makasar yang menjauh dari dominasi VOC di tempat asalnya. Setelah menguasai Madura, Trunajaya menyeberang ke Jawa Timur dan secara gradual berhasil menguasai Jawa Timur serta Pantai Utara Jawa Tengah hingga Cirebon.
Amangkurat I yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan tak mampu meredam pemberontakan. Erupsi Merapi, bencana kelaparan di awal tahun 1670-an, serta ramalan akan kehancuran Mataram menambahkan kekeruhan di langit singasana kesultanan itu. Putera mahkota sendiri kehilangan kendali atas para pemberontak dan akhirnya berada di posisi yang berseberangan dengan Trunajaya dan pendukungnya. Kesalahannya kini dimaafkan oleh Amangkurat I.
Pada puncaknya, Amangkurat I dan pengikut setianya meninggalkan istana menuju ke utara pada pertengahan tahun 1677, sebelum pemberontak tiba di pusat kesultanan di Plered. Tak lama setelah itu, Trunajaya dan pasukannya menyerang istana dan merampas isinya. Trunajaya kemudian menarik pasukannya dan memilih untuk memerintah dari Kediri. Amangkurat I wafat di Tegalwangi tak lama kemudian.
Adipati Anom yang menemani ayahnya kini menjadi raja yang baru dan mengambil gelar Amangkurat II. Bagaimanapun, ia mewarisi kerajaan yang sudah terpecah belah, tereduksi oleh pemberontakan, dan kehilangan sebagian besar sumber daya yang diperlukan untuk memulihkan keadaan. Dalam keadaan yang penuh keputusasaan itu, ia berpaling dan meminta pertolongan pada VOC, yang dahulu diperangi oleh kakeknya tetapi mulai menjalin hubungan baik dengan ayahnya.
VOC enggan untuk terlibat pada awalnya, karena pusat konflik berada di pedalaman Jawa yang jauh dari wilayah kepentingan ekonominya di pesisir utara Jawa. Orang-orang Belanda pada asalnya datang ke Nusantara untuk berniaga – walaupun dalam prakteknya sering menggunakan kekuatan militer serta paksaan untuk memonopoli perdagangan – dan tidak tertarik untuk memerintah kecuali pada masa-masa berikutnya (Kwee, 2008: 293). Bagaimanapun, posisi Jawa terlalu penting untuk diabaikan oleh VOC. Perusahaan dagang itu akhirnya setuju untuk membantu Amangkurat II dengan sejumlah konsesi ekonomi.
Pada tahun 1678, Kediri jatuh ke tangan Amangkurat II dengan bantuan VOC. Pada penghujung tahun 1679 Trunajaya ditangkap dan pada awal tahun berikutnya ia dieksekusi oleh Amangkurat II sendiri, yang pada awalnya merupakan rekannya dalam upaya menjatuhkan penguasa sebelumnya. Pada masa yang hampir bersamaan, para ulama yang ikut mendukung Trunajaya, Raden Kajoran dan Panembahan Giri, juga dibunuh.
Kekuasaan Amangkurat II dapat dipulihkan, tetapi dengan benalu yang terus menempel dan semakin lama semakin menggerus kekuasaan Mataram: VOC dan nantinya pemerintah Belanda. Dari waktu ke waktu konflik istana di Jawa serta pemberontakan terus terjadi dan para raja yang kurang bisa berdiri di atas kakinya sendiri senantiasa memohon sokongan kepada VOC, dengan konsesi ekonomi yang semakin mencekik leher. Tahta Mataram sendiri akhirnya terpecah-pecah, yang semuanya semakin tak mampu untuk melepaskan ketergantungan dari penguasa Belanda di Batavia.
Pada akhirnya penjajah Belanda menjadi pihak yang paling banyak mendapatkan keuntungan, sementara rakyat di Jawa menjadi pihak yang paling dirugikan dan paling berat mengalami penindasan. Adapun para penguasa lokal untuk sementara waktu mendapatkan keuntungan pribadi dari sokongan VOC dan Belanda, tetapi lama kelamaan kekuasaan mereka sendiri tergerus dan kedudukan mereka pada akhirnya tidak lebih dari pegawai dan pesuruh dari kaum penjajah.*(Kuala Lumpur, 14 Rabiul Akhir 1442/ 30 November 2020)
Penulis adalah staf pengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM)