Hidayatullah.com | DALAM sejarah peradaban Islam, sejak masa Rasulullah ﷺ sampai sekarang, kaum wanita selalu tampil dan memberikan pengaruh yang kuat dalam peradaban. Salah satu aktivitas sosial yang banyak diminati kaum wanita pada masa awal sejarah peradaban Islam adalah pendidikan dan kegiatan sosial.
Tercatat dalam sejarah peran para tokoh-tokoh Muslimah seperti Hafsah Binti Umar Bin Khattab, Syifa’ binti Ubaidillah, Karimah bint Miqdad. Mereka tergerak hatinya menjadi pengajar dan pendidik di antara Shahabiyah di Madinah, yang merupakan kota yang baru berkembang yang kemudian kita kenal dengan Madinatul Munawaroh, dengan teladan Rasulullah ﷺ, semangat berbagi semangat yang mendorong kepedulian untuk membantu dan menolong orang lain yang membutuhkan.
Yang menjadi pelopor wakaf di kalangan muslimah adalah para ummahat, isteri -isteri Rosulullah ﷺ, seperti Ummu Salamah, Hafshah bint Umar, Shofiyah bint Huyaiy, ‘Aisyah, Ummu Habibah, Zainab binti Jahsh. Sampai para sahabat wanita seperti Asma bint Abu Bakar, Fathimah binti Muhammad, dan Ummu Sulaim, telah terlibat dalam gerakan wakaf.
Sahabat Jabir mengatakan, “Tidak ada sahabat Rasulullah ﷺ yang memiliki harta kekayaan kecuali ia mewaqafkan sebagian hartanya.“
Semangat berwakaf ini dipelopori oleh sahabat-sahabat terkemuka seperti ‘Umar bin Khathab (yang mewaqafkan tanah yang dinilainya paling baik dan berharga di Khaibar), Abu Tholhah (yang menyerahkan kebun kurmanya di muka masjid Madinah yang dikenal sebagai Bairuha’).
Usman bin Affan (mewaqafkan sumber mata air yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang dikenal dengan ‘Ainu Roumah), sumur tersebut dibelinya dari seorang Yahudi dari Bani Ghifar seharga 35.000 (tiga puluh lima ribu) dirham.
Semangat Ummahat Berwakaf
Al-Umar (Fuad Abdillah) dalam tulisannya yang dikutip oleh Al-Humaidan (Iman Muhammad) menyebutkan, “Bahwa peranan kaum wanita dalam gerakan wakaf tidak terbatas pada pengadaan harta benda wakaf semata, yang secara kuantitatif diperkirakan mencapai 25 % dari harta benda wakaf. Namun kaum wanita juga berperan sebagai “nazhiroh” (pengelola) wakaf yang jumlahnya mencapai 14 % dari para nazhir wakaf-wakaf yang ada.
Prof. Dr. Yusuf Qardhawi (majalah Auqafuna, Juli 2008) menggambarkan semangat berwakaf di kalangan kaum wanita masa awal. Pertama, Ummu Dzaroh, (pembantu Ummul Mukminin Aisyah r.a.) bercerita, bahwa Abdullah bin Zubair, keponakan ‘Aisyah r.a. mengirimi uang kepada bibinya dua kantong, jumlahnya 180 ribu dirham (setiap kantong berisi 90.000 /sembilan puluh ribu) dirham. Kemudian ‘Aisyah r.a. meminta bejana.
Beliau waktu itu sedang puasa. Seketika itu beliau memerintahkan kepada pembantunya untuk membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang lain yang dipandang memerlukan.
Kedua, Hisyam bin ‘Urwah bercerita, bahwa Mu’awiyah mengirimkan uang untuk ummul mukminin, ‘Aisyah r.a. sejumlah 100.000 (seratus ribu) dirham. Sebelum matahari tenggelam hari itu, uang tersebut sudah habis dibagi-bagikan kepada orang lain.
Ketiga, ‘Asma’ binti Abi Bakar r.a. mewakafkan rumahnya. Rumah itu tidak boleh diwaris, dijual, atau dihibahkan kepada siapa saja.
Keempat, ‘Ummu Habibah r.a. isteri Rasulullah ﷺ ini mewakafkan sebidang tanahnya yang luas, untuk para pembantunya dan keturunan mereka, dengan syarat tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Demikianlah peran muslimah di saat kemajuan peradaban Islam membuktikan diri hingga saat ini.*