Sejarah majalah anak Islam di Indonesia menunjukkan perjalanan panjang dalam upaya meningkatkan literasi generasi muda Muslim yang saat ini tergeser oleh media sosial
Hidayatullah.com | SEJARAH literasi Islam di Indonesia mencatat banyak penerbitan majalah, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, yang berfungsi sebagai media dakwah dan edukasi, seperti: Pedoman Masjarakat, Pandji Islam, Soeara Moehammadijah, Soeara Nahdlatoel Oelama, Pembela Islam, Gema Islam, Pandji Masjarakat dan lain sebagainya.
Sayangnya, majalah yang secara khusus ditujukan untuk anak Muslim jumlahnya jauh lebih sedikit dan sering kali luput dari perhatian.
Kondisi ini tentu cukup memprihatinkan. Padahal, majalah anak memiliki peran penting dalam membangun kesadaran, pemahaman, serta nilai-nilai Islam sejak dini.
Tulisan ini akan mengulas secara ringkas jejak literasi majalah anak Islam, menelusuri bagaimana ormas Islam dan lembaga pendidikan berupaya menyediakan bacaan berkualitas bagi generasi muda Muslim, baik pada era pra-kemerdekaan maupun pasca-kemerdekaan.
Pra Kemerdekaan:
Sejauh pengamatan penulis, tak banyak sebelum kemerdekaan, majalah yang khusus membahas anak-anak. Di antara yang sedikit itu adalah majalah Taman Nasjiah.
Destita Mutiara dan Sirajuddin Bariqi dalam Jurnal JASIKA (Jurnal Studi Islam dan Kemuhammadiyahan) Volume 4, Issue 2, 2024, meneliti sejarahnya, sebuah majalah anak yang diterbitkan oleh Suara ‘Aisyiyah pada Mei 1939. Majalah ini diperuntukkan bagi anak-anak Muslim berusia 7-18 tahun, khususnya kader Nasyiatul ‘Aisyiyah.
Rubrik yang disajikan dalam majalah ini mencakup Taman Pengetahoean, Teka-Teki, Pekabaran, Nasehat, Tarich, Leloetjon, Cerita Anak, yang bertujuan meningkatkan minat baca dan literasi anak-anak Muslim di era pra-kemerdekaan (Mutiara & Bariqi, 2024).
Majalah Taman Nasjiah terbit setiap bulan sebagai lampiran dari Suara ‘Aisyiyah, dan dalam penelitian mereka, Mutiara dan Bariqi mengidentifikasi 6 edisi utama yang terlacak dalam arsip, yaitu Mei 1939, Juni 1939, September 1939, Januari 1940, April 1940, dan Mei 1940.
Namun, mereka mencatat bahwa sebenarnya Taman Nasjiah memiliki lebih banyak edisi yang diterbitkan. Setelah melalui proses seleksi naskah, mereka memutuskan tidak memasukkan 5 edisi lain, yaitu Oktober 1939, Desember 1939, Februari 1940, Juni 1940, dan Agustus 1940 (Mutiara & Bariqi, 2024).
Selain itu, Taman Nasjiah juga pernah terbit secara mandiri, memisahkan diri dari Suara ‘Aisyiyah, tetapi arsip majalah dalam periode mandiri ini tidak terlacak dalam penelitian mereka.
Keberadaan majalah ini menunjukkan bahwa sebelum kemerdekaan Indonesia, telah ada upaya nyata dalam membangun budaya literasi anak Muslim melalui media cetak (Mutiara & Bariqi, 2024).
Bisa dikatakan bahwa Taman Nasjiah memainkan peran penting dalam menciptakan ruang literasi anak-anak Muslim, sekaligus menunjukkan komitmen ‘Aisyiyah dalam pendidikan anak-anak Muslim sebelum kemerdekaan (Mutiara & Bariqi, 2024).
Pasca Kemerdekaan:
Dalam buku “Rahasia Dapur Majalah di Indonesia” (1995: 131-132) karya Kurniawan Junaedhi, pasca kemerdekaan terdapat beberapa majalah yang secara khusus ditujukan untuk anak-anak Muslim.
Salah satunya adalah Sahabat, yang pertama kali terbit pada September 1979 sebagai majalah anak Islam berbentuk bulanan.
Distribusinya sebagian besar dilakukan di madrasah ibtidaiyah, dengan tiras yang terus meningkat setiap bulan. Badruzzaman Busyairi, sebagai Pemimpin Redaksi, mengungkapkan keheranannya karena jumlah cetakan majalah ini selalu naik dari waktu ke waktu.
Kemudian muncul majalah Aladin, yang terbit pada Januari 1980 dengan mendapatkan rekomendasi dari Departemen Agama. Majalah ini menghadapi tantangan dalam hal permodalan, sehingga tidak dapat mencetak dalam jumlah besar.
Menurut Sumardi Harsyah, salah satu pengelola, pada masa itu tiras Aladin mencapai 10 ribu eksemplar, meski dengan berbagai keterbatasan produksi.
Majalah anak Islam lain yang cukup populer adalah Aku Anak Saleh, yang diterbitkan oleh PT Anak Saleh Pratama. Awalnya, majalah ini beredar terbatas sejak 1989 dengan rekomendasi dari Departemen Agama, kemudian mendapatkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) pada Oktober 1991.
Majalah ini dikelola oleh berbagai tokoh, di antaranya Zainul Bahar Noor sebagai Pemimpin Redaksi, Iman Loebis sebagai Pemimpin Perusahaan, serta Sabaruddin dan Ni Luh Chandrawati sebagai Redaktur Pelaksana.
Ni Luh Dewi Chandrawati, pendiri Aku Anak Saleh, awalnya tidak berniat menerbitkan majalah, tetapi ingin menyediakan bacaan Islam yang edukatif bagi anak-anak Muslim.
Ia berpendapat bahwa buku anak-anak harus berformat besar, memiliki cerita yang pendek, dan diterbitkan secara berkala. Setelah memperoleh rekomendasi dari Departemen Agama, ia akhirnya memulai produksi majalah ini dengan berbagai tantangan, termasuk mencari ilustrator dan percetakan yang sesuai.
Edisi perdana Aku Anak Saleh akhirnya beredar pada Februari 1989, dengan tiras awal sebanyak 5 ribu eksemplar.
Majalah Aku Anak Saleh mendapatkan sambutan positif dari agen dan pembaca, sehingga tirasnya terus meningkat. Namun, kendala finansial membuat majalah ini sempat mengalami keterlambatan produksi.
Demi kelangsungan penerbitan, Andi Lubis, Zainul Bahar Noor, dan Hotman Zaenul Arifin menyuntikkan dana sebesar Rp 500 juta untuk menopang operasional. Meski prospeknya cukup baik, majalah ini menghadapi tantangan seperti perubahan logo yang sering terjadi dan pengelola yang kadang tidak mencantumkan tanggal terbit dengan konsisten.
Menurut Rhenald Kasali dalam buku “Membidik pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting, dan Positioning” (1998: 444-445), majalah ini berkembang pesat pada 1997, dengan tiras mencapai 140.000 eksemplar (seri TK 60.000 eksemplar dan seri anak-anak 80.000 eksemplar), menjangkau hingga 840.000 pembaca.
Aku Anak Saleh juga menargetkan anak-anak Muslim kelas menengah yang tumbuh di berbagai daerah Indonesia, serta merangkul pakar pendidikan seperti Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Prof. Dr. Yaumil Agus Akhir, dan Dr. Ir. Imanuddin Abdulrahim sebagai kontributor.
Selain itu, survei SRI (1996) mengungkap bahwa 70% orang tua pembeli majalah berusia 15-35 tahun, menandakan bahwa konsumennya berasal dari keluarga muda dengan penghasilan ganda. Data ini menunjukkan bahwa majalah anak Islam tidak hanya berfungsi sebagai media edukasi, tetapi juga memengaruhi pola konsumsi keluarga, termasuk dalam pembelian produk-produk anak dan keluarga, seperti buku, perlengkapan sekolah, dan makanan.
Selain majalah Sahabat, Aladin, dan Aku Anak Saleh, upaya menyediakan bacaan Islam bagi anak-anak juga dilakukan melalui majalah Al-Fithrah, yang didirikan oleh Abdullah Musa (Pengasas majalah Al-Muslimun 1954).
Majalah ini hadir dengan nama yang berarti “suci”, mencerminkan semangat untuk menyediakan literasi Islam bagi generasi muda.
Sayangnya, Al-Fithrah hanya mampu bertahan hingga 8 edisi sebelum akhirnya berhenti terbit. Meski singkat, majalah ini merupakan bagian dari sejarah media Islam yang berusaha mengisi ruang literasi bagi anak-anak Muslim.
Sebagai catatan tambahan, Drs. Bambang Suraryono pernah menulis, “Untuk kalangan anak-anak dan pelajar nampaknya kita baru memiliki Sahabat, Kuntum dan Taman Melati. Meskipun belum sampai sepopuler Bobo, setidak tidaknya ketiganya (atau mungkin ada yang lain?) mempunyai penggemar tersendiri dengan oplag yang pas-pasan.” (Menengok Mass Media Islam, Drs. Bambang Sunaryono, Suara Muhammadiyah, No. 3/64/1984).
Lebih dari itu, di majalah Islam lain, meski tidak secara khusus segmentasinya anak-anak, tapi tetap menyediakan rubrik untuk anak-anak.
Sebagai contoh, majalah Panji Masyarakat yang menyediakan rubrik Taman Anak-Anak. Sedangkan dalam majalah Kiblat ada rubrik Tunas Kiblat. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ini menunjukkan kepedulian insan pers Islam terhadap literasi anak; meski kalau secara khusus dalam bentuk majalah masih sedikit.
Sejarah majalah anak Islam di Indonesia menunjukkan perjalanan panjang dalam upaya meningkatkan literasi generasi muda Muslim. Dari Taman Nasjiah yang terbit pertama kali pada Mei 1939 sebagai bagian dari Suara ‘Aisyiyah, hingga majalah Sahabat (1979), Aladin (1980), dan Aku Anak Saleh (1989, SIUPP 1991) yang semakin memperkuat segmentasi bacaan anak Muslim; demikian juga Aku Anak Saleh berkembang pesat di 1997.
Majalah lain seperti Al-Fithrah, meski hanya bertahan sebentar, menunjukkan adanya upaya untuk menyediakan literasi Islam bagi anak-anak. Data-data sejarah ini mencerminkan tantangan dan keberlanjutan dalam membangun budaya literasi anak Muslim di Indonesia yang saat ini sudah tergeser oleh fenomena media sosial (Medsos).*/Mahmud Budi Setiawan