DARI Abu Barzah Al-Aslami, ia menceritakan bahwasanya Julaibib adalah seorang sahabat Anshar. Dulu, bila ada sahabat Nabi yang mempunyai putri perawan (belum menikah), ia tidak akan menikahkannya sampai mereka menanyakan kepada Nabi, apakah beliau memerlukan putrinya tersebut atau tidak?
Suatu hari, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam mengatakan kepada salah seorang sahabat Anshar, “Wahai fulan, aku lamar putrimu!”
Ia menjawab, “Silakan wahai Rasulullah, dengan senang hati!”
“Tapi aku melamarnya bukan untuk diriku sendiri!” lanjut Nabi.
Sahabat itu bertanya, “Kalau begitu untuk siapa?”
“Untuk Julaibib,” demikian jawab Nabi.
“Kalau begitu, wahai Rasulullah, izinkan aku meminta persetujuan ibunya!” pinta sahabat tersebut.
Akhirnya orang itu mendatangi istrinya. Ia berkata, “Rasulullah melamar anakmu!”
Tentu saja si istri setuju. “O, silakan, senang mendapat menantu Rasulullah.”
Sang suami melanjutkan, “Tapi beliau bukan melamar untuk dirinya sendiri!”
“Lantas, untuk siapa?”
“Untuk Julaibib,” jawab sang suami.
Istrinya berkata, “Untuk Julaibib? Demi Allah, aku tidak akan menikahkannya dengan Julaibib!”
Ketika sahabat Anshar itu hendak menghadap lagi kepada Rasulullah, putrinya keluar dari kamarnya menemui kedua orang tuanya. Ia bertanya, “Siapa yang melamarku kepada ayah dan ibu?”
“Rasulullah.” jawab keduanya.
Ia berkata, “Apakah kalian akan menolak perintah Rasulullah? Bawalah saya kepada beliau. Sungguh beliau tidak akan menyia-nyiakan diriku!”
Akhirnya, sahabat Anshar tersebut membawa putrinya kepada Nabi. Ia berkata, “Terserah engkau wahai Rasulullah, ia menjadi hak Anda!”
Beliau pun menikahkannya dengan Julaibib.
Ishaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah berkata kepada Tsabit, “Tahukah kamu, apa doa Rasulullah untuk wanita itu?”
Ia berkata, “Apa gerangan doa Nabi untuknya?”
Beliau mengucapkan doa, “Ya Allah, limpahkanlah kepadanya kebaikan demi kebaikan, dan jangan jadikan kehidupannya kesusahan demi kesusahan.” (Diriwayatkan Imam Ahmad).
Tsabit menuturkan, “Akhirnya Rasulullah menikahkan wanita itu dengan Julaibib. Sejak itu tidak ada perawan Anshar yang lebih dermawan berinfak melebihinya.”
Ibnu Sa’d berkata, “Aku mendengar ada seseorang bercerita, bahwasanya Julaibib berasal dari Bani Tsa’labah, yaitu suku yang menjadi sekutu kaum Anshar. Sedangkan wanita yang dinikahkan Nabi dengannya berasal dari Bani Harits bin Khazraj.”
Sekarang, mungkin ada yang bertanya, apa warna kulit Julaibib? Siapa nama ayahnya? Berapa umurnya? Semua pertanyaan ini tidak disebutkan jawabannya untuk kita, sebab tidak ada manfaatnya. Tinggallah Julaibib sebagai figur manusia shalih dan bertakwa yang sejarahnya mematahkan siapa saja yang memburu ketenaran palsu yang tidak ada manfaat dan faedah di dalamnya.
Lebih dari itu, hendaknya kita berusaha betul untuk menggapai makna-makna ukhuwah (persaudaraan) yang didasari keimanan. Karena persaudaraan seperti ini tidak terbatas pada diri orang-orang hebat tadi. Kita juga harus berusaha meraih keshalihan orang-orang yang tidak terkenal tersebut, yang hanya bisa kita kenali sifat keshalihan dan ketakwaannya.
Jika manusia bangga ketika bertemu dengan bintang terkenal, berbincang dan menyalaminya, maka hendaklah kita bersikap lain. Hendaknya kita lebih bersemangat dalam hal ketakwaan kepada Allah dan mendekati orang-orang bertakwa.*/Sa’id Abdul ‘Azhim, dikisahkan dalam bukunya Bertakwa Tapi Tak Dikenal.