Oleh: Alwi Alatas
Hidayatullah.com | Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, ide pembaruan Islam muncul dan berkembang di dunia Islam. Pembaruan Islam – dalam bahasa Arab biasanya diwakili oleh istilah iṣlāh dan tajdīd dan dalam bahasa Inggris Islamic reformism/renewal – bukanlah sesuatu yang baru di dunia Islam.
Karena pada kurun-kurun tertentu di sepanjang sejarah Islam sering bermunculan tokoh-tokoh agama yang dianggap telah berjasa dalam melakukan pembaruan dan perbaikan yang signifikan di tengah masyarakat Muslim. Namun, pembaruan Islam yang berlaku pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dapat dikatakan memiliki karakteristik yang khas dibandingkan apa yang berlaku pada era-era sebelumnya.
Pembaruan Islam di era ini sedikit banyak merupakan respons terhadap kemunduran yang berlaku di dunia Islam serta tantangan yang datang dari kekuasaan Barat, terutama dalam bentuk penjajahan.
Beberapa nama penting muncul pada era ini, memberikan kontribusi dalam pembaruan Islam. Rifa’ah al-Tahtawi (w. 1873) di Mesir, Abd al-Rahman al-Kawakibi (w. 1902) di Suriah, Khayr al-Din al-Tunisi (w. 1890) di Tunisia, dan Ahmad Khan (w. 1898) di India merupakan beberapa nama pembaru yang muncul di abad ke-19. Namun, yang paling populer dan luas pengaruhnya di dunia Islam boleh dikatakan Jamal al-Din al-Afghani (w. 1897), Muhammad Abduh (w. 1905), dan Muhammad Rashid Rida (w. 1935).
Para pembaru ini pada umumnya sangat prihatin terhadap kemunduran yang berlaku di dunia Islam, berupa melemahnya pemerintahan Islam, mundurnya kemampuan militer mereka, terpecah-belahnya umat, tidak berkembangnya sains dan teknologi di tengah masyarakat Muslim, serta menguatnya pengaruh Eropa di dunia Islam. Pada tingkat tertentu, mereka mengapresiasi kemajuan yang berlaku di Eropa, terutama dalam hal ilmu pengetahuan, dan menganggap bahwa tidak semestinya dunia Islam tertinggal dalam persoalan ini.
Pembaruan Islam pada abad ke-19 memiliki beberapa karakteristik utama. Mereka umumnya menyerukan pemurnian ajaran Islam, mengajak masyarakat Muslim untuk mengabaikan berbagai tradisi yang mereka anggap tak memiliki dasar yang kuat dan agar mereka kembali kepada al-Qur’an, al-Sunnah, dan generasi salaf al-shalih. Mereka mengkritik taqlid dan menyerukan tajdid. Selain itu, mereka juga menyerukan umat untuk bersatu, lewat gagasan yang dikenal sebagai pan-Islamisme, mengusung ide keadilan, kebebasan, dan supremasi hukum, yang berseberangan dengan kediktatoran dalam pemerintahan, menekankan pada pentingnya berfikir rasional, pengembangan sains, serta pengembangan agraria, industri, dan ekonomi, mendorong peningkatan status kaum perempuan, dan pada tingkat tertentu juga membuka jalan bagi penerimaan ide nasionalisme.
Mereka menyebarluaskan gagasan ini lewat tulisan-tulisan di majalah-majalah yang diterbitkan secara berkala, dan, terutama di awal abad ke-20, lewat perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi modern (Alatas, 2007: 19-43). Sebagaimana dapat dilihat, tidak sedikit dari hal-hal di atas sebetulnya merupakan replikasi dari gagasan-gagasan yang berkembang dan dipraktekkan di Barat dalam upaya mereka untuk menjadi bangsa yang maju.
Ide-ide pembaruan ini tersebar luas ke penjuru dunia Islam, termasuk juga ke Indonesia (ketika itu Hindia Belanda). Di antara yang paling awal menyambut dan menyebarluaskan ide pembaruan Islam ini adalah orang-orang Arab Hadramaut yang ada di Indonesia, di samping juga masyarakat Minangkabau. Karenanya Deliar Noer (1994) menempatkan pembahasan tentang komunitas Arab, bersama dengan orang-orang Minangkabau, di bagian awal buku yang ditulisnya, Gerakan Moderen Islam di Indonesia.
Orang-orang Arab di Indonesia pada umumnya berasal dari Hadramaut di Yaman Selatan, di antaranya adalah kalangan Alawiyyin/Sayyid keturunan Ahmad bin Isa al-Muhajir (w. 956) yang merunut nasab mereka hingga ke Husayn bin Ali bin Abi Thalib ra. Kalangan Alawiyyin kemungkinan sudah hadir di Nusantara sebelum kehadiran orang-orang Eropa dan mereka juga memiliki peranan yang penting dalam penyebaran Islam di kawasan ini.
Terlepas dari itu, kita mendapati bahwa tradisi keagamaan mayoritas Muslim di Nusantara kurang lebih sama dengan tradisi keagamaan di Hadramaut. Mazhab fikih mereka adalah Syafi’i, teologi mereka Asy’ari, dan mereka menerima tasawwuf. Gambaran ini lebih menonjol lagi pada abad ke-19, sebelum munculnya gagasan pembaruan Islam.
Di samping peranan mereka di dalam dakwah Islam, kehadiran mereka di Nusantara, terutama pada abad ke-19 dan ke-20, ikut dipengaruhi juga oleh daya tarik ekonomi yang ada di negeri jajahan Belanda ini. Paruh kedua abad ke-19 menyaksikan peningkatan penting migrasi orang-orang Arab Hadramaut, baik Alawiyyin maupun non-Alawiyyin (Masyaikh), ke Indonesia, antara lain berkat kemudahan transportasi dengan munculnya kapal uap serta dibukanya Terusan Suez.
Mentalitas migran yang ulet serta terbukanya peluang ekonomi di Hindia Belanda memungkinkan munculnya saudagar-saudagar yang berhasil di tengah komunitas Arab Hadramaut di beberapa kota besar di negeri itu. Beberapa dari orang-orang Arab Hadramaut ini menjadi orang-orang kaya serta tuan-tuan tanah dengan kepemilikan properti yang luas.
Orang-orang Arab Hadramaut pada era yang dibahas ini terus merawat komunikasi dengan negeri asal mereka maupun dengan kawasan-kawasan lainnya di Timur Tengah. Perpindahan tempat baik untuk sementara waktu maupun secara permanen merupakan hal yang kerap berlaku di tengah komunitas ini.
Mereka biasa mengirim anak-anak mereka untuk belajar selama beberapa tahun di Hijaz dan di Hadramaut. Hal yang sama juga umumnya berlaku pada orang-orang Arab Hadramaut yang lahir dan tumbuh di Indonesia, sehingga pemahaman dan tradisi keagamaan mereka relatif terjaga.
Walaupun orang-orang Arab Hadramaut mendapat kesempatan yang cukup baik di Hindia Belanda, ada juga kebijakan pemerintah kolonial yang dirasa sangat merugikan mereka, yaitu kebijakan surat jalan (passenstelsel) dan sistem distrik (wijkenstelsel) yang berlaku pada abad ke-19 (De Jonge, 1997: 97). Kebijakan ini mengharuskan orang-orang Arab – sebagaimana juga orang-orang Tionghoa – untuk bertempat tinggal pada distrik yang khusus bagi mereka di kota-kota besar di mana komunitas ini tinggal.
Di Jakarta, distrik tempat mereka tinggal adalah di Pekojan. Selain itu, mereka juga harus mengurus surat jalan jika mereka hendak bepergian ke tempat lain.
Kebijakan yang diskriminatif ini sangat menyulitkan dan membatasi ruang gerak mereka, sehingga menimbulkan kejengkelan serta upaya emasipasi di tengah komunitas ini (Mobini-Kesheh, 1999: 31-32). Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ini karena khawatir akan pengaruh orang-orang Arab Hadramaut ini terhadap masyarakat pribumi, baik dalam hal ekonomi maupun keagamaan dan politik.
Para pegawai kolonial membayangkan bahwa orang-orang Arab Hadramaut di Hindia Belanda memiliki peranan di dalam berbagai peristiwa pemberontakan keagamaan yang muncul di beberapa daerah, walaupun hal ini dibantah oleh L.W.C. Van den Berg (1989: 113) yang melakukan penelitian tentang orang-orang Arab Hadramaut pada tahun 1884-1886.
Keadaan ini tampaknya ikut mempengaruhi munculnya kesadaran orang-orang Arab Hadramaut tentang keadaan kaum Muslimin yang mundur dan terjajah serta perlunya upaya untuk memperbaiki keadaan itu. Mereka melihat potensi ke arah ini pada ide-ide pembaruan yang tengah berkembang di Timur Tengah.
Latar belakang Timur Tengah serta kemampuan ekonomi mereka bukan hanya membuat mereka mampu membaca majalah-majalah yang diterbitkan oleh kaum pembaharu, seperti al-Urwat al-Wuthqa dan al-Manar, tetapi juga – setidaknya beberapa dari mereka – untuk berkorespondensi dan melakukan perjalanan serta berinteraksi langsung dengan kalangan reformis di Timur Tengah. Abdullah bin Alwi Alatas, misalnya, disebut beberapa kali menghadiri ceramah yang diberikan oleh Jamal al-Din al-Afghani (Boro Budur, 10 Januari 1922). Dengan begitu, orang-orang Arab Hadramaut, dimotori oleh kaum saudagarnya, segera menjadi pendukung penting dari gagasan ini dan ikut menyebarluaskannya di Hindia Belanda.
Walaupun kini mereka berada di barisan pembaruan Islam, fokus utama mereka mungkin tidak selalu sama dengan para pengusung ide ini di negeri-negeri Muslim lainnya, termasuk yang berada di Hindia Belanda. Ide keagamaan yang bersifat puritan, ide untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta isu taqlid dan tajdid tampaknya kurang begitu menonjol di tengah komunitas ini, setidaknya pada awal kemunculannya.
Titik berangkat mereka tampaknya lebih bersifat sosial-politik, terutama lewat gerakan pan-Islamisme yang dengannya mereka berusaha menjalin hubungan yang kuat dengan Turki Utsmani. Hal ini sangat relevan bagi mereka dalam konteks perjuangan emansipasi di hadapan kebijakan pemerintah kolonial yang diskriminatif, sebagaimana telah disebutkan di atas, yang kemudian juga bergulir ke arah resistensi terhadap penjajahan.
Pada dekade-dekade terakhir abad ke-19, beberapa tokoh Arab Hadramaut di Hindia Belanda, seperti Ali bin Ahmad bin Shahab, Abdullah bin Alwi Alatas, Abd al-Qadir Alaydrus, dan Sahl bin Sahl sudah menjadi pendukung penting pan-Islamisme, gagasan yang cukup menimbulkan kekhawatiran para pejabat kolonial (Hurgronje, Gobee, &Adriaanse, 1994: 9/1690).
Lewat aspirasi ini, orang-orang Arab Hadramaut di Hindia Belanda merapatkan hubungan mereka dengan Turki Utsmani, yang menjadi semakin intens dengan dibukanya konsulat Turki di Singapura dan di Batavia (Jakarta) pada dekade-dekade terakhir abad ke-19. Konsul Turki Utsmani yang pertama di Singapura yang bertugas sejak tahun 1864, Abdullah al-Junid, adalah tokoh Hadrami setempat (Reid, 1967: 271).
Di Batavia, yang ditunjuk sebagai sebagai konsul Turki Utsmani pertama pada tahun 1882, yaitu Sayyid Aziz Effendi atau Abdul Aziz al-Musawi, adalah seorang saudagar keturunan Irak yang sudah menetap di Batavia dan memiliki menantu Hadrami. Penunjukannya tidak diterima oleh pemerintah kolonial dan pada tahun berikutnya, pemerintah Turki Utsmani mengirim konsul resmi yang pertama ke Batavia, Ali Galip Bey (Supratman, 2017: 35; Schmidt, 1992: 86).
Para konsul Turki Utsmani di Batavia selalu memiliki hubungan yang dekat dengan orang-orang Arab Hadramaut, dan kedua belah pihak saling mengharapkan dan memberikan dukungan. Orang-orang Arab Hadramaut meminta pembelaan konsulat Turki atas diskriminasi pemerintah kolonial. Saat Abd al-Rahman bin Abd al-Qadir Alaydrus didenda oleh pemerintah kolonial karena mengenakan pakaian Turki pada awal abad ke-20 – ketika itu pemerintah kolonial memiliki aturan yang mengharuskan tiap-tiap kelompok etnis untuk berpakaian menurut budaya mereka masing-masing – konsulat Turki ikut memberikan pembelaan (Hurgronje, Gobee, &Adriaanse, 1994: IX/1705-1706).
Masalahnya, pemerintah kolonial menganggap orang-orang Arab Hadramaut bukanlah warga Turki Utsmani yang secara legal dapat dibela oleh pemerintah Turki. Selain itu, pemerintah kolonial juga tidak mengangap para konsul Turki sebagai perwakilan politik, tetapi hanya sebagai perwakilan dagang saja (Schmidt, 1992: 85-87).
Orang-orang Arab Hadramaut bukannya melulu menjadi pihak yang bersandar pada para konsul Turki Utsmani. Sebaliknya, mereka juga menjadi pendukung yang diharapkan sokongannya oleh Turki Utsmani. Ketika berlaku Perang Dunia I, misalnya, orang-orang Arab Hadramaut di Batavia membentuk Bulan Sabit Merah (al-Hilal al-Ahmar) atau Red Crescent Society, yang merupakan cabang dari lembaga yang berpusat di Istanbul. Lewat lembaga ini mereka menghimpun dana untuk membantu korban perang di Libya dan beberapa tempat lainnya. Antara tahun 1912 dan 1913, Bulan Sabit Merah di Batavia yang dipimpin oleh Abu Bakr Alatas empat kali mentransfer uang ke Istanbul dengan jumlah total 46,000 francs (Bataviaasch Nieuwsblad, 1913: 18).
Selain apa-apa yang telah disebutkan di atas, beberapa orang Hadrami di Hindia Belanda juga mengirim surat ke suara pembaca di majalah-majalah pro pan-Islamisme di Istanbul dan beberapa kota lainnya di wilayah Turki Utsmani, kadang dengan nama samaran, yang di dalamnya mereka mengkritik penjajahan Belanda serta kebijakan-kebijakannya yang diskriminatif terhadap Muslimin di Hindia Belanda, sehingga hal itu menjadi pengetahuan masyarakat Muslim di belahan dunia lainnya dan memunculkan solidaritas di kalangan mereka.
Hal ini tentu saja menimbulkan kejengkelan sekaligus kekhawatiran di kalangan para bejabat kolonial, walaupun mereka juga tidak memiliki cara yang efektif untuk mengatasi hal itu. Snouck Hurgronje yang merupakan penasihat pemerintah kolonial Belanda menulis dengan nada jengkel di dalam suratnya pada tanggal 20 November 1899:
Nomor-nomor dari surat kabar Ma’lümat dan Mu’ayyad, memuat karangan-karangan yang menghasut terhadap pemerintah Hindia Belanda. Banyak sekali karangan semacam itu akhir-akhir ini terbit dalam surat kabar berbahasa Arab di Konstantinopel, Beirut, Kairo dan sebagainya. Seperti terbukti kembali dari terjemahan-terjemahan yang disampaikan bersama ini, kegiatan Pan-Islam yang terdapat pada redaksi surat-surat kabar, dalam hal ini dikendalikan melalui surat-menyurat orang Arab di negeri ini dan surat menyurat kaki tangan mereka yang bekemauan buruk di Malaya dan Singapura. (Hurgronje, Gobee, &Adriaanse, 1994: IX/1657).
Orang-orang Arab Hadramaut yang ada di Hindia Belanda tampaknya juga menyadari bahwa gagasan persatuan Islam saja tidak mencukupi bagi kebangkitan Islam yang sesungguhnya. Sesuatu yang lebih mendasar perlu dilakukan untuk mengubah masyarakat Muslim menjadi entitas yang lebih maju dan cemerlang. Untuk itu, mereka memberi perhatian yang serius dalam hal pendidikan, terutama dengan memasukkan mata pelajaran umum (sains) bersama dengan mata pelajaran agama ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah yang mereka dirikan. Namun sebelum mendirikan sekolah, sebagian dari mereka telah mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar di Istanbul dengan beasiswa pemerintah Turki Utsmani.
Bermula pada tahun 1895, dengan dikirimnya beberapa anak dan adik dari Abdullah bin Alwi Alatas, beberapa anak-anak Arab Hadramaut lainnya menyusul berangkat dari Batavia untuk belajar di Istanbul, hingga di penghujung abad tersebut jumlah mereka keseluruhannya mencapai 17 orang (Schmidt, 1992: 98). Termasuk di antara yang dikirim adalah putera-putera Ali Ahmad Shahab, Abd al-Qadir Alaydrus, serta anak-anak keluarga Bin Sunkar dan Ba Junayd. Konsulat Turki Utsmani di Batavia memainkan peranan penting dalam pengurusan dan pemberangkatan para pelajar ini ke Istanbul, walaupun menimbulkan ketidaksenangan dari pemerintah kolonial.
Proyek ini tampaknya tidak berlanjut di awal abad ke-20, mungkin disebabkan beberapa kesulitan yang berlaku, terutama keadaan Turki Utsmani yang terus merosot di peralihan abad ke-19 dan ke-20, sebelum akhirnya runtuh pasca Perang Dunia I. Orang-orang Arab Hadramaut tidak kehilangan motivasi mereka untuk memajukan pendidikan dan mereka nantinya akan mendirikan sekolah-sekolah Islam modern di Hindia Belanda. Namun sebelum itu, mereka terlebih dahulu mendirikan sebuah perkumpulan sebagai wadah pergerakan. Perkumpulan yang diberi nama Jamiat Kheir ini didirikan di Pekojan, Batavia, pada tahun 1901 oleh sejumlah saudagar Arab Hadramaut seperti Ali bin Ahmad bin Sahab, Muhammad al-Fachier al-Masyhur, dan Said bin Achmad Basandiet (Saleh, 2016: 7).
Perkumpulan ini pada dasarnya adalah organisasi dari orang-orang Arab Hadramaut yang ada di Hindia Belanda, tetapi pada penghujung dekade tersebut, Jamiat Kheir membuka keanggotaan juga bagi kaum Muslimin lainnya di Hindia Belanda (Arsip Nasional Republik Indonesia, Bt. 24 Oktober 1906, No. 31). Beberapa tokoh Muslim pribumi seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan K.H. Ahmad Dahlan tercatat sebagai anggota perkumpulan ini.
Jamiat Kheir dapat dikatakan merupakan salah satu pionir pergerakan Islam di Indonesia. Kiprahnya dalam pendidikan Islam modern juga terbilang yang paling awal di Hindia Belanda. H. Agus Salim menyebutkan bahwa banyak anggota Budi Utomo dan Sarekat Islam yang sebelumnya menjadi anggota Jamiat Kheir (Van Niel, 1960: 266). Sementara Pramoedya Ananta Toer (2003: 137) menduga bahwa nama Budi Utomo, organisasi pergerakan nasional yang berdiri pada tahun 1908, mendapat inspirasi dari nama Jamiat Kheir.
Pada tahun 1906 – dalam sumber lain disebutkan 1909 (al-Mashhūr, 1984: 1/166) – perkumpulan Jamiat Kheir mendirikan sekolah dengan nama yang sama (Hadramawt, 1930). Sejak saat itu, beberapa sekolah Jamiat Kheir berdiri di Pekojan, Tanah Abang, dan Bogor.
Ini belum termasuk sekolah-sekolah jaringannya di kota-kota lain yang didirikan dengan dengan nama yang berbeda. Sekolah-sekolah ini menjadi lembaga pendidikan Islam modern dan memadukan antara mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum.
Ada pula sekolah yang didirikan atas inisiatif individu, yaitu Alatas School. Ini mirip dengan beberapa sekolah Hadrami di negeri jiran yang kurang lebih muncul pada era yang sama, seperti Madrasah al-Sagoff dan al-Junayd di Singapura, Madrasah al-ꜥAṭṭās di Johor dan Pahang, serta Madrasah al-Mashhūr di Pinang, Malaysia (Othman, 2006). Namun, Alatas School yang didirikan oleh Abdullah bin Alwi Alatas hanya bertahan beberapa tahun saja, antara tahun 1912 dan 1918.
Terlepas dari itu, apa yang melatarbelakangi pendirian sekolah ini (Alatas School), sebagaimana yang ditulis oleh kepala sekolah tersebut, Muhammad al-Hasyimi, dapat dikatakan merefleksikan juga pandangan kebanyakan pendukung ide-ide pembaruan Islam:
“Alatas memandang kamoendoerannja bangsa-bangsa Moeslimin daripada sekalian bangsa, maka berpikirlah ia, bahoea tida ada djalan boeat kemadjoean, melinken peladjaran jang tinggi, maka itoelah sebabnja ia mendiriken saboeah sekola jang menjoekoepi segala peladjaran oentoek orang-orang Moeslimin …” (Hachimi, 30 Desember 1916: 3).
Orang-orang Arab Hadramaut ikut memberikan kontribusi dalam fase-fase awal berdiri dan berkembangnya beberapa organisasi pergerakan Islam lainnya di Hindia Belanda. K.H. Ahmad Dahlan, misalnya, mendapat dukungan dana dari beberapa saudagar Hadrami dalam pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah, sebagaimana dijelaskan oleh cicit KH. Ahmad Dahlan, yaitu Ust. Haris Darmawan Zuhair (https://www.youtube.com/watch?v=YBDBPaIF4-M).
Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Tirto Adhi Suryo di Bogor ikut didirikan juga oleh keluarga Hadrami Ba Junayd di kota itu (Shiraishi, 1997: 47). Van Niel (1960: 88) memperkirakan bahwa ada pengaruh Jamiat Kheir pada Sarekat Islam yang dipimpin oleh K.H. Samanhudi. Ketika Sarekat Islam dipimpin dan dikembangkan lebih jauh oleh H.O.S. Tjokroaminoto, orang-orang Arab Hadramaut masih memainkan peranan penting di dalamnya.
Rapat-rapat Sarekat Islam sering diadakan di kantor Jamiat Kheir ataupun kantor rekanannya di Surabaya, al-Khairiyah, dan pada tahun-tahun awal Sarekat Islam orang-orang Arab Hadramaut berperan penting di organisasi ini sebagai penasihat dan penopang keuangan (Mandal, 2002: 166).
Pada tahun 1913, tokoh Hadrami mendorong agar Sarekat Islam mendirikan sekolah-sekolah bagi masyarakat pribumi dan pada tahun-tahun berikutnya dilaporkan bahwa Sarekat Islam mendirikan sekolah-sekolah seperti Jamiat Kheir di beberapa kota di Jawa (Korver, 1985: 99). Oetoesan Hindia yang merupakan surat kabar milik Sarekat Islam dan dipimpin oleh Tjokroaminoto dikeluarkan oleh percetakan N.V. Setija Oesaha yang ikut didirikan dan ikut dimiliki sahamnya oleh Jamiat Kheir (al-Masjhoer, 2005: 31).
Sayangnya pada pertengahan tahun 1910-an itu masyarakat Arab Hadramaut mengalami perpecahan internal dan pada penghujung dekade itu mereka secara gradual mulai menarik diri dari dunia pergerakan nasional, kemungkinan disebabkan oleh menguatnya faham komunisme dan juga nasionalisme di Indonesia pada ketika itu. Pada masa-masa berikutnya, mereka lebih banyak fokus bergerak di bidang pendidikan dan menjauhi hal-hal yang berbau politik. Walaupun nama mereka relatif tenggelam di penghujung era kolonial, mereka terus berkiprah dalam hal dakwah, pendidikan, dan bantuan sosial, melalui organisasi mereka masing-masing yang masih terus bertahan hingga hari ini.*
Penulis adalah staf pengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM). Artikel ini dipresentasikan pada Webinar Internasional “Masyarakat Arab Hadramaut dalam Dinamika Pembaharuan Islam di Indonesia” yang diadakan oleh Pascasarjana Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Senin, 12 April 2021.
Daftar Pustaka
Alatas, Alwi. “Islamic Reformism in the Netherlands East Indies: The Role and Thought of ꜥAbd Allāh b. ꜥAlawī al-ꜥAṭṭās (1844-1929)”. Master Thesis, Gombak: International Islamic University Malaysia. 2007.
Bataviaasch Nieuwsblad. 22 Maret 1913. ‘Vereeniging “ALHILAL AL AHMAR”’.
Boro Budur. 10 Januari 1922.
De Jonge, Huub. “Dutch Colonial Policy Pertaining to Hadhrami Immigrants,” dalam Hadhrami traders, scholars,and statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s, ed. Ulrike Freitag and W.G. Clarence-Smith, Leiden: Brill. 1997.
Hachimi, M.O. “Al-Atas School”. Pertimbangan, 30 Desember 1916.
Hurgronje, C. Snouck, E. Gobée, dan C. Adriaanse. Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, Vol. 9. Jakarta: INIS. 1994.
Mandal, Sumit. “Forging a Modern Arab Identity in Java in the Early Twentieth Century”. In Transcending Borders: Arabs, Politics, Trade and Islam in Southeast Asia, edited by Huub de Jonge and Nico Kaptein, 163–84. Leiden: KITLV Press. 2002.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. 1994.
Al-Mashhūr, ꜥAbd al-Raḥman ibn Muḥammad ibn Ḥusayn. Shams Al-Ẓahīrah. Vol. 1. Jiddah: ꜥĀlam al-Maʽrifah. 1984.
Al-Masjhoer, Edrus Alwi. Jamiat Kheir: Sejarah Dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir. 2005.
Mobini-Kesheh, Natalie. The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900 – 1942. Ithaca, NY: Southeast Asia Program Publications. 1999.
Mohammad Redzuan Othman, “The Arabs Migration and Its Importance in the Historical Development of the Late Nineteenth and Early Twentieth Century Malaya”, paper presented at the 15th Annual World History Association Conference, California, USA, June 22-25, 2006, p. 12, retrieved 22 August 2019 from http://www.sabrizain.org/malaya/library/arabmigration.pdf.
Reid, Anthony. “Nineteenth Century Pan-Islamism in Indonesia and Malaysia”. The Journal of Asian Studies 26 (2), 1967: 267-283.
Saleh, Wasilah Faray. Jam’iyyat Kheir: Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pendidikan Jam’iyyat Kheir. 2016.
Schmidt, Jan. Through The Legation Window 1876-1926 – Four Essays on Dutch, Dutch-Indian and Ottoman. Belgium: Nedherlands Historisch-Archaeologish Instituut The Istanbul. 1992.
Supratman, FrialRamadhan. “RafetBey: The Last Ottoman Consul in Batavia during the First World War 1911-1924.” StudiaIslamika 24 (1), 2017: 33-68.
Van den Berg, L.W.C. Hadhramaut dan koloni Arab di Nusantara, trans. Rahayu Hidayat. Jakarta: Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies/INIS. 1989.