/Tulisan Pertama/
KETIGA, Islam harus dipelajari dari referensi (maraji’) yang ditulis oleh para ulama besar, para zu’ama dan sarjana-sarjana Islam
Merekalah yang berjasa menyusun berbagai disiplin ilmu untuk menjaga keaslian Al-Quran dan As Sunnah. Mereka berhasil memadukan kedalaman ilmu dengan pengalaman praktek kehidupan sehari-hari yang indah. Ma’rifat (kedalaman ilmu) mereka melahirkah khasyyatullah (ketakutan kepada Allah SWT).
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah (9) : 122).
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُو
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang yang mendalam ilmu agamanya dan mengamalkannya dalam kehidupan).” (QS. Fathir (35):28).
Hanyalah para ulama yang bisa menjadi pewaris para Nabi. Di saat yang sama, sering kita temui sekarang ini banyak bertanya, bersandar atau belajar Islam justru pada orang yang dikenal bukan ulama atau fuqaha (ahli hukum Islam). Bahkan yang lebih “tersesat” lagi mereka belajar pada kaum Orientalis, yang hanya menjadikan Islam sebagai obyek penelitian, bukan untuk diyakini.
Penulisan mereka tentang Islam bukan dengan tujuan suci (obyektif, ilmiah), tetapi dengan dasar dengki sehingga banyak prinsip Islam yang sengaja dikaburkan dan diselewengkan.
Kita juga sering keliru dalam menyandarkan pendapat masalah Islam pada orang yang bukan ahlinya, fuqaha. Sebab tidak semua yang berjuluk dosen IAIN atau UIN ia fuqaha (ahli fiqih). Bahkan yang mengerikan, dikenal pakar sejarah, pakar politik justru membahas wilayah fiqh (hukum Islam) dan syariah.
Bukan rahasia lagi. Adalah Snouk Hurgronye (1857-1936), seorang Orientalis Belanda yang berpura-pura masuk Islam, yang ujungnya menjadi advisor Pemerintah Hindia Belanda dalam bahasa Timur dan Hukum Islam. Ia bahkan mendalami Islam dan pernah tinggal di Jeddah, dengan memakai nama Abdul Gaffar Al-Holandi. Namun ujungnya, semua kajiannya untuk “menghancurkan” Islam.
Keempat, jangan mempelajari Islam sekedar realitas sosial umat Islam an sich
Banyak yang mempelajari Islam sekedear menekuni realitas sosial umatnya, bukan agama (nilai) Islam itu sendiri. Sehingga memunculkan kesan, sikap konservatif sebagaian kalangan Muslim, keterbelakangan bidang pendidikan, keterpurukan, kemiskinan, itulah yang dinilai sebagai Islamnya. Padahal ini adalah kesalahan terbesar dalam melakukan pendekatan dengan Islam.
Dalam keadaan demikian, bisa terjadi orang non-Muslim secara lahiriyah seolah lebih “islami”. Dengan hanya menjadikan ukuran “tertib”, “disiplin” “memelihara kebersihan”, “kebiasaan antri” dll dianggap lebih islami. Bahkan, ada yang mengatakan mereka lebih shalih daripada seorang muslim. Na’udzu billah.
Padahal, tidak pernah orang kafir dan musyrik itu dikategorikan Allah sebagai seorang shalih di mata Allah SWT?
Inilah kesalahan mempelajari Islam secara sosiologis, tetapi mengabaikan aspek teologis. Padahal, inti Islam itu pada tataran teologisnya, disamping amal shalih pemeluknya. Dalam Islam, Iman yang tidak melahirkan amal shalih sama jeleknya dengan amal yang tidak bertitik tolak dari keimanan.
Inilah yang perlu dipahami dengan pikiran yang jernih. Agar memperoleh gambaran yang benar dan positif terhadap Islam dan umat Islam.
Selama bertahun-tahun kaum muslimin terjajah baik secara pisik dan mental. Sejak saat itulah melahirkan sebuah generasi yang memiliki kelayakan untuk dijajah (qabiliyyah littakhalluf).
Ketika kaum kaum Muslimin dijajah secara fisik dan hasil kekayaannya dikeruk secara membabi buta dan di boyong ke luar negeri, al Hamdulillah mereka memiliki alasan keagamaan untuk bersatu. Dan ajaran jihad yang memelihara stamina ruhaninya, sehingga berhasil mengusir penjajah. Ghirah keislaman umat Islam mengalami grafik kenaikan.
Belajar dari pengalaman, penjajah merubah strateginya untuk menguatkan pengaruhnya dalam tubuh umat Islam secara ideologi yang dikenal dengan Al Ghazwul Fikr (perang pemikiran). Jika perang psisik kedua petarung sama-sama aktif, sedangkan perang ideologi, pihak lawan lebih aktif. Dalam perang ini banyak kaum Muslimin menjadi kurban terutama dari kalangan akademisinya. Mereka dikerahkan untuk masuk lembaga pendidikan penjajah. Sehingga ketika pulang ke negeri asalnya, ia menjadi tidak komunikatif dan tidak aspiratif. Mereka menjadi jubir dan komunikator yang ulung bagi penjajah. Persoalan ushul (prinsip) Islam yang selama ini sudah selesai dibahas dan diamalkan umat Islam, mulai dipersoalkan dan disalahpahami.
Maka terjadilah musibah terbesar yang menimpa umat Islam hari ini adalah musibah agama (mushibatud din). Karena, orang-orang Islam yang berusaha keras memahami agamanya secara benar, dipaksa mengekor (tanpa daya kritis) dengan persepsi, pandangan dan pola pikir penjajah (asing dari Islam).
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah