PERJUANGAN gerakan perempuan secara formal dan terstruktur dimulai sejak posisi perempuan dianggap sebagai kaum kelas kedua yang bebas untuk dijadikan objek diskriminasi dan eksploitasi. Gerakan ini lambat laun menjadi gerakan global di setiap negara, dengan fokus dan ragam permasalahannya masing-masing.
Di Indonesia, organisasi pergerakan perempuan diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti Martha Cristina Tiahahu, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, R.A. Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dan lain-lain. Seiring berjalannya waktu di tahun 1928, tepatnya pada tanggal 22-25 Desember, bertemu dan berhimpunlah pejuang-pejuang perempuan Indonesia dalam sebuah Kongres Perempuan I yang kemudian di tahun 1938 pada kongres III telah diputuskan bahwa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu.
Namun, daftar panjang permasalahan perempuan Indonesia yang masih nampak hingga hari ini. Diantaranya: perdagangan perempuan, KDRT, rendahnya tingkat pendidikan perempuan, maraknya kematian ibu saat melahirkan, kesehatan reproduksi yang rendah, intimidasi TKW, kriminalitas dan pelecehan terhadap perempuan.
Berbagai regulasi terkait peningkatan kualitas hidup perempuan Indonesia telah dibuat dan disahkan, baik oleh Pemerintah maupun DPR. Antara lain telah disahkannya UU no.23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), disetujuinya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUU-PTPPO) oleh DPR-RI, dikembangkannya Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (RAN-PKTA), dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak (PUG dan PUA), serta pembentukan pusat-pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan/anak (P2TP2/A).
Namun, regulasi saja tidaklah cukup. Harus didukung pula dengan peran aktif semua lapisan masyarakat –khususnya kaum perempuan Indonesia– agar peraturan tersebut dapat diterapkan secara adil dan merata. Untuk itulah, dibutuhkan kader-kader gerakan perempuan yang memiliki pemahaman dan skill yang memadai tentang berbagai permasalahan perempuan di Indonesia, beserta rumusan solusi konkritnya.
Dengan ilmu dan skill yang mumpuni tersebut, harapannya mereka bisa menjadi agen perubahan dan advokat handal yang ikut serta membantu menyelesaikan berbagai permasalahan perempuan di Indonesia, serta meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya.
Muslimah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sebagai bagian dari gerakan perempuan Indonesia, menawarkan grand design pembentukan karakter perempuan berkualitas yakni cerdas, kontributif, dan mandiri. Kontribusi yang tidak hanya berupa sumbangsih analisis dan pemikiran, namun juga implementasi kongkret.
Muslimah KAMMI memandang perlunya, sarana dan wadah untuk meningkatkan ketajaman analisis serta keefektifan kerja yang harapannya akan berujung pada peningkatan kapasitas perempuan. Kumpulan individu yang berkualitas pastilah akan mampu menghasilkan suatu gerak yang progresif dan solutif dalam berbagai upaya penyelesaian permasalahan perempuan Indonesia, sebagai kontribusi aktif pada upaya pembangunan bangsa Indonesia yang kokoh dan mandiri.
Tidak bisa dipungkiri, persoalan pendidikan serta rendahnya tingkat kesejahteraan dewasa ini masih saja menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat khususnya menengah ke bawah dan tentunya berimbas aktif terhadap keberlangsungan hidup layak bagi para perempuan Indonesia. Budaya patriarkhi yang masih saja menghantui dan masih banyaknya persepsi bahwa tugas perempuan hanya untuk masak, macak (berdandan), dan manak (melahirkan) sehingga pendidikan tidak terlalu diprioritaskan.
Padahal bila kita mau telisik lebih dalam, kurangnya hal-hal tersebut di atas bisa menjadi sumbangsih utama persoalan-persoalan yang kerap akan dihadapi oleh mereka dikemudian hari. Sebut saja para perempuan yang terpaksa harus terjebak sebagai pekerja seks komersial ataupun korban perdagangan perempuan, hal semacam ini sebenarnya bisa diminimalisir apabila mental, pengetahuan(pendidikan) dan kekokohan ekonomi sudah bisa terpenuhi.
Oleh karena itu, Bidang Pemberdayaan Perempuan (BPP) Pengurus Pusat KAMMI, dipenghujung tahun 2011 ini menggagas dan menyelenggarakan Grand Launching Sekolah Perempuan Indonesia (SPI) yang didahului dengan Seminar Nasional bertajuk ‘Pemberdayaan Potensi Perempuan’. SPI ini bertujuan mewujudkan pemerataan kapasitas perempuan Indonesia, baik fikir, skills, maupun mental.
SPI terdiri dari empat kurikulum pokok disaring dari aspirasi dan kebutuhan perempuan di tiap-tiap daerah, yang kemudian disusun oleh aktifis yang kompeten di bidangnya masing-masing. Diantaranya: Pramitha Sari dan Diah Maryani sebagai pembuat kurikulum dengan tema kesehatan, Siti Kholilah dan Iis Purwaningsih dengan kurikulum tema pendidikan, Franciska Sukmadewi Megawati dan Asih Supriatin dengan Kurikulum bidang Ekonomi dan gender Budgetingnya, kemudian Endang Dzunuraini Sahlan beserta Indriyani Agustina sebagai pembuat Kurikulum berbasis advokasi dan hak jaminan hak konstitusi perempuan.
Dengan sumbangsih pemikiran dan pemilihan fokus kurikukum yang akan disesuaikan dengan kebutuhan serta kearifan lokal di masing-masing daerah tersebut gerakan inilah kedepannya SPI ini akan disebarluaskan di semua titik KAMMI di 33 provinsi sehingga bisa menjangkau masyarakat perempuan pada umumnya.
Demikian press release ini kami buat, semoga bisa menjadi semangat tersendiri bagi kaum perempuan Indonesia untuk terus mengasah dan meningkatkan kapasitasnya di segala bidang.
Jakarta, 31 Desember 2011
Pengurus Pusat
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
Emi Rahyuni, S.P
Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan