oleh: Shalih Hasyim
IMAM Al Ghazali dalam karya monumentalnya “Ihya Ulumuddin” pernah menjelaskan; Pangkal pokok kerusakan pikiran adalah berselingkuh kepada Allah Subhanahu Wata’ala (syirik), sedangkan sumber kerusakan moral adalah sombong. Sifat yang pertama mengotori, dan merusak pola pikir (tashawwur), orientasi (ittijah), cara pandang (al wijhah), sifat yang kedua menghancurkan mata hati (bashirah).
Penyakit sombong adalah warisan dari iblis, sesuai dengan makna etimologisnya, membangkang (ablasa). Awalnya iblis menempati surga diatas surga Adam (versi tafsir Ash Showi).
Ketika Allah mengadakan suksesi di surga, terbukti Adam yang terpilih menjadi khalifah berkat kualitas yang dimiliknya.. Pilihan ini terlalu pahit untuk diterima iblis, apalagi dia diperintahkan oleh Allah untuk sujud (hormat) kepada Adam. Keputusan Allah sangat menyakitan hati Iblis. Ia naik banding. Menolak untuk bersujud, kepada Adam dan mulai membanggakan asal-usul.
Sejak saat ia terusir dari surga, tetapi ia bersumpah di hadapan Allah untuk menggoda anak Adam. Dari arah belakang (supaya serakah terhadap dunia), muka (supaya ragu-ragu dengan kehidupan akhirat), kanan (syak terhadap al Haq) dan kiri (supaya pro kebatilan). Kecuali arah atas dan arah bawah (hamba-Nya yang ikhlas). Arah atas lambang ketinggian Allah, dan arah bawah simbol ketundukan makhluq kepada Allah. Dua arah ini yang tidak bisa dimasuki iblis.
Penyakit akut inilah yang ditularkan kepada anak cucu Adam yang miskin iman (faqrul iman). Tokoh klasik yang sangat populer, dan mewarisi penyakit iblis, sehingga berulangkali dikisahkan di dalam Al Quran adalah Fir’aun di Mesir dan Namrud di Mesopotamia . Dengan keberhasilan dan kegagahannya dalam menjayakan bangsa Mesir semasa Nabi Musa as dilahirkan, telah berani menganggap dirinya sebagai penguasa tunggal. Ia menobatkan dirinya menjadi tuhan atau maharaja, pembuat dan penentu hukum. Ia menganggap harta dan tahtanya akan mengekalkannya, tanpa pensiun. Rakyat yang mengaguminya terbius dan menerima saja tuntutan Fir’aun (sendiko dhawuh – suarga nunut neroko katut – Bhs Jawa).
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata:
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلَى
“Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (pohon kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa.” (QS: Thoha (20): 120).
Rakyat Mesir akhirnya ditindas oleh Fir’aun, dan mulai menganggap dirinya tidak bersalah. Dia menerapkan pemerintahan bercirikhas “Ath Thughyan” (tirani kekuasaan) Berbuat sewenang-wenang. Bersikap zhalim dan menindas. Menterlantartarkan kehidupan rakyatnya, menyakiti hatinya, merampas hak-haknya, menyumbat aspirasinya, merendahkan kehormatannya.
Yang berhak mengeluarkan pendapat, yang sesuai dengan keinginan penguasa. Demokrasi menjadi tersumbat. Dia memandang kritik dari intelektual yang bersikap obyektif, tetapi berseberangan dengan pendapat penguasa di identikkan dengan intrik (politik menjatuhkan). Penyakit iblis yang akut ini pun menular kepada rakyat Mesir. Mereka mempersepsikan bahwa tokohnya ini manusia berdarah biru, lebih mulia dari manusia yang lain. Mereka memandang di Mesir terdiri dari masyarakat berkelas. Ada kelas satu dan kelas dua. Hukum yang dijalankan pun laksana pisau. Tumpul untuk kelas atas dan tajam untuk kelas bawah. Pengisian jabatan, distribusi wewenang dan ekonomi juga dilakukan dengan semangat kelas. Inilah awal kehancuran roda kehidupan pada masa itu.
Jika di dalam strukutur masyarakat ada yang merasa mulia, tentu ada yang berada di pihak lawannya, yaitu yang kurang derajatnya. Orang-orang Yahudi (Ya’qubiin) yang dibawa Nabi Yusuf dan para saudaranya ke Mesir beberapa generasi sebelumnya, telah berkembang dengan makmur di bawah raja-raja sebelumnya. Rasa iri yang timbul di kalangan bangsa Mesir yang asli (qibthi) menyebabkan mereka tega menindas Yahudi.
Segala pekerjaan kotor dan berat ditugaskan hanya khusus oleh kaum Yahudi. Bahkan mereka dijadikan budak bangsa Mesir yang harus bekerja, membanting tulang, memeras keringat, siang malam tanpa upah.
Allah Subhanahu Wata’ala melahirkan Musa di kalangan bangsa Yahudi yang sedang tertindas. Musa sempat mengecap pendidikan tinggi di bawah asuhan Fir’aun. Ketika Musa as – menerima wahyu – menyatakan ajaran tauhid di hadapan Fir’aun bahwa satu-satunya yang benar dan paling berkuasa adalah Allah Al Khaliq, Fir’aun dengan atribut kemegahan dan kemegahan dunia menolak. Dan mengatakan seperti dalam statemen berikut:
مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي
“…..Aku tidak menyangka bahwa kalian masih memiliki tuhan selain diriku… “(QS. Al Qashash: (28) : 38).”
Sesungguhnya pintu masuk sikap sombong, dimulai dari gila harta, kemudian gila tahta. Setelah semuanya dimiliki tanpa ditemani iman maka biasanya dirinya di personifikasikan sebagai simbol kekuasaan atau personifikasi dari Tuhan. Bukan berarti Fir’aun anti Tuhan.
Fir’aun yakin dengan wujudnya Allah Subhanahu Wata’ala. Tetapi dia ingin mempertahankan status quo sebagai satu-satunya pembuat dan penentu undang-undang di negeri Mesir. Sehingga untuk memakmurkan Mesir, dia harus menghisap darah dan menindas, serta memperbudak kaum Yahudi. Ketika Musa mengingatkan dengan membawa ajaran Tauhid yang diantaranya menawarkan konsep musawah (persamaan derajat) ia menjadi gelap mata dan kebal telinga serta buta hati.
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ?. Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka (QS. Muhammad (47) : 22-23).
Dari Masa Ke Masa
Penyakit jiwa Fir’aun ini juga menular kepada Namrud. Ketika Ibrahim dilahirkan untuk meluruskannya, dan membuka pintu dialog ilmiah yang selama ini tertutup,, terpaksa harus menelan pil pahit, putra pembuat patung Azar itu dicitrakan sebagai biang keladi gerakan teroris. Setelah pihak kerajaan tidak berdaya menghadapi logika sehat dan argumentasi ilmiah Ibrahim, akhirnya ia di bakar hidup-hidup tanpa proses pengadilan.
Di atas pentas sejarah kemanusiaan berikutnya, setiap diktator (thaghut) selalu meletakkan kekuasaan tanpa pensiun. Kekuasaan adalah segala-galanya. Nyawa rakyat tidak menjadi perhitungan sama sekali, kecuali berkaitan langsung dengan kelanggengan tahta. Politik menghalalkan segala cara asalkan tujuan tercapai (al ghayatu tubarrirul wasaail). Tiada persahabatan sejati, yang abadi adalah kepentingan.
Setiap tiran (diktator) biasanya memiliki hak-hak istimewa dan dikawal oleh tpendukung setia (penjilat), barisan (korps) tentara terlatih yang disiapkan untuk menumpas orang, kelompok yang dianggap sebagai pesaingnya. Yang berbeda dianggap sebagai bughat (pembangkang).
Yang mendukung (mbata, Bhs Jawa) ghalibnya mendapat imbalan khusus. Biasanya berbentuk cipratan (bagian-bagian kecil) dari kekuasaan dan ekonomi. Tetapi, tetap dibatasi oleh wewenang dan ekonomi tertentu (income yang kecil) dibandingkan dengan luasnya kekuasaan dan berlimpahnya ekonomi yang dimilikinya. Terjadilah ketidakadilan dalam pengisian jabatan, distribusi wewenang dan ekonomi. Dari sinilah pangkal kerusakan setiap negara.
Obor iman dan ilmu pada fase-fase awal islam juga menjadi redup, ketika format ketatanegaraan yang islami di masa Khulafa ar Rasyidin yang adil berubah menjadi sistem muluk (feodalisme), yang sudah sekian lama merupakan darah daging masyarakat Arab jahiliyah. Perubahan sistem ketatanegaraan yang berawal dari perbedaan pendapat dan berkembang menjadi pertentangan paham tentang konsep kepemimpinan, merupakan cikal bakal perpecahan dan berakhir dengan pertumpahan darah. Semula perang saudara ini hanya melibatkan sejumlah kecil daerah, dan umat yang terbatas serta muda dikelola pengaruh iman dan ilmu para sahabat.
Setelah generasi sahabat, perang saudara kembali meledak dan menodai masyarakat yang dengan susah payah dibangun oleh Rasulullah saw. Sistem feodalisme (the man show) tidak berhasil mengawal dan mengelola daya kritis ilmuawan muslim. Perbedaan pendapat di kalangan ulama islam, ditunggangi oleh kepentingan politik yang sedang berkuasa.
Mulai perbedaan pendapat yang bersifat furu’iyah (cabang-cabaang ajaran) islam disikapi dengan ushul (pokok-pokok islam). Pengikut mazhab tertentu mencela pengikut ilmuan yang lain. Semula perbedaan pendapat berawal dari konsep kepemimpinan, berlanjut kepada berbagai persoalan kehidupan yang lain. Perpecahan ini membuat umat islam lemah, tidak berdaya, jatuh terpuruk. Inferior dalam menghadapi benturan peradaban.
Para ulama yang berfikir ilmiyah dan obyektif, Imam Ahmad bin Hamabal, Ibnu Taimiyah, mendapat penyiksaan dari penguasa yang tidak manusiawi di penjara. Sehingga menghembuskan nyawanya yang terakhir. Sebelum meninggal, beliau dipisahkan dari tinta dan kertasnya dan dijauhkan dari pengikut-pengikutnya. Dan siksaan yang terberat adalah pencabutan hak menyatakan pendapat.
Namun, sejarah juga berkali-kali membuktikan bahwa pemimpin yang takabur, batharul haq wa ghamthun nas (menolak kebenaran dan meremehkan manusia), thughyan, yujawizul hadd (tirani, menabrak batasan), ananiyah (individualistis dan egois, mengutamakan diri sendiri) akan terpuruk dalam lubang yang digalinya sendiri. Lihat diktator Hilter, Mussolini, Syah Pahlevi Iran , Marcos, Duvalier, Soekrano dan Soeharto dll.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah