SEMANGAT manusia dalam beribadah itu berbeda-beda. Ada yang termasuk dalam golongan sabiqun bil khoirot (yang berlomba-lomba dengan kebaikan). Ia menunaikan semua kewajiban, meninggalkan setiap larangan dan banyak melaksanakan amalan sunnah. Tiada satu pintu ketaatan pun melainkan pasti ia masuki.
Ada juga yang termasuk dalam golongan muqtashid (sedang-sedang saja). Ia melaksanakan yang wajib dan meninggalkan larangan. Dan, ia tidak memiliki ketertarikan pada selain itu.
Ada juga yang termasuk dalam golongan zhalim li nafsih (yang menganiaya diri sendiri). Ia mencampuradukkan antara amal shalih dengan amal keburukan. Orang seperti ini berada di bibir jurang kebinasaan.
Dari ketiga golongan ini, yang paling dekat dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah golongan pertama, yaitu mereka yang senantiasa melaksanakan amalan sunnah setelah melaksanakan yang wajib. Mereka terus mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah yang mereka lakukan, sehingga Allah mencintai mereka.
Jika Allah telah mencintai mereka, maka Allah akan menjaga pendengaran, penglihatan, tangan, kaki dan anggota badan mereka, serta menjaga amal shalih yang telah mereka kerjakan, memberkahinya dan memeliharanya sepanjang hidup mereka.
Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah , pernah bersabda:
“Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku maklumatkan perang dengannya. Tidak ada amalan yang dilakukan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada-Ku lebih Aku sukai daripada amalan yang wajib. Dan hamba-Ku itu terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya. Jika Aku mencintai-Nya, maka Akulah yang menjadi pendengarannya ketika ia mendengar, yang menjadi penglihatannya ketika ia melihat, yang menjadi tangannya ketika ia memegang dan menjadi kakinya di saat ia melangkah. Jika ia meminta kepada-Ku, pasti Aku kabulkan dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku pasti Kulindungi. Dan tidak ada keraguan pada-Ku melebihi keraguan-Ku mencabut nyawa seorang mukmin, ia tidak suka kematian sementara Aku suka menyusahkannya.” (HR. Bukhari)
Di antara para wali itu –kami tidak menganggap suci seorang pun di hadapan Allah– adalah seorang lelaki bernama Nashir. Ia bekerja sebagai tukang kayu di kota Riyadh. Setiap kali tiba waktu dhuha, ia menutup pintu tokonya dan pergi ke masjid yang ada di samping toko. Kemudian ia berwudhu dan melaksanakan shalat sunnah Dhuha, karena ia tahu keutamaan dan pahalanya yang besar.
Selepas shalat, ia kembali ke tempat kerjanya dan kembali bekerja pada sisa waktunya. Ia hanya menyelinginya untuk makan, tidur dan istirahat. Ini menjadi kebiasaan yang terus ia lakukan secara kontinyu.
Suatu hari, ia menutup tokonya pada jam 07.00 pagi. Setelah itu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat Dhuha. Begitu tiba di masjid, ia berwudhu dan mulai shalatnya. Lalu melakukan takbir pertama, dan menyelesaikan rakaat pertama. Kemudian masuklah ia pada rakaat kedua. Ketika baru saja mulai membaca Al-Fatihah, lelaki itu jatuh ke tanah dan meninggal dunia dengan membawa dua rakaat Dhuha ini.
Ia berjumpa Allah dengan membawa salah satu ibadah terbaik, yang merupakan salah satu rukun Islam terbesar dan tiang utamanya. Ia terus dalam kondisi shalatnya –walaupun sudah meninggal– hingga muadzin yang hendak mengumandangkan adzan Dhuhur datang ke masjid. Ia kaget melihat lelaki shalih ini. Orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, lalu membawanya pulang ke rumahnya.
Kali ini si pria shalih pulang dengan digotong di atas pundak manusia. Ia dibawa orang lain dan tidak membawa dirinya sendiri. Ia kembali dengan pendengaran yang lain dengan pendengaran pertamanya; tidak lagi bisa melihat, tidak makan, tidak minum, dan tidak pula bisa berbicara.
Ia kembali sebagai jasad tak bernyawa. Ia kembali dalam keadaan terasing, tidak ada teman. Semua orang berkata, “Segerakan penguburannya.”
Ketika seseorang hendak memandikannya dan melepas pakaiannya, maka ia berusaha melepas tangan lelaki shalih tersebut yang masih bersedekap –seperti dalam posisi shalat. Tetapi tangan itu kembali lagi. Ia ulangi lagi, tangan itu kembali lagi. Akhirnya, ia membiarkannya dalam posisi semula, lalu ia memandikannya, mengkafaninya, dan memberinya minyak wangi.
Orang-orang membawanya ke kuburan untuk menghadapi akhirat dan meninggalkan alam dunia; untuk menghadapi liang kubur dan meninggalkan ‘istananya’; untuk menghadapi kebengisan dan meninggalkan keramahan. Hanya saja, ia berharap besar: akhiratnya lebih baik daripada dunianya. Kematiannya itu adalah kematian yang didambakan setiap orang.*/Sa’d bin Said Al-Hujri, dinukil dari bukunya Mati Cuma Sekali, Persiapkanlah! [Tulisan selanjutnya]