Oleh: Shalih Hasyim
IMAN adalah sumber jiwa yang senantiasa memberikan kita kekuatan untuk bergerak secara berkesinambungan (mudawamah) menyemai kebaikan, kebenaran dan keindahan dalam taman kehidupan (raudhatul hayah), atau bergerak mencegah kejahatan, kebatilan dan kerusakan di permukaan bumi.
Iman juga sebuah gelora yang memberi inspirasi kepada pikiran-pikiran kita. Karena iman pula lahirlah bashirah ( mampu melihat dengan mata hati). Iman juga sebuah cahaya yang menerangi dan melapangkan jiwa kita, maka lahirlah taqwa.
Jika iman menjalar di seluruh bagian tubuh kita, lahirlah harakah (gerakan). Iman juga merobah individu menjadi baik, dan kebaikan individu menjalar dalam kehidupan masyarakat, maka masyarakat menjadi erat dan dekat serta akrab. Secara individual dadanya selamat dari kebencian kepada sesama (salamatush shadr). Dan secara sosial lahir sikap mengutamakan orang lain, sekalipun dirinya dalam kekurangan (al Itsar). Yang kaya di antara mereka menjadi dermawan, yang miskin menjaga Iffah (menjaga kehormatan dan harga diri), yang berkuasa menjadi adil, yang ulama menjadi taqwa, yang kuat menjadi penyayang, yang pintar menjadi rendah hati dan yang bodoh menjadi pembelajar.
Ibadah yang lahir dari iman yang benar menjadikan sumber kesalehan dan kedamaian, ilmu pengetahuannya menjadi sumber kekuatan dan kemudahan, dan kesenian menjadikanya sumber inspirasi kebaikan dan semangat kehidupan, bukan merusak tatanan sosial.
Mengapa Bilal bin Rabah dapat bertahan di bawah tekanan batu karang raksasa dengan terik matahari padang pasir yang membakar tubuhnya?
Mengapa pula ia yang tadinya hanyalah seorang budak bisa berubah menjadi pembesar Islam? Seorang muadzin pertama yang dicatat dalam sejarah Islam?
Ada pula yang namanya, Abdullah ibnu Umi Maktum. Seorang muazin Rasul yang kedua yang tidak pernah masbuk (telat) shalat berjamaah selama masa kehidupannya, padahal ia orang yang buta. Bahkan perjalanan dari rumah ke masjid baginya cukup jauh dan kurang aman.
Jawabannya, karena Umi Maktum hanya sakit fisik saja, bukan sakit ruhaninya. Lalu, mengapa Abu Bakar yang lembut menjadi sangat keras dan tegar saat Perang Riddah? Mengapa Umar Bin Khattab r.a. yang terhormat dan dikenal tegas sebelum menjadi khalifah, selalu “blusukan” pada malam hari untuk melihat secara langsung realitas umat yang dipimpinnya mau membawa gandum ke rumah seorang perempuan miskin di malam hari?
Mengapa Khalid Bin Walid lebih menyukai malam-malam dingin dalam Jihad fi Sabilillah daripada seorang perempuan cantik di malam pengantin?
Mengapa Ali Bin Abu Thalib mau memakai selimut Rasulullah Shallallu ‘alaihi Wassallam dan tidur di kasur beliau saat dikepung menjelang hijrah, atau hadir dalam pengadilan saat beliau menjadi khalifah untuk diperkarakan dengan seorang warganya yang Yahudi?
Mengapa pula Utsman bin Affan bersedia menginfakan semua hartanya, bahkan membiayai sebuah peperangan di masa Rasulullah SAW yang dikenal pada masa paceklik (jaisyul ‘usrah) seorang diri? Jawaban tak lain semua kata Iman!
Sejarah Islam sepanjang lima belas abad ini mencatat dengan tinta emas, kaum Muslimin meraih kemenangan-kemenangan dalam berbagai peperangan, menciptakan kemakmuran dan keadilan, mengembangkan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan dalam peradaban.
Apa yang membuat mereka mencapai semua itu? Itulah saat di mana iman mewarnai/memberikan celupan seluruh aspek kepribadian setiap individu Muslim, dan mewarnai seluruh sektor kehidupan.
Lumpur Syubhat
Tapi sejarah juga menorehkan luka. Pasukan Tartar membantai 80.000 orang kaum Muslimin di Baghdad, Pasukan Salib menguasai Al-Quds selama 90 tahun, surga Andalusia hilang dari genggaman kaum Muslimin dan direbut kembali oleh kaum Salib, Khalifah Utsmaniyah di Turki dihancurkan gerakan Zionisme internasional.
Apa penyebab kehancuran ini? Itulah saat di mana iman hanya menjadi ucapan lisan dan hiasan bibir. Iman tidak mempunyai hakikat dalam jiwa dan pikiran dan tidak memberi vitalitas dan dinamika dalam kehidupan umat.
Jika iman hanya menjadi hiasan lisan dan tak mempengaruhi hati dan amal, yang ada adalah lahirnya lumpur syubhat (kerancuan terhadap kebenaran) dan syahwat (kecintaan yang berlebih-lebihan kepada dunia dan panoramanya). Karena itulah penguasa mereka menjadi zhalim, orang kaya menjadi pelit (bakhil), orang miskin menjadi pengkhianat, dan tentara mereka tidak mempunyai hati!
Abu Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi mengatakan, “Saat kejayaan, kemenangan, keunggulan adalah saat iman, dan saat keruntuhan, keterjajahan, keterpurukan, adalah saat hilangnya iman. Sebagaimana iman menciptakan keajaiban di alam jiwa, seperti itu juga ia menulis cerita keajaiban di alam kenyataan. Gelora dalam jiwa pun menjelma menjadi prestasi-prestasi sejarah. Dari rahim dan madrasah iman dalam sejarahnya telah berkali-kali melahirkan manusia besar, para pahlawan (banyak amal shalih dan pahalanya).”
Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
أَوَ مَن كَانَ مَيْتاً فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُوراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dari apakah orang yang sudah mati kemudian kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-sekali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan…” (Q.S. Al-An’am [6]:122)
Sekarang, ketika berbicara tentang proyek kebangkitan Islam, kita bertemu lagi dengan aksioma ini, saat kejayaan adalah saat iman berfungsi sebagaimana mestinya. Saat keruntuhan adalah ketika iman mengalami disfungsi.*/bersambung Empat Kekuatan Dasyat!
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah