PARA ulama menyatakan bahwa kesedihan adalah kemurkaan yang tak dapat Anda lampiaskan kepada orang yang lebih kuat daripada Anda, sedangkan kemarahan adalah kemurkaan kepada orang yang lebih lemah.
Di dalam kemarahan terdapat unsur kekuatan dan pemaksaan, sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala pun dikatakan bersifat marah dengan kemarahan yang layak bagi keagungan-Nya. Sedangkan kesedihan menunjukkan ketidakpuasan dan kekecewaan, dan merupakan tanda ketidakmampuan. Karena itu, ia tidak disifatkan kepada Allah.
Allah menyatukan keduanya dalam firman-Nya, “Tatkala Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih.” (al-A’raf: 150). Beliau marah karena ketidakpatuhan kaumnya terhadap perintah Allah dan bersedih karena kekuasaan yang tidak dimilikinya.
Al-Mutanabbi berkata kepada Saif ad-Daulah:
Semoga Tuhan mengampuni kesedihanmu itu
Karena kesedihan adalah saudara kandung kemarahan
Di sini dia memohon agar Tuhan mengampuni kesedihan Saif ad-Daulah, karena kesedihan sama dengan kemarahan.
Kesedihan dinafikan dari Allah oleh syari’at dan dilarang keras terhadap Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alahi Wasallam. Tentu saja beliau terkadang merasakannya, tetapi jika ia datang, ia menjadi penebus dosa, sebagaimana dijelaskan hadits, “Allah menjadikan setiap kegelisahan, kecemasan, kesedihan, kelelahan, keletihan, bahkan duri yang menggores seorang Mukmin, sebagai penebus dosa-dosa mereka.” (Al-Bukhari, Muslim).
Kemarahan ada yang terpuji dan ada yang tercela. Yang terpuji adalah yang disebabkan oleh kecintaan pada agama, pembelaan terhadap kehormatannya, serta penolakan terhadap kemungkaran. Dalam hadits shahih disebutkan tiga kali, “Janganlah kamu marah.” (al-Bukhari, Ahmad, at-Tirmidzi)
Di dalam Al-Qur’an disebutkan, “Pada saat mereka membuat Kami murka, Kami pun menghukum mereka.” (az-Zukhruf: 55). Murka sama dengan marah. Tapi, ada yang mengatakan: murka adalah puncak kemarahan, terkadang ia juga puncak kesedihan. Nabi Ya’qub berkata, “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah orang yang menahan marah terhadap anak-anaknya.” (Yusuf: 84)
Rasulullah melarang kesedihan, karena ia tidak dapat mengembalikan apa yang hilang, tidak mendatangkan apa yang telah lewat, tapi malah melemahkan jiwa dan menghalanginya dari ibadah kepada Tuhan. Ibnu al-Qayyim membantah al-Harawi yang menjadikan kesedihan sebagai salah satu ‘stasiun’ orang-orang yang menempuh perjalanan spiritual menuju Allah.
Hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah selalu bersedih, adalah hadits yang tidak shahih. Beliau selalu bergembira dan berlapang dada, sebagai anugerah Allah bagi beliau, sebagaimana firman-Nya, “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu.” (Alam Nasyrah: 1)
Kemarahan Nabi Muhammad adalah demi Allah, bukan demi dirinya, karena beliau telah melapangkan orang yang menyerobot hak-haknya dan memaafkan orang yang menyakitinya. Beliau memaafkan dan melupakan, tapi beliau akan marah demi hukum-hukum dan kehormatan-kehormatan Allah.
Semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada beliau, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya.*/Dr. Aidh ‘Abdullah al-Qarni, dari bukunya Silakan Terpesona.