LISAN adalah sarana dan alat pertama untuk mengungkapkan tentang diri atau jiwa. ‘Diri’ cenderung pada banyak hal, maka lisan adalah saluran terdekat untuk mengungkapkan semua hal tersebut.
Betapa banyak sesuatu yang tidak benar dicenderungi oleh ‘diri’ tampak pada lisan. ‘Diri’ ini condong untuk membanggakan diri, cenderung mengumpat dan berbantahan apabila marah, cenderung untuk mengobrol walau hanya omong, kosong, condong untuk mendebat orang lain, dan cenderung untuk menjadikan orang lain merasakan keutamaan dan keistimewaannya. Semua itu -dan masih banyak yang serupa- tidak seharusnya dipenuhi oleh seorang Muslim. Malah ia harus membiasakan diri untuk memelihara lisannya.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengekang lisan, dan tahap pertama dalam pengekangan lisan adalah diam. Lalu secara berjenjang dia terus berlatih sehingga terbiasa dengan pembicaraan yang wajar.
Orang yang tidak membiasakan diam, sulit menimbang-nimbang kata-katanya sebelum berbicara. Inilah satu di antara banyak hal yang karenanya membiasakan diam bagi seseorang sangat ditekankan sebagai bagian dari mujahadah, dan sebagai salah satu hal penting dalam perjalanan ruhani menuju Allah.
Kadangkala seseorang bisa berkata baik, namun kurang mampu berkata bijak. Suatu contoh, memperingatkan manusia dari murka atau kebencian Allah, dan memberi perhatian kepada mereka tentang api neraka adalah baik. Namun tidaklah bijak apabila hal itu dilakukan pada saat sedang makan. Itulah sebabnya para fuqaha tidak suka kepada orang yang memberi peringatan pada situasi yang demikian itu, karena hal itu merusak adab situasi dan kondisi.
Contoh ini memperjelas tentang bagaimana suatu kata menjadi baik tapi tidak bijak atau kurang membawa hikmah. Persoalan ini merupakan suatu masalah yang tidak berbatas dan tidak ada orang yang mampu melakukannya kecuali dengan taufik dari Allah. Karena itu Dia berfirman: Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak. (Al-Baqarah: 269).
Membiasakan diri untuk diam merupakan awal dari pembiasaan menimbang kata-kata sebelum dilontarkan. Ini adalah hikmah kedua dari diam sebagai salah satu rukun mujahadah, dan tidak syak lagi bahwa lisan merupakan salah satu sumber dari kesalahan terpenting dan kesalahan besar. Kegagalan seseorang dalam mengekang lisan merupakan kegagalan besarnya dalam menggembleng diri dan dalam proses mendidik dirinya.
Diam adalah langkah awal dari pengekangan. Orang yang telah ‘sukses’ dalam melakukan proses diam berarti leluasa untuk sukses dalam mengutarakan pembicaraan yang terkendali dengan taufik Allah. Akhirnya, kalau kita ingat pada hadist, “Kalau tidak karena hati kalian ternoda dan pembicaraan kalian berlebih-lebihan, niscaya kalian akan mendengar apa yang aku dengar,” (HR Ahmad) akan kita dapatkan bahwa berlebih-lebihan dalam pembicaraan merupakan salah satu faktor dari tertutupnya hati dari hal-hal yang gaib. Karenanya, diam adalah jalan untuk kesehatan hati. Semua hal di atas menjadikan diam sebagai salah satu rukun dari mujahadah.
Tapi, diam yang bagaimana?
Diam yang merupakan obat –yakni diam yang merupakan awal dari pengekangan lisan– adalah diam yang berjenjang dan bertahap; diam yang bukan dari pembicaraan yang harus dilontarkan. Jika pembicaraan itu wajib, misalnya amar-ma’ruf nahi munkar, atau mengajarkan sesuatu yang fardhu, maka diam pada situasi yang demikian adalah haram hukumnya.
Dengan kategori tersebut, diam sangatlah baik sebagai salah satu tahapan dalam kehidupan manusia, dan diam hanyalah alat dan sarana, bukan tujuan. Diam juga sangat baik sebagai salah satu tahapan dalam kehidupan (selama jiwa konstan), dan bukan sebagai seluruh tahapan dalam kehidupan.
Berdasarkan ini, kita dapat memahami masalah diam sebagai salah satu rukun dari mujahadah.*/Said Hawwa, dari bukunya Jalan Ruhani.