HARUN Ar-Rasyid pernah berkata kepada Al-Fadhl ibn Ar-Rabi’, “Carikan seseorang sebagai tempat aku bertanya!”
Al-Fadhl menjawab, “Di sana ada Al-Fudhail ibn `Iyadh.”
Harun Ar-Rasyid berkata, “Ayo kita temui dia!”
Harun Ar-Rasyid dan Al-Fadhl ibn Ar-Rabi’ datang ke rumah Al-Fudhail dan ia sedang melakukan shalat sambil membaca ayat Al-Quran yang diulang-ulang.
Keduanya mengetuk pintu rumahnya, Al-Fudhail lantas bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”
Al-Fadhl berkata, “Penuhilah panggilan Amirul Mukminin.”
Al-Fudhail membalas, “Mengapa aku harus memenuhi panggilannya?”
Al-Fadhl berkata, “Subhanallah. Bukankah engkau harus menaatinya?”
Al-Fudhail membukakan pintu, kemudian masuk ke kamar dan mematikan lampu rumahnya. Ia lantas pergi menuju salah satu ruang di rumahnya, dan Al-Fadhl beserta Khalifah Harun berjalan dalam kegelapan sambil meraba-raba. Ketika telapak tangan Harun Ar-Rasyid menyentuh telapak tangan Al-Fudhail ibn ‘Iyadh, Al-Fudhail berkata, “Alangkah lembutnya tangan orang ini jika esok ia selamat dari siksa Allah!”
Khalifah Harun berkata, “Berilah kami nasihat yang baik.”
Al-Fudhail, “Ketika Umar ibn Abdul Aziz dipilih sebagai Khalifah, ia memanggil Salim ibn Abdullah, Muhammad ibn Ka’ab Al-Quradhi, dan Raja’ ibn Haywah. Setelah mereka hadir di hadapannya, Umar ibn Abdul Aziz berkata, ‘Saat ini aku dengan ‘bencana’ ini. Berilah aku nasihat-nasihat yang baik.”
Umar ibn Abdul Aziz menganggap khilafah (jabatan) sebagai bencana, sementara orang lain menganggapnya sebagai nikmat!
Salim ibn Abdullah berkata kepada Umar ibn Abdul Aziz, “Berpuasalah dari dunia dan jadikan waktu berbukamu adalah saat kematian.”
Muhammad ibn Ka’ab menasihati Umar ibn Abdul Aziz, “Jika engkau ingin terhindar dari siksa Allah, jadikanlah para tokoh Muslim sebagai ayahmu, kalangan tengah kaum muslimin sebagai saudaramu, dan kalangan kecil kaum muslimin sebagai anakmu. Hormatilah ayahmu, muliakan saudaramu dan sayangilah anak-anakmu!”
Raja’ ibn Haywah menasihati Umar, “Jika kau ingin selamat dari siksa Allah, senangkanlah kaum Muslimin seperti ketika kau menyenangkan dirimu dan jauhkan dari kaum muslimin apa pun yang kau jauhkan dari dirimu. Setelah itu, silakan kau mati kapan saja.”
Aku (Al-Fudhail) menasihatimu seperti ini karena aku sangat mengkhawatirkan keselamatan dirimu ketika datang hari di mana kaki-kaki tergelincir. Siapa orang-orang yang seperti mereka yang mau menasihatimu atau memerintahkan seperti itu?
Harun Ar-Rasyid lantas menangis tersedu-sedu sampai pingsan.
Al-Fadhl berkata, “Kasihanilah Amirul Mukminin.”
Al-Fudhail menjawab, “Wahai Putra Ummu Rabi’, kau dan teman-temanmu telah membunuhnya, sedang aku telah mengasihinya!”
Setelah Harun Ar-Rasyid sadar, ia berkata kepada Al-Fudhail, “Tambahkan nasihatmu kepadaku!”
Al-Fudhail berkata, “Aku pernah mendengar sebuah kisah, wahai Amirul Mukminin, bahwa seorang pejabat pada pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz dilaporkan telah berbuat tidak tidak benar. Umar ibn Abdul Aziz lantas menulis surat kepadanya, ‘Ingatlah selalu akan penduduk neraka yang selalu tersiksa dalam api neraka selamanya. Hal itu akan mendorong engkau selalu bersimpuh di hadapan Tuhanmu, dalam tidur atau dalam terjaga. Jangan sekali-kali engkau berpaling dari Allah menuju pintu api neraka hingga engkau kehilangan harapan!”
Setelah pejabat itu membaca surat dari Umar ibn Abdul Aziz tersebut, ia langsung datang kepada Umar ibn Abdul Aziz walau dari tempat yang jauh. Umar bertanya kepadanya, “Mengapa Engkau datang?”
Pejabat itu menjawab, “Suratmu telah mencopot jantungku. Aku berjanji tidak akan menerima jabatan apa pun darimu sampai aku bertemu dengan Allah!”
Mendengar cerita Al-Fudhail tersebut, Harun Ar-Rasyid menangis tersedu-sedu, kemudian berkata, “Tambahkan nasihatmu kepadaku.”
Al-Fudhail melanjutkan, “Wahai orang yang berwajah tampan, kelak engkau akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Jika kau sanggup menghindarkan wajah itu dari api neraka, lakukanlah. Jangan kau masuki pagi dan sore hari, sementara di hatimu ada kehendak untuk menipu rakyatmu!”
Harun makin menangis tersedu-sedu kemudian ia berkata, “Apakah kau punya utang?”
Al-Fudhail, “Ya, aku mempunyai utang kepada Tuhanku dan Dia belum menuntutku. Alangkah celakanya aku jika Dia menagih utang itu kepadaku. Alangkah celakanya jika Dia mempertanyakan utang itu kepadaku. Alangkah celakanya aku jika Dia tidak memberikan ilham kepadaku untuk aku jadikan alasan!”
Ar-Rasyid berkata, “Maksudku utang pada hamba, bukan pada Tuhan!”
Al-Fudhail menjawab, “Sungguh Tuhanku tidak pernah memerintahkan aku untuk melakukan ini. Tuhanku memerintahkan agar aku menepati janji dan menaati perintah-Nya.”
Al-Fudhail lantas membaca ayat, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Al-Dzariyat: 56-58).
Harun lantas berkata kepada Al-Fudhail, “Ini seribu dinar. Terimalah uang ini dan nafkahkan kepada siapa saja. Gunakan uang ini untuk memperkuat ibadahmu.”
Al-Fudhail berkata, “Subhanallah, aku menunjukkan kepadamu jalan keselamatan, dan kau memberiku balasan seperti ini. Semoga Allah menyelamatkan dirimu dan memberimu petunjuk.”
Al-Fudhail lantas diam hingga Harun Ar-Rasyid dan pengawalnya pergi dari sisinya.*/Mansur Abdul Hakim, dikutip dari bukunya Menangis Karena Allah.