KAIDAH ini muncul dari kaidah yang pertama dan tegak di atasnya. Artinya, harta dalam pandangan Islam merupakan sarana hidup yang baik dan untuk berbuat kebaikan, maka kita harus berusaha untuk memperoleh harta itu sesuai dengan sunatullah dalam mengaitkan antara sebab dan musababnya.
Islam mengajak kita untuk berusaha dan bekerja. Islam juga memerintahkan kita agar jauh dari sikap putus asa dan malas. Beberapa firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dia-lah yang menjadikan bumi ini budak bagi kamu, berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali) setelah dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)
“Apabila shalat telah dikerjakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah: 10)
Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang menyantap makanan yang lebih baik daripada makanan yang dihasilkan dari hasil kerjanya sendiri.” (HR. Bukhari)
Islam memang tidak hanya menyeru manusia untuk beraktivitas duniawi. Tetapi aktivitas tersebut dapat dimasukkan dalam kategori ibadah kepada Allah, selama dilakukan dengan niat karena Allah dengan mematuhi hukum-hukum-Nya.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa keluar rumah untuk berusaha (menghidupi) anaknya yang masih kecil, ia berada di jalan Allah. Jika ia keluar demi kedua orang tuanya yang telah renta, ia berada di jalan Allah. Jika keluar demi menghidupi dirinya –agar menjadi orang terhormat– ia pun berada di jalan Allah.” (HR. Thabrani)
Dalam mendorong seseorang untuk bercocok tanam, Rasulullah bersabda,
“Tidaklah seorang Muslim menanam suatu pohon lalu datanglah burung, orang, atau binatang untuk memakannya, melainkan ia bernilai sedekah.” (HR. Muttafaq alaih)
Dalam menggembala ternak, Rasulullah bersabda, “Allah tidak mengutus seorang nabi pun kecuali pernah meggembala kambing. Dan saya dulu juga pernah menggembala kambing milik penduduk Makkah dengan imbalan gaji.” (HR. Bukhari)
Dalam bidang wiraswasta, Rasulullah mencontohkan dengan Nabi Daud a.s. yang diberi kemampuan oleh Allah dapat melunakkan besi untuk dibuat baju perang. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Nabi Allah Daud a.s. tidak makan, kecuali dari hasil kerjanya sendiri.” (HR.Bukhari)
Rasulullah juga memerangi tradisi bangsa Arab yang suka menghina pekerjaan wiraswasta dan kerajinan tangan, sementara sebagian mereka mengandalkan meminta-minta kepada orang berada. Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jika ada seseorang di antara kamu yang mengambil tali dan mengikatkan di punggungnya lalu kembali dengan membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya dan menjualnya, sehingga dengan itu Allah memberinya kehormatan, itu lebih baik baginya daripada meminta-minta, baik diberi atau ditolaknya.” (HR. Bukhari)
Di antara fardhu kifayah yang harus ditunaikan kaum Muslimin adalah mempersiapkan sejumlah orang yang memadai dan terlatih untuk menekuni semua profesi yang diperlukan masyarakat. Dengan itu, kaum Muslimin bisa mandiri dalam pemenuhan kebutuhannya. Mereka makan dari hasil menanam, berpakaian dari produksi sendiri, dan mempersenjatai tentara dengan senjata buatan sendiri. Ini berdasar firman Allah, “Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (QS. Al-Hadid: 25)
Kata “kekuatan yang hebat” menunjukkan pentingnya produk-produk militer dan kata “manfaat bagi manusia” mengisyaratkan pentingnya produk-produk sipil. Jika semua itu belum terpenuhi, maka kaum Muslimin menanggung dosa, terutama kalangan pemimpinnya.
Di antara sisi keindahan yang dipaparkan sebagian ulama adalah bekerja dan berusaha, meskipun itu mubah di satu sisi dan merupakan kewajiban dari sisi yang lain.
Imam Ar-Raghi berkata dalam kitab Adz-Dzari’ah ila Makarim Asy-Syari’ah, “Bekerja di dunia ini, walaupun di satu sisi dianggap mubah, tetapi di sisi lain termasuk wajib. Demikian itu karena seseorang tidak mungkin bisa konsentrasi beribadah kecuali apabila kebutuhan primernya terpenuhi, sehingga memenuhinya menjadi wajib. Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib hukumnya.
Apabila tidak ada jalan lain untuk memenuhi kebutuhan pokoknya kecuali dengan memberdayakan orang lain, maka ia harus memberikan imbalan kepada orang tersebut atas jerih payahnya. Jika tidak, maka ia termasuk zalim.
Barangsiapa merasa memiliki peluang menikmati hasil kerja orang lain dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lainnya, maka ia harus bekerja untuk mereka dengan kadar sesuai yang didapatkan dari mereka. Jika tidak demikian, maka ia juga zalim, baik sengaja maupun tidak.
Barangsiapa rela dengan pekerjaan mereka yang sedikit sehingga tidak memperoleh dari mereka kecuali juga sedikit, maka ia juga cukup bekerja dengan ringan.
Masyarakat Islam juga diwajibkan untuk memberi upah yang sesuai kepada para pekerja, tidak mengurangi haknya, dan tidak menunda pemberian upahnya. Rasulullah bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah dan Thabrani)
Di dalam hadis Qudsi dikatakan, “Tiga orang yang pada hari kiamat akan menjadi musuh-Ku (di antaranya)…seseorang yang mempekerjakan seorang pekerja dan ia menunaikan tugasnya, tetapi orang itu tidak memberikan upahnya.*/Sudirman STAIL (Sumber buku: Masyarakat Berbasis Syariat Islam, penulis Dr.Yusuf Qardhawi)