Permenlu Nomor 3 Tahun 2019 sangat jelas ‘Israel’ tidak boleh hadir di Indonesia, di sisi lain FIFA sendiri dalam banyak kesempatan, sangat membela ‘Israel’ dan mendiskriminasikan Palestina
Oleh: Pizaro Gozali Idrus
Hidayatullah.com | RENCANA kehadiran tim sepak bola ‘Israel’ U-20 ke Indonesia menimbulkan banyak perbincangan di masyarakat pencinta bola hingga masuk ke ranah politik. Hal itu lantaran Indonesia selaku tuan rumah Piala Dunia U-20 akan menjamu semua tim yang lolos dalam pertandingan yang dihelat di enam stadion selama 20 Mei hingga 11 Juni 2023 itu. Salah satunya, ‘Israel’.
Banyak pengamat olahraga yang tak mempermasalahkan rencana kehadiran tim Zionis itu ke Indonesia. Alasannya, politik dan olahraga tidak bisa disatukan.
Sementara sikap ormas-ormas Islam berbeda. Mereka jelas menolak rencana kehadiran ‘Israel’ jauh-jauh hari.
Penulis melihat peristiwa ini menjadi momen yang tepat untuk mengungkap kepada publik mengenai konstitusi antikolonialsime Republik Indonesia. Bukankah selama ini banyak pihak yang berteriak bahwa Indonesia adalah negara hukum dan NKRI harga mati?
Membaca Konstitusi
Isu kehadiran atlet ‘Israel’ sudah menjadi pembahasan para pendiri bangsa terdahulu. Saat dipimpin Presiden Soekarno, tim Nasional Indonesia menolak pertandingan melawan ‘Israel’ pada kualifikasi Piala Dunia 1958.
Peristiwa itu terjadi pada 1957 ketika Indonesia seharusnya bertemu ‘Israel’ di babak playoff Piala Dunia 1958. Namun, Indonesia memilih mundur usai permintaan laga digelar di tempat netral ditolak oleh FIFA.
Penolakan Indonesia terhadap ‘Israel’ kembali terjadi pada Asian Games 1962 di Jakarta. Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) memutuskan untuk menskors Indonesia dari keanggotaan IOC.
Meski tidak setuju karena pesta olahraga itu menelan biaya besar, Hatta mengatakan alasan utama lain penolakan pemerintah adalah adanya hasrat ‘Israel’ untuk ikut serta.
“Bagaimana pula soal lagu kebangsaan mereka? Konsekuensi ini agak berat,” kata Hatta dalam suratnya kepada Perdana Menteri Djuanda pada 24 Juni 1958 seperti dikutip Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik (LP3ES, 1990).
Bagi Hatta, partisipasi ‘Israel’ sama saja bentuk pengakuan kedaulatan terhadap penjajah. Jadi, jika sekarang ada seorang guru besar hukum internasional meminta publik memisahkan partisipasi ‘Israel’ dengan dukungan Palestina, hal itu jelas ahistoris.
Sikap anti penjajahan para pendiri bangsa itulah yang melatarbelakangi dituangkannya garis-garis besar politik luar negeri Indonesia berdasarkan Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No.2/ Kpts/Sd/1/61 tanggal 19 Januari 1961.
Di mana ada tiga garis besar dalam politik luar negeri Indonesia. Pertama, mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional Indonesia.
Kedua, mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa di dunia. Ketiga, mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian dunia. (Lihat: Jajasan Kesedjahteraan Karyawan Deplu, Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri 1945-1970, Jakarta: 1971)
Sementara itu, Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia juga menjelaskan kebijakan anti kolonialisme. TAP MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia ada dua.
Pertama, bebas aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua, mengabdi kepada kepentingan nasional dan Amanat Penderitaan Rakyat.
Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Hubungan Luar Negeri oleh Pemda dalam Bab X, jelas tertulis tentang larangan menerima delegasi ‘Israel’. Aturan tersebut diteken oleh Menteri Luar Negeri Retno Lestari Marsudi.
Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa, pertama, tidak ada hubungan secara resmi antara Pemerintah Indonesia dalam setiap tingkatan dengan ‘Israel’, termasuk dalam surat-menyurat dengan menggunakan kop resmi. Kedua, tidak menerima delegasi ‘Israel’ secara resmi dan di tempat resmi.
Ketiga, tidak diizinkan pengibaran/penggunaan bendera, lambang, dan atribut lainnya serta pengumandangan lagu kebangsaan ‘Israel’ di wilayah Republik Indonesia. Keempat, kunjungan warga ‘Israel’ ke Indonesia hanya dapat dilakukan dengan menggunakan paspor biasa.
Kelima, otorisasi pemberian visa kepada warga ‘Israel’ dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM c.q. Direktorat Jenderal Imigrasi. Visa diberikan dalam bentuk afidavit melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura atau Bangkok.
Dalam melakukan hubungan dengan Israel kiranya diperhatikan prosedur yang ada dan selama ini masih berlaku:
a. tidak ada hubungan secara resmi antara Pemerintah Indonesia dalam setiap tingkatan dengan Israel, termasuk dalam surat menyurat dengan menggunakan kop resmi;
b. tidak menerima delegasi Israel secara resmi dan di tempat resmi;
c. tidak diizinkan pengibaran/penggunaan bendera, lambang dan atribut lainnya serta pengumandangan lagu kebangsaan Israel di wilayah Republik Indonesia;
d. kehadiran Israel tidak membawa implikasi pengakuan politis terhadap Israel;
e. kunjungan warga Israel ke Indonesia hanya dapat dilakukan dengan menggunakan paspor biasa; dan
f. otorisasi pemberian visa kepada warga Israel dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM c.q. Direktorat Jenderal Imigrasi. Visa diberikan dalam bentuk afidavit melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura atau Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bangkok. (Permenlu Nomor 3 Tahun 2019 tentang Hubungan Luar Negeri oleh Pemda)
Jadi, dalam Permenlu sangat jelas bahwa delegasi ‘Israel’ tidak boleh hadir di Indonesia karena mereka merupakan delegasi resmi di bawah entitas penjajahan.
FIFA Melanggar Statusnya Sendiri
Anehnya, meski selalu mengusung tema fair play, FIFA sendiri tidak benar-benar menerapkannya dalam kasus penjajahan terhadap Palestina. Dalam banyak kesempatan, FIFA sangat membela ‘Israel’ dan mendiskriminasikan Palestina.
Sejak 2013, Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA) telah secara aktif memperjuangkan pengakuan yang mencakup hak-hak yang tercantum dalam Pasal 72.2 Statuta FIFA yang berbunyi: ‘Asosiasi anggota dan klubnya tidak boleh bermain di wilayah asosiasi anggota lain’.
Hal ini lantaran ada enam klub ‘Israel’ yang berbasis di wilayah pendudukan Tepi Barat. Mereka antara lain Kiryat Arba, Givat Zeev, dan Maale Adumim.
PFA mengatakan tindakan tersebut bertentangan dengan undang-undang FIFA yang menyatakan bahwa tim negara anggota tidak dapat memainkan pertandingan di wilayah asosiasi lain tanpa izin.
Alih-alih taat terhadap statuta yang dibuatnya sendiri, FIFA tak memenuhi tuntutan dari Palestina dan membiarkan para klub ‘Israel’ bermain di tanah curian. Inilah yang membuat banyak pihak telah mengkritik keberpihak FIFA terhadap Israel. Jadi, di sini, siapakah yang berpolitik?
Pengajar Hubungan Internasional di Universitas Al-Azhar Indonesia, mantan redaktur di Kantor Berita Anadolu Agency