Oleh: Muhammad Syafii Kudo
Hidayatullah.com | SYAHDAN, suatu hari ketika Nabi Isa AS. berada di atas sebuah bukit, beliau didatangi oleh Iblis. Dia kemudian bertanya kepada Nabi Isa AS, ”Bukankah kalian mengatakan jika saja Allah menghendaki kematian terjadi pada diri seorang manusia niscaya kematian itu akan terjadi?”, Nabi Isa menjawab, “Benar”.
Iblis kemudian bertanya lagi, “Bila Allah tidak menghendakinya?” Nabi Isa kemudian menjawab lagi, “Kematian itu tidak akan terjadi.”
Iblis -Laknat Allah atasnya- menukas, “Kalau begitu lompatlah dari atas bukit ini, jika Allah memang menghendaki kematianmu, engkau pasti akan mati. Tetapi (bila tidak menghendakinya) engkau juga tidak akan mati.”
Nabi Isa AS kemudian membentak makhluk laknat itu dan berkata, “Enyahlah kau wahai Iblis terlaknat! Sesungguhnya Allah memang berhak menguji hamba-hambaNya, tetapi bukan hak manusia untuk menguji Tuhannya.”
Riwayat yang saya nukil dari buku karya Muhammad Amin Al Jundi yang berjudul 101 Kisah Teladan, terbitan Mitra Pustaka itu, memberi pelajaran kepada kita bagaimana cara menjawab sebuah pertanyaan dan bagaimana cara menyikapinya.
Bahwasannya ada pertanyaan yang ternyata tidak usah dijawab dengan pertimbangan tertentu seperti pertanyaan yang mengandung fitnah kepada agama seperti yang dilakukan oleh Iblis kepada Nabi Isa As tersebut.
Jika pertanyaan seorang penanya memang layak dijawab maka wajib dijawab oleh yang ditanya jika memang ia memiliki ilmu mengenainya. Namun jika tidak memiliki ilmu tentangnya maka mengucapkan “Wallahu A’lam” adalah jawaban terbaik.
Di dalam Kitab Manhajus Sawy Syarh Ushul Thoriqoh Ala Sadah Ali Ba’lawi karya Habib Zain Bin Ibrahim Bin Smith disebutkan di dalam Bab Adab Seorang Alim, Di antara adab seorang alim adalah mengatakan “Aku tidak tahu” atau “Wallahu a’lam” (Allah lebih mengetahui) apabila ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya.
Diriwayatkan dalam atsar dari Ibnu Umar Ra, yang mengatakan, “Ilmu itu ada tiga: kitab yang menuturkan, sunnah yang berlaku, dan ucapan ‘Aku tidak tahu.”(HR. ath-Thabrani dalam al-Ausath).
Al-Imam Muhyiddin An-Nawawi mengatakan, “Di antara ilmu seorang alim, ketika tidak mengetahui suatu hal, adalah mengatakan ‘Aku tidak tahu’ atau ‘Wallahu a’lam’.”
Ibnu Mas’ud Ra. mengatakan, “Wahai manusia, bila mengetahui sesuatu, katakanlah (jelaskanlah), dan bila tidak mengetahui, ucapkanlah, ‘Wallahu a’lam.’ Karena, mengatakan, ‘Wallahu a’lam’, tentang sesuatu yang tidak diketahuinya, adalah termasuk ilmu.”
Allah berfirman kepada Nabi-Nya,
قُلْ مَآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.’” (QS: Shaad: 86).
Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketahuilah bahwa keyakinan para muhaqqiq tentang ucapan seorang alim, ‘Aku tidak tahu,’ tidak menurunkan kedudukannya, tetapi menunjukkan keagungan tempatnya, ketakwaannya, dan kesempurnaan makrifatnya. Karena, seorang pakar tidak akan terganggu oleh ketidaktahuannya tentang beberapa masalah.
Bahkan ucapan, ‘Aku tidak tahu’ dapat dijadikan petunjuk atas ketakwaannya dan bahwa ia tidak sembarangan dalam memberikan fatwa.” Demikian keterangan dari mukadimah kitab Syarh al-Muhadzdzab.
Namun jika ada orang bertanya mengenai sesuatu yang muhal (mustahil) terutama tentang Allah SWT maka meninggalkan mereka alias tidak menjawabnya adalah jawaban yang paling bijak.
Sebuah kalam hikmah mengatakan;
ترك الجواب على الجاهل جواب
“Tidak menjawab pertanyaan orang bodoh adalah jawaban bagi mereka.”
Dan hal itu dicontohkan oleh Nabi Idris As saat didatangi oleh Iblis. Di dalam kitab Tuhfatul Murid Ala Jauharotit Tauhid yang ditulis oleh Syaikh Ibrahim Bin Muhammad Al Bajuri As Syafii disebutkan sebuah kisah saat Iblis berdialog dengan Nabi Idris As. Saat itu Iblis bertanya, “Apakah Tuhanmu mampu memasukkan dunia ke dalam lubang besi?” Nabi Idris As lalu menusukkan jarum ke mata Iblis dan mencongkelnya.
Kemudian Nabi Idris As berkata kepadanya, “Sesungguhnya Tuhanku Maha Mampu untuk memasukkan dunia ke dalam lubang jarum.”
Di kitab tersebut ada keterangan bahwa dunia itu dikecilkan ukurannya terlebih dahulu atau lubang jarumnya yang dijadikan besar hingga dunia bisa masuk ke dalamnya. Karena jika tidak dengan cara demikian maka hal tersebut adalah mustahil. Namun Nabi Idris As tidak menjelaskan secara detail jawabannya kepada Iblis. Dengan alasan Iblis bersifat keras kepala. Dan jawaban bagi orang yang keras kepala adalah meninggalkannya.
Dan adapun ditusuknya kedua mata Iblis oleh Nabi Idris As adalah karena perbuatan Iblis bertanya hal-hal yang tidak patut mengenai Allah itu bertujuan untuk memadamkan cahaya iman dan cahaya mata hati (Bashiroh). (Tuhfatul Murid Ala Jauharotit Tauhid hal. 86; Terb. Darul Kitab Al Islamiyyah, Jakarta, Ramadhan 1435 H / Juli 2014 M). (bersambung) >>>