Negara miskin yang mayoritas penduduknya beragama Islam diincar ISIS dan ditekan pemerintahnya sendiri
Hidayatullah.com | LEBIH dari 1.800 pegawai negeri telah dimobilisasi di wilayah Khatlon di Tajikistan selatan untuk mendatangi rumah-rumah untuk memperingatkan orang-orang agar tidak bergabung dengan kelompok ekstremis agama.
Selama pembicaraan informal — bagian dari kampanye yang lebih luas yang dikenal sebagai Door-To-Door — para pejabat mendesak orang-orang untuk tetap waspada terhadap kelompok-kelompok daring yang berupaya merekrut pemuda untuk organisasi “teroris”, menurut penduduk Khatlon.
Pemerintah di Dushanbe semakin cemas dan khawatir meningkatnya kelompok Islam setelah puluhan warga negara Tajikistan dikaitkan serangan “teroris” dan rencana melakukan aksi di Rusia, Iran, Amerika Serikat, dan Eropa tahun ini.
“Informasi yang kami peroleh dari lembaga penegak hukum mengkhawatirkan. Jumlah anak muda yang bergabung dengan kelompok ekstremis agama sangat tinggi di provinsi kami,” kata Gubernur Khatlon Davlatali Saeed kepada wartawan pada bulan Agustus, meski ia tidak memberikan angka pastinya.
Menurut Radio Free Europe (RFE) Tim Door-To-Door telah mengunjungi lebih dari 620.000 rumah tangga di seluruh provinsi sejauh ini untuk berbicara dengan anak muda dan orang tua mereka, kata Saeed.
Tim terdiri dari pejabat pemerintah, anggota dewan lokal, guru, dan dokter — telah mengikuti kursus khusus sebelumnya, katanya.
Seorang warga Khatlon mengatakan kepada RFE/RL bahwa para pejabat juga meminta orang-orang untuk mengingatkan kerabat mereka yang bekerja di Rusia agar berhati-hati terhadap calon perekrut organisasi teroris.
Tim Door-To-Door telah mengunjungi lebih dari 620.000 rumah tangga di Provinsi Khatlon.
“Mereka menyuruh saya untuk selalu memperingatkan suami dan anak saya yang bekerja sebagai pekerja migran bahwa mereka tidak boleh memercayai semua jenis orang, untuk berhati-hati, dan hanya fokus pada pekerjaan mereka sendiri,” kata Gulandom, yang hanya menyebutkan nama depannya.
Pihak berwenang mengklaim bahwa mayoritas warga negara Tajikistan yang telah bergabung dengan kelompok ekstremis seperti ISIS dan afiliasinya telah teradikalisasi di Rusia.
Satu studi yang diterbitkan oleh Akademi Kementerian Dalam Negeri Tajikistan pada bulan Agustus menyimpulkan bahwa sedikitnya 85 persen warga negara Tajikistan bergabung dengan kelompok ISIS di zona konflik asing seperti Suriah, Irak, dan Afghanistan direkrut saat bekerja di Rusia.
Penulis studi tersebut memperingatkan bahwa ideologi ekstremis agama sedang meningkat di kalangan migran dan menimbulkan “ancaman serius bagi keamanan nasional.”
Mereka memperingatkan terhadap “imam internet” yang menggunakan media sosial untuk menjangkau pekerja migran.
Sejak Januari, hingga 30 warga negara Tajikistan telah dituduh melakukan atau merencanakan aksi teror di luar negeri atas IS-K, yang berafiliasi pada ISIS.
Pejabat Rusia mengklaim serangan mematikan pada 22 Maret di tempat konser Balai Kota Crocus di luar Moskow dilakukan empat warga negara Tajikistan.
Hingga 20 tersangka lainnya, sebagian besar warga Tajikistan, telah ditangkap di Rusia karena membantu para tersangka penyerang. Serangan yang diklaim oleh IS-K tersebut menewaskan 145 orang.
Di Iran, dua warga negara Tajikistan dilaporkan melakukan bom ganda yang menewaskan 91 orang di kota Kerman pada 3 Januari.
Pada bulan Juni, delapan migran Tajikistan ditangkap di Amerika Serikat atas dugaan merencanakan serangan teroris di wilayah AS.
Polisi Jerman melaporkan pada bulan Januari bahwa seorang pria Tajikistan ditangkap atas dugaan merencanakan serangan terhadap katedral di Jerman dan Austria.
Ditekan pemerintah, diincar ISIS
Tajikistan — negara miskin yang sebagian besar penduduknya beragama Islam dengan sekitar 10 juta penduduk — memiliki bahan-bahan untuk membuat sebagian pemudanya yang kecewa rentan terhadap propaganda IS daring, yang memangsa populasi yang rentan.
Pengangguran dan korupsi telah melanda negara tersebut selama tiga dekade.
Di saat yang sama, pemerintah secara ketat mengontrol praktik ajaran Islam, menutup semua sekolah agama dan banyak masjid, serta melarang wanita muslimahnya mengenakan jilbab di sekolah dan tempat kerja. tindakan keras ini telah membuat marah banyak warga Tajikistan.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah Tajikistan mengeluariakn inisiatif Door-To-Door — bersama dengan kampanye Village-By-Village dan Street-By-Street – selam asatu dekade lalu untuk mempromosikan kebijakan pemerintah yang berfokus pada sosial, masalah keuangan, dan budaya.
Di beberapa wilayah, kampanye tersebut juga mempromosikan pakaian nasional Tajik untuk wanita, sebuah kasus yang diperjuangkan Dushanbe dalam upayanya menghapus jilbab Islam.
Di saat yang sama, pemerintah mengesahkan undang-undang yang melarang jilbab, termasuk peraturan terbaru dari serangkaian 35 tindakan terkait agama yang luas, dalam sebuah langkah yang dijelaskan oleh pemerintah sebagai “melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul dan ekstremisme”.
Undang-undang berbau diskriminasi ini bahkan disetujui majelis tinggi parlemen Majlisi Milli Kamis lalu. Isinya melarang penggunaan “pakaian asing” — termasuk jilbab, atau penutup kepala yang dikenakan oleh wanita Muslim.
Dengan peratusan diskriminasi ini, warga negara Tajikistan didorong mengenakan pakaian nasional Tajikistan.
Mereka yang melanggar hukum akan dikenakan denda mulai dari 7.920 somoni Tajikistan (hampir €700) untuk warga negara biasa, 54.000 somoni (€4.694) untuk pejabat pemerintah, dan 57.600 somoni (sekitar €5.000) jika mereka adalah tokoh agama.
Undang-undang serupa yang disahkan awal bulan ini memengaruhi beberapa praktik keagamaan, seperti tradisi berusia berabad-abad yang dikenal di Tajikistan sebagai “iydgardak,” di mana anak-anak mendatangi rumah-rumah untuk mengumpulkan uang saku pada hari raya Idul Fitri.
Keputusan itu dianggap mengejutkan, karena negara Asia Tengah dengan penduduk sekitar 10 juta jiwa ini 96% penduduknya Muslim, menurut sensus terakhir tahun 2020.*