Oleh Musthafa Luthfi* Hidayatullah.com–Sejak Sabtu (13/6) pagi, sebelum pengumuman resmi, para pemerhati pemilhan Presiden Iran di kawasan Timur Tengah (Timteng), sudah dapat memastikan hasil pemilihan yang berlangsung sehari sebelumnya bahwa Presiden Mahmoud Ahmadinejad (52) menang mutlak dalam pemilu terbesar sejak revolusi tahun 1979 yang menandai berdirinya Republik Islam Iran pasca Shah Reza Pahlevi. Saat penghitungan telah mencapai 80 persen dari total suara yang sah, Presiden dari kubu al-muhafizin (konservatif) itu telah mengantongi 65 persen suara yang tidak mungkin terkejar oleh saingan terdekatnya Mier Hossein Mousavi dari kubu al-islahiyin (reformis) yang meraih hanya 32 persen suara. Sisa suara diraih oleh dua pesaing lainnya yang sebelumnya memang diluar persaingan yakni Mohsen Rezai, mantan Kepala Garda Revolusi Iran , Mehdi Karoubi, mantan Ketua Parlemen Iran .
Pengumuman resmi yang disampaikan Mendagri Iran , Sadiq Mahsouli tidak terlalu jauh dari hasil penghitungan sementara. Nejad tetap unggul mutlak dengan meraih 62,6 persen suara pemilih, Mousavi meraih 33,75 persen. Pemilihan Presiden (Pilpres) ke-10 ini merupakan terbesar yang diwarnai persaingan “panas“ antara dua kubu tersebut. Dari 46 juta penduduk Iran yang memiliki hak pilih yang telah terdaftar dari sekitar 70 juta jiwa total penduduk negeri itu, sebanyak 39 juta orang menggunakan hak pilih mereka (84,7 persen) sehingga angka ini sebagai rekor terbesar dalam sejarah pilpres di negeri Persia itu sejak revolusi Islam tahun 1979. Dewan Penegak Konstitusi (DPK) akan menyampaikan sikap terakhir tentang hasil pemilu tersebut seminggu kemudian. Meskipun suara-suara sumbang dari dua pesaing Nejad yang mewakili kubu reformis Mousavi dan Karoubi, namun hampir dipastikan DPK akan mengukuhkan hasil resmi. Karoubi misalnya menganggap hasil pemilu kali ini sebagai “tidak sah dan tidak bisa diterima“ dan Mousavi yang sebelum penghitungan suara sudah mengumumkan dirinya sebagai pemenang, mensinyalir adanya pelanggaran dan kecurangan. Sebagai konsekwensi dari sikap calon yang kalah, puluhan ribu pendukung Mousavi melakukan unjuk rasa dan ratusan pendukung dari kedua kubu juga terlibat bentrokan fisik di Teheran. Para pendukung Mousavi meneriakkan yel-yel “Nejad telah menyebabkan negara bankrut dan akan melakukan kebijakan yang sama 4 tahun mendatang“. Intinya hasil pilpres tersebut tidak ada yang mengejutkan sebagaimana dugaan para pengamat sebelumnya yang menjagokan kelompok reformis yang diharapkan bisa beradaptasi dengan kebijakan Barat terutama AS dan lebih khusus lagi setelah orasi Presiden Barack Obama buat dunia Islam dari Kairo 4 Juni lalu. Kejutaan hanya terjadi pada protes pendukung Mousavi yang hingga dua hari setelah pilpres terus melangsungkan unjuk rasa yang kemungkinan besar akan berlanjut. Terlepas dari sikap terakhir DPK dan ketidakpuasan dari pendukung Capres yang kalah, yang jelas yang tidak boleh dilupakan dari Pemilu di negeri Persia itu adalah keempat calon yang bersaing memiliki kesamaan landasan yakni bertujuan untuk memperkokoh kebangkitan Iran, mempertahankan kepentingannya, hak mencapai penguasaan teknologi nuklir bahkan hingga penguasaan teknologi senjata nuklir meskipun berbeda dalam cara mewujudkan target tersebut. Keempat calon juga ingin mengembalikan wibawa dan peran Iran sebagai polisi di kawasan. Bedanya pada masa Syah Pahlevi , Iran pernah menjadi polisi di kawasan namun untuk menjaga kepentingan AS dan Israel sebagai sekutu utamanya saat itu. Namun kali ini, ingin menjadi polisi untuk memperkokoh perannya sebagai negara besar kawasan sebagai penentu keputusan menyangkut strategi masa depan wilayah kaya minyak yang selama ini berada di bawah hegemoni Barat itu. Keinginan tersebut tidak berlebihan sebab boleh dikatakan Iran saat ini negara tunggal yang benar-benar independen di kawasan yang tidak melandasakan keputusan dari luar (barat maupun timur) disamping tidak sebagai negeri yang menopang kebutuhannya dari bantuan luar negeri (Barat). Selain itu, absennya strategi Arab atau ketidakjelasan strategi bersama Arab secara logis memunculkan strategi-strategi non Arab termasuk Iran sebagai usaha melepaskan diri dari hegemoni negara-negara besar di luar kawasan tersebut atau paling tidak untuk mengurangi hegemoni itu. Absennya strategi bersama Arab dapat dimaklumi karena Arab saat ini makin terpecah dengan munculnya dua kubu pasca perang Israel-Hizbullah pada 2006 yaitu kubu mu`tadilah (moderat) pro barat dan kubu muman`ah (oposan) anti Barat. Barat berharap besar agar Capres Mousavi yang memenangi pilpres tersebut. Dengan kekalahannya tersebut hampir dipastikan Barat sangat kecewa dan akan ikut melakukan propaganda tentang pelanggaran dan kecurangan dalam pilpres terbesar Iran itu sebagai upaya terakhir untuk mencoba mengganjal kebijakan-kebijakan Nejad nantinya terutama yang terkait isu nuklir dan dukungan terhadap gerakan perlawanan Hizbullah dan Hammas. Harapan terhadap Mousavi itu dilandasi oleh sikap mantan PM Iran ini yang menentang pemerintahan yang mendukung gerakan Hizbullah dan Hammas. Ia minta pemerintah untuk lebih menfokuskan penyelesaian masalah dalam negeri terutama yang terkait kondisi perekonomian negara yang mengalami kemandegan. Lawan-lawan politik Nejad, saat kampanye berlangsung, berusaha memanfaatkan kondisi perekonomian itu terutama tingkat inflasi yang masih tinggi berkisar di angka 20 %, untuk “menghantam“ presiden terpilih untuk jabatan kedua tersebut. Masalah pengangguran dimana diperkirakan antara 800-1000 warga Iran kehilangan pekerjaan setiap hari ternyata tidak mempan menjatuhkan Nejad yang akhirnya menang mutlak. Tapi yang tidak boleh dilupakan adalah Mousavi sendiri adalah pemegang tegus perinsip revolusi yang telah diletakkan mendiang Imam Khomeini terutama yang terkait dengan ambisi Iran menjadi negara kuat yang diperhitungkan dunia. Karenanya, ia termasuk tokoh Iran yang kokoh mempertahankan kelanjutan program nuklir negerinya yang sejauh ini menjadi rintangan utama normalisasi hubungan Iran dengan Barat. Perkuat posisi Banyak pengamat termasuk di kalangan analis di dunia Arab yang menilai bahwa kemenangan Nejad akan memperlemah posisi Iran menghadapi dunia Barat. Alasan mereka, Barat akan menempuh kebijakan infleksibilitas (kaku) dan keras menghadapi Nejad menyangkut sejumlah isu pending (tergantung, menunggu penyelesaian) terutama masalah program nuklir. Pasalnya Nejad dengan kemenangan mutlak tersebut (ditambah dukungan kuat dari pemimpin spiritual, Ali Khomanei dan garda republik) merasa mendapat mandat penuh melaksanakan kebijakan pemerintahannya terutama yang terkait dengan kebijakan luar negeri yang dalam empat tahun masa jabatan awal ini terkenal konfrontatif terutama dengan Barat dan Israel . Kebijakan konfrontatif tersebut akan dilanjutkannya pada maa jabatan keduanya. Singkatnya, menurut banyak analis, kemenangan Ahmadinejad merugikan Iran dari segala sudut. Berbagai sanksi siap menunggu dan tidak menutup kemungkinan AS akhirnya mengijinkan Israel untuk menyerang instalasi nuklir negeri Syiah itu karena banyak yang memperkiarakan bahwa penundaan serangan negeri zionis tersebut menunggu hasil pilpres sebagai penentu sikap akhir Tel Aviv menyangkut penyerangan target nuklir Iran . Tapi saya tidak sependapat dengan penilaian banyak analis tersebut karena sikap dunia Barat saat ini masih tetap berpegang pada perinsip imperialisme meskipun dalam bentuk baru (neo-imperialisme) yang akan tetap memandang remeh negara manapun dengan potensi sebesar appun bila negara tersebut bersikap lembek di hadapan Barat. Kemenangan Nejad justeru memperkokoh dan memperkuat “bargaining position“ (posisi tawar) Iran menghadapi Barat. Pengakuan AS belum lama ini yang disampaikan Presiden Obama tentang kedudukan negeri Persia itu sebagai negeri besar di kawasan yang perlu mendapat tempat yang pantas sebagai salah satu bukti bahwa Barat tidak akan pernah merasa sederajat dengan negeri lain tanpa lughatul quwwah (bahasa kekuatan). Kekuatan Iran bukan hanya terletak pada kekuatan militernya yang memang makin diperhitungkan saat ini setelah berhasil menguasai teknologi mutakhir termasuk teknologi satelit yang bermanfaat bagi pengembangan teknologi rudal, namun yang lebih utama adalah kekuatan perinsip yang membuktikan solidnya sikap pemerintah dan rakyat menghadapi kesemena-menaan Barat terutama AS selama ini. Menyangkut harga diri sebagai salah satu bangsa besar yang berambisi memainkan peranan penting di kawasan, siapapun pemenang pilpres tersebut, seperti disebutkan sebelumnya, tidak akan ada perbedaan berarti. Yang membedakannya hanya sebatas cara berkomunikasi dengan Barat dimana Nejad terkesan konfrontatif dan bila pesaingnya dari kubu reformis menang akan bersikap fleksible. Lebih-lebih lagi sistim Wilayatul Faqih di Iran yang memberikan pemimpin spiritual sebagai penentu keputusan final, nampaknya tidak akan memberikan kesempatan bagi siapa pun Presiden yang mencoba mendekat dengan Barat dengan mendekte Iran. Adapun kekhawatiran akan serangan Israel , tidak beralasan karena pemerintahan garis keras negeri Yahudi tersebut justeru akan menjadikan kemenangan Nejad sebagai peluang emas untuk menutup keradikalan pemerintahan pimpinan Benyamin Nenetyahu sehingga seolah-olah negeri zionis ini sebuah negeri yang terzalimi dan terancam dari senjata pemusnah missal Iran . Israel ingin mendapatkan simpati internasional lagi setelah sempat tercoreng akibat agresi biadab di Gaza belum lama ini. Simpati ini diperlukan Tel Aviv untuk melanjutkan kebijakan perluasan pemukiman (baca pencaplokan tanah Arab) di Palestina dan berkelit dari merespon seruan Presiden Obama untuk menghentikan pencaplokan tersebut. Akhirnya menyangkut program nuklir Iran, “coexistence“ (hidup berdampingan) dengan nuklir Iran sebagaimana siap berdampingan dengan nuklir India dan Pakistan merupakan opsi kuat di masa mendatang, sebab Teheran kelihatannya sulit mengorbankan program tersebut sebagai imbalan dari uluran tangan persahabatan Washington yang mengakui peran besar Iran di kawasan. Isykaalat Arab Tinggal yang perlu dipikirkan Presiden terpilih Iran adalah isykaalat (kerumitan) hubungannya dengan dunia Arab. Mayoritas pengamat dan pemimpin Arab menilai hubungan Iran-Arab belum sampai tahap ketegangan apalagi konfrontasi sehingga mereka lebih menggunakan istilah kerumitan yang menunjukkan bahwa masalah hubungan kedua belah pihak bukan diciptakan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak secara berbarengan. Kerumitan itu selama ini lebih disebabkan faktor luar terutama terkait hegemoni AS dan Barat atas negara-negara tetangga Iran yang berbangsa Arab. Sejak pemerintahan Israel beralih ke tangan parpol radikal (intinya semua parpol negeri zionis adalah radikal) pimpinan Netenyahu, masalah musuh bersama (Arab dan Israel ) dari Iran kembali didengungkan. Namun dunia Arab hingga saat ini tidak sampai termakan oleh propaganda zionisme tersebut. Dan yang lebih melegakan hati adalah hampir seluruh pengamat Arab termasuk yang menjadi rujukan pemerintah, sependapat bahwa tidak mungkin mengubah musuh sesungguhnya (Israel) dengan musuh bayangan yang dibuat-buat negeri Yahudi itu (maksudnya) Iran akibat adanya isykaalat antara Arab dan Iran. Sudah waktunya para pemimpin Arab untuk merespon dialog langsung dengan Iran tanpas syarat. Bila selama ini siap berdialog dengan musuh sesunguhnya maka lebih utama untuk siap berdialog langsung dengan Iran untuk memperkuat stabilitas dan keamanan kawasan untuk selanjutnya lebih menfokuskan pada penyelesaian masalah Palestina hingga negeri ini merdeka dengan ibu kota Al-Quds Al-Syarif. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa tidak Iran dan tidak juga Arab yang menciptakan permusuhan. Tidak benar bila sejumlah pihak menunduh Arab yang menciptakan musuh baru sebagai pengganti musuh sejati ( Israel ) sebab sejak perang Iraq-Iran, dunia Arab tidak pernah menggunakan kesempatan itu untuk melakukan intervensi di Iran. Sekitar 20 juta penduduk Sunni keturunan Arab Al-Ahwaz di Iran terutama yang mukim di wilayah Arabistan, sejatinya dapat dimanfaatkan saat itu atau saat ini untuk “menggoyang“ Iran . Namun Arab tidak sekalipun melakukannya disamping Arab menolak penggunaan kekuatan senjata menyangkut program nuklir Iran . Begitu juga Iran, meskipun Iraq telah hancur berantakan, tidak ada isyarat negeri Persia ini ingin menjadikan negeri Babilonia itu sebagai batu loncatan untuk menguasai sejumlah negara Arab dengan menggunakan “kartu“ penduduk Syiah terutama di kawasan Teluk. Apalagi warga Syiah Arab tetap loyal terhadap kearabannya dan tidak ingin menjadikan masalah sekteranisme ini sebagai dalih permusuhan Arab-Iran yang menguntungkan Israel . Tinggallah isykaalat yang perlu didialogkan secara transparan dengan Arab adalah menyangkut status tiga pulau di Teluk yakni Tomb Besar, Tomb Kecil dan Abu Musa yang selama ini belum terselesaikan dengan Uni Emirat Arab. Selain itu, masalah tuduhan sejumlah negara Arab tentang peran Iran dalam penyebaran mazhab Syiah di tengah masyarakat Sunni dapat didialogkan dengan semangat persaudaraan sesama Muslim. Hasil pemilu Libanon sekitar seminggu sebelum pilpres di Iran yang berakhir dengan kekalahan Hizbullah (sekutu Iran) dari partai Syiah bersama faksi-faksi oposisi sekutu Hizbullah, sedikitnya sebagai pelajaran bagi Iran bahwa kaum Sunni tidak menganggap enteng upaya Iran untuk melakukan Syiahisasi (pensyihaan) kaum Sunni Arab. Nejad dituntut bermain lebih cantik menyangkut hubungannya dengan Arab dengan mengenyampingkan sikap-sikap yang dapat menjurus ke aras bentrokan bahkan dialog saat ini justeru sangat urgen di tengah perubahan yang terjadi terutama terkait sikap AS. Persekutuan kuat Arab-Iran justeru makin penting dalam membela isu sentral kaum Muslimin yakni kembalinya Palestina dan Al-Quds ke pangkuan Islam. [21 J. AKhir 1430/hidayatullah.com]