Oleh: Musthafa Luthfi
Di TENGAH hingar bingar “badai“ perubahan yang terus berhembus kencang di sejumlah negara Arab, ada peristiwa penting yang sepertinya terlewatkan begitu saja yang sejatinya sangat menentukan bagi masa depan isu sentral bangsa Arab khususnya dan bangsa-bangsa Muslim umumnya. Isu sentral dimaksud adalah masalah Palestina yang menjadi penyebab utama konflik berkepanjangan di kawasan yang bernama Timur Tengah (Timteng).
Peristiwa dimaksud adalah “robohnya“ laporan Goldstone tentang kejahatan perang yang dilakukan Israel di Jalur Gaza atas serangan yang dilakukan negeri Zionis itu pada 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009 menyebabkan lebih dari 1.500 orang warga Gaza gugur dan 5.000 orang luka-luka diantaranya banyak yang cacat seumur hidup. Nama Goldstone tersebut sesuai nama ketua tim pencari fakta PBB, Richard Goldstone, hakim internasional asal Afrika Selatan berdarah Yahudi plus dua hakim lainnya.
Robohnya laporan Goldstone setebal 575 halaman tersebut ditandai dengan penarikan dan penyesalan sang hakim atas pembeberan fakta-fakta yang sebelumnya telah dilaporkan bahkan telah diajukan ke Dewan HAM internasional di Jenewa bulan Oktober 2009. Sayang saat itu, ketika mayoritas anggota HAM siap mengesahkannya untuk selanjutnya diajukan ke Dewan Keamanan PBB, justeru otoritas Palestina minta voting ditunda.
Saat itu sudah dapat dipastikan bahwa Dewan HAM PBB yang beranggotakan 47 negara akan mengadopsi laporan itu untuk selanjutnya diajukan ke DK PBB. Dunia Arab dan Islam yang melakukan lobi kuat, antara lain oleh wakil Mesir, berhasil mendapatkan sekitar 35 suara yang pasti mendukung. Hanya dua atau tiga negara yang menolak dan selebihnya menyatakan akan abstain pada voting yang sedianya berlangsung tanggal 2 Oktober 2009.
Voting itu, bila tidak diminta ditunda oleh otoritas Palestina sejatinya akan tercatat sebagai sejarah baru dalam Dewan HAM karena negara-negara pendukung laporan tersebut, yang masih bergantung pada bantuan AS, tidak lagi gentar mendapat ancaman AS dan Israel. Mayoritas mutlak tetap pada pendirian semula bahwa tragedi kemanusiaan di Gaza harus diungkap, meskipun nantinya di forum DK PBB, AS kembali memvetonya.
Atas permintaan otoritas Palestina, Dewan HAM akhirnya menunda voting hingga bulan Maret 2010. Seperti kata pepatah “kesempatan emas jarang datang dua kali“, nasib laporan itu pun tak jauh beda dari ungkapan pepatah tersebut, meskipun akhirnya tetap sebagai dokumen penting Dewan HAM, namun lambat laun semakin dilupakan masyarakat internasional.
Di lain pihak, negeri Zionis Israel tidak tinggal diam memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melakukan lobi dan kasak-kusuk agar laporan Goldstone itu dianulir dan menggantinya dengan laporan hasil rekayasa sendiri yang menitikberatkan tangungjawab sepenuhnya kepada Hamas atas tragedi kemanusiaan di Gaza tersebut. Upaya tersebut setidaknya berhasil mengubah sikap sang hakim berdarah Yahudi yang sebelumnya sempat dicap sebagai Yahudi pengkhianat oleh Israel.
Dengan perubahan sikap Richard Goldstone tersebut, laporan itu ibarat bangunan bisa saja roboh dalam waktu dekat karena dipastikan usaha Israel untuk merobohkannya akan didukung oleh AS dan negara-negara barat lainnya. Apalagi momentum untuk merobohkannya juga tepat ketika dunia Arab sedang dimasygulkan (disebukkan) menghadapi “badai“ perubahan yang terus bertiup kencang.
Untuk lebih jelas lagi perubahan sikap sang hakim Afsel itu, berikut kita simak apa yang ia sampaikan pada bulan Mei 2010 tentang ketegasan sikapnya dan pernyataannya yang terakhir awal April 2011 lalu.
“Sebagai orang Yahudi ia merasa munafik jika tidak ikut melibatkan diri dalam konflik Israel-Palestina. Untuk itu, ia menegaskan tidak menyesal dengan laporannya terkait agresi Israel di Gaza, yang menyatakan bahwa Israel telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan dalam agresi ke Gaza yang dilakukan tahun 2008 lalu“.
“Ia menyarankan, sebaiknya Israel segera melakukan penyelidikan terbuka atas tuduhan kejahatan perang yang ditujukan pada rezim Zionis itu. Goldstone juga mengungkapkan bahwa ia “sangat kesal” dengan “serangan” kelompok-kelompok Yahudi terhadap dirinya dan keluarganya hanya karena laporannya tentang perang di Gaza yang dianggap menyudutkan Israel“. Itulah antara lain pernyataannya yang dikutip media massa manca negara pada Mei 2010.
Sementara pernyataan terakhirnya yang antara lain disampaikan lewat artikelnya di koran Washington Post Sabtu (2/4) “Saya menyesal bahwa misi pencari fakta kami tidak memiliki bukti yang menjelaskan keadaan seperti kami duga sebelumnya bahwa warga sipil ditargetkan, karena hal itu kemungkinan mempengaruhi penemuan kami mengenai kesengajaan dan kejahatan perang.”
Sang hakim tidak cukup hanya menyatakan penyesalannya bahkan anehnya ia balik menyerang Dewan HAM yang dinilainya bersikap anti Israel dan menasehatkan badan ini agar ke depan lebih bersikap adil terkait dengan negeri Zionis itu. Dapat dipastikan sikap terakhir sang hakim ini akan menjadi rujukan penting Israel dan sekutu-sekutunya untuk menguburkan laporan tentang tudingan kejahatan perang yang dilakukannya di Gaza.
Ijin invasi
Suasana suka cita mewarnai para pemimpin negeri Zionis itu atas perubahan sikap hakim Goldstone karena perubahan sikap ini sudah siap dijadikan dasar untuk menuntut PBB agar segera menguburkan laporan itu. PM Benjamin Netanyahu misalnya langsung mendesak PBB agar membatalkan laporan dimaskud.
Mantan PM Ehud Olmert yang oleh banyak badan kemanusiaan dunia dituduh sebagai penjahat perang dengan enteng mengatakan “pernyataan Goldstone itu sangat tidak berarti karena citra buruk sudah terlanjur melekat (pada Israel). Kami sebenarnya tidak membutuhkan pernyataan seperti itu sebab kami melakukan aksi sesuai hukum internasional“. Maksud Olmert, serangan biadab atas Gaza bukan kejahatan perang.
Reaksi atas sikap baru sang hakim Afsel itu juga demikian cepat mendapat respon dari tokoh-tokoh pendukung mutlak Israel di Kongres, Senat dan badan-badan Yahudi di AS. Mereka serempak menuntut penghapusan laporan tersebut bahkan sebagian lagi minta agar kejadian ini menjadi dasar untuk tidak lagi melakukan penyelidikan internasional terhadap serangan Israel yang dianggapnya sebagai upaya membela diri.
Dampak sikap Goldstone bagi rakyat Palestina tidak hanya sebatas penghapusan laporan kejahatan perang negeri Zionis saja, yang diharapkan aksi biadab itu tidak terulang lagi di kemudian hari setelah masyarakat dunia serempak mengecapnya sebagai kejahatan perang. Namun yang lebih dikhawatirkan adalah sikap itu dapat sebagai “ijin baru“ untuk melakukan invansi serupa atau lebih sadis di kemudian hari.
Radio Israel yang mengutip sumber-sumber di kantor PM Netanyahu, Ahad (3/4) melaporkan bahwa pernyataan Goldstone terakhir yang membantah Israel telah melakukan kejahatan perang di Gaza akan sangat membantu negara ini untuk melakukan serangan berikutnya di wilayah itu selama alasan serangan tetap ada yakni tembakan roket dari arah selatan (maksudnya Gaza) masih sering terjadi.
Radio itu lebih lanjut melaporkan pernyataan sumber-sumber itu yang menginginkan agar pernyataan Goldstone tersebut bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendapatkan legitimasi internasional yang sempat hilang agar dapat melakukan serangan berikutnya di Gaza dan Libanon. Seorang analis militer Israel di TV Satu negeri itu mengingatkan agar menghentikan hujatan terhadap pribadi Goldstone ataupun mendesaknya untuk minta maaf, tapi manfaatkan dia untuk sama-sama mengubah citra buruk Israel.
Dengan perkembangan baru tersebut, impian rakyat Gaza agar para pemimpin Zionis yang terlibat kejahatan perang dapat diseret ke Mahkamah Kriminal Internasional atas dasar laporan Goldstone itu, kelihatannya masih sulit terwujud. Alih-alih menyeret mereka ke pengadilan internasional, malah sebaliknya, mereka bakal melakukan aksi lebih sadis di kemudian hari karena merasa aksi-aksi sebelumnya tak melanggar hukum internasional jika nantinya laporan itu dihapus.
Lobi tandingan
Meskipun Israel memiliki kekuatan lobi dan sekutu dari negara-negara besar yang siap mendukung untuk menghapus laporan tersebut, namun sejatinya laporan Goldstone adalah dokumen internasional yang telah diakui Dewan HAM sehingga secara hukum tidak mungkin dihapus oleh pernyataan salah seorang hakim hanya lewat artikel di surat kabar. Apalagi tulisan hakim Yahudi Afsel itu kabaranya ditolak oleh Dewan HAM disamping dua hakim lainnya sejauh ini masih tetap berpegang pada hasil temuan itu.
Goldstone sendiri akan menghadapi dua hal yang akan memperburuk citranya selaku hakim setelah pernyataan menyesal itu. Hal pertama dia telah membuat laporan palsu dan hal kedua dia sekarang berbohong karena tekanan dari Zionis internasional yang mana kedua hal itu menyebabkan ia cacat total dan tidak dapat lagi dijadikan rujukan sehingga rujukan selanjutnya hanya berada di pundak dua hakim lainnya.
Bukti lain yang tak terbantahkan adalah kehancuran di Gaza dan ribuan korban luka-luka yang cacat seumur hidup akibat penggunaan senjata terlarang internasional dapat juga sebagai dasar untuk mengganjal usaha negeri Zionis itu untuk menghapus laporan Goldstone. Hasil penyelidikan Israel sendiri juga menyebutkan bahwa tentaranya menggunakan senjata fosfor yang terlarang saat menyerang Gaza.
“Sejatinya laporan Goldstone tidak bisa ditarik kembali. Apabila para pemimpin Israel menganggap ucapan Goldstone terakhir sebagai sarana mengubah citra buruk dan sebagai peluang untuk melakukan aksi serupa serta melanjutkan embargo atas warga Gaza maka hal itu hanya ilusi belaka,” papar seorang analis Arab.
Intinya masih banyak celah bagi dunia Arab untuk melakukan lobi tandingan menghadapi upaya Zionis menghapus laporan Goldstone tersebut. Apalagi di masa orde perubahan Arab dewasa ini yang memungkinan isu Palestina lebih diperhatikan, tentunya lobi Arab akan lebih bergigi karena rujukan utama para pemimpin Arab adalah desakan rakyat bukan lagi sebagai pengekor mutlak di belakang Israel dan sekutunya.*/Sana`a, 15 Jumadal Ula 1432 H
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman