Oleh: Musthafa Luthfi
SEBULAN belakangan ini setidaknya terdapat dua isu utama yang mengemuka di kawasan Timur Tengah (Timteng) yang masih menyisakan pergolakan di sejumlah negara kawasan tersebut sebagai dampak dari Arab Spring (Musim Semi Arab) yang belum berakhir dengan mulus. Kedua isu tersebut selain menjadi topik bahasan para petinggi, juga para analis dan media massa kawasan.
Isu pertama adalah intervensi Rusia di Suriah yang terus bergolak dan masih belum menunjukkan arah penyelesaian yang dapat diterima oleh semua faksi yang terlibat pergolakan berdarah. Walaupun korban jiwa yang meninggal akibat pergolakan yang telah berlangsung sekitar empat tahun itu melewati angka 300 ribu jiwa, namun masyarakat internasioal masih kewalahan mencarikan solusi.
Organisasi masyarakat internasional, Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), melaporkan pada Juli lalu bahwa jumlah korban tewas akibat perang yang berkecamuk di Suriah selama empat tahun terakhir sudah mencapai 320 ribu orang. Korban dari warga sipil adalah yang terbanyak dengan jumlah 108.086 orang termasuk 7.371 perempuan dan 11.493 anak-anak.
Korban tewas di pasukan pemerintah berjumlah 49.106 orang, sementara di sisi kelompok oposisi berjumlah 38.592 orang. Sementara korban tewas di sisi kelompok milisi ISIS, dan al-Qaidah yang berasal dari Arab, Eropa, Asia, Amerika, dan Australia berjumlah 31247 dan 32.533 orang tewas dari sisi kelompok-kelompok milisi lainnya, serta 2.844 milisi pro-rezim Syiah, 838 pejuang dari kelompok milisi Syiah Hizbullah, dan 3.191 orang tak dikenal. SOHR memperkirakan sekitar 90.000 kematian tidak berdokumen.
Angka korban tewas yang demikian banyak menunjukkan bahwa pergolakan berdarah tersebut telah meluluhlantahkan Negeri Syam itu. Meskipun demikian, faksi-faksi yang bertikai terutama rezim diktator Bashar Assad kelihatannya tidak perduli dan akan terus melanjutkan petualangannya meskipun seluruh rakyatnya menjadi korban.
Di tengah ketidakmenentuan itu, Rusia sebagai sekutu utama rezim Assad mencoba melakukan terobosan ekstrim dengan melibatkan diri secara langsung dalam konflik berdarah tersebut. Negeri beruang merah itu secara sepihak mengirim pasukannya dan persenjataan untuk membantu pasukan rezim dengan dalih melawan milisi terorisme.
Sejumlah analis Arab menyebutkan bahwa dalih memerangi terorisme digunakan Moskow untuk “menekan” negara-negara sekitar dan Barat agar mendukung upaya sepihaknya bagi “solusi” di Negeri Syam itu. “Meskipun pada kenyataannya Rusia tidak memiliki solusi yang jelas selain untuk kepentingannya sendiri,” papar sejumlah pengamat Arab.
Rusia telah melakukan gerak cepat mengantipasi segala kemungkinan pasca pemerintahan rezim Assad dengan mengirim pasukannya dan memperkuat persenjataannya di Suriah guna mengisi kevakuman nantinya. Negeri beruang itu nampaknya telah membaca dengan teliti bahwa Barat (baca Amerika Serikat) belum memiliki rancangan solusi yang jelas dan serius mengakhiri krisis tersebut.
Di lain pihak Moskow juga merasakan bahwa kejatuhan rezim Bashar Assad sudah tak terhindarkan setelah semangat tempur sebagian besar pasukannya runtuh sementara Iran dipastikan tidak mampu menyelamatkannya. Kenyataan itulah yang mendorong negeri pewaris bekas Uni Soviet itu untuk memperkuat posisinya di Suriah.
Dengan dalih memerangi terorisme, Moskow menemui jalan lapang menuju negeri bekas pusat pemerintahan Khilafah Umayyah itu untuk memperkuat posisinya sebagai salah satu penentu keputusan terkait masa depan kawasan. Dibawah pemerintahan Vladimir Putin, Rusia nampaknya bernafsu untuk mengembalikan kejayaan bekas Uni Soviet di Timteng lewat pintu Suriah dan Iraq.
Barat dan sejumlah negara Arab pro oposisi juga terlibat menciptakan “peluang emas” untuk mengembalikan posisi Soviet di kawasan karena mereka gagal menyatukan sikap terkait opsi jelas dan serius mengakhiri krisis Suriah. “Intervensi Rusia semata-mata untuk kepentingan sendiri bukan mengembalikan Suriah seperti sebelum krisis meletus karena hal itu hampir mustahil,” tegas sejumlah analis.
Situasi di negeri Syam itu sudah cukup bukti bahwa Moskow tidak memiliki kapasitas untuk mengembalikan jarum jam ke belakang. Perlu diketahui bahwa intervensi militer Rusia di Suriah tersebut merupakan terbesar di kawasan setelah Mesir mengakhiri keberadaan Uni Soviet pada 1972.* (BERSAMBUNG)
Koresponden ANTARA di Timur Tengah (1992- 2008), mantan senior interpreter KBRI Yaman