Oleh: Musthafa Luthfi
PIDATO Presiden AS, Barack Obama yang pertama pada Kamis (19/5) di Kementerian Luar Negeri dan kedua pada Ahad (22/5) di depan peserta sidang konferensi tahunan AIPAC (American Israeli Public Affairs Committee, Komite Urusan Umum Amerika Israel), yaitu lobi Yahudi di Amerika yang sangat berkuasa dan berpengaruh dalam menentukan kebijakan luar negeri yang berkaitan dengan Israel, tidak ada yang baru alias klise.
Seperti pidato sebelumnya di Universitas Kairo sekitar dua tahun lalu, isi orasi terutama yang terkait dengan kawasan Timur Tengah (Timteng) disampaikannya dengan bumbu-bumbu bahasa yang dibungkus ucapan-ucapan elok untuk memukau para pendengarnya. Kepiawaian retorika itu biasa disebut dalam bahasa Arab sebagai “balaghah“ atau dalam bahasa seharian sebagai “kalam ma`sul” (ucapan manis semanis madu).
Namun demikian, tidak ada sikap baru yang dimunculkan khususnya yang terkait dengan perdamaian di kawasan Timteng meskipun saat ini sedang terjadi gelombang “tsunami” perubahan di kawasan itu. Seandainya ada hal yang baru itupun sulit diterjemahkan di alam nyata alias janji-janji kosong terutama yang berhubungan dengan rejim-rejim baru di dunia Arab yang muncul dari rahim revolusi rakyat.
Janji bantuan untuk melancarkan reformasi misalnya bagi rejim baru di Mesir dan Tunisia, sulit dilaksanakan apabila pemerintahan yang dimunculkan nanti bukan yang diinginkan. Adapun yang terkait dengan revolusi rakyat di sejumlah negara Arab yang menjadi perhatian serius pemerintah Amerika, juga sebagai salah satu hiasan baru dalam orasi panjang Obama tersebut, namun disinggung secara basa-basi.
Ia misalnya menyebutkan kekeliruan para pendahulunya yang mendukung rejim-rejim diktator di kawasan yang melanggar HAM. Memang benar banyak diktator itu menduduki jabatan kekuasaannya dengan bantuan Eropa dan AS dan setelah puluhan tahun menjalankan kekuasaan despotik (sewenang-wenang), rakyat akhirnya berhasil menggulingkan para pemimpin lalim itu. Hingga kini, diktator Arab dukungan Barat semacam Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir terjungkal dari jabatannya.
Tapi pengakuan Obama tersebut bukanlah sebagai bentuk penghargaan terhadap para pemuda Arab selaku penggerak revolusi terhadap rejim-rejim yang dikenal sebagai tulang punggung utama barat di kawasan dalam menanamkan kepentingan mereka. Pengakuan itu lebih disebabkan karena AS tidak kuasa lagi menghadang revolusi yang menjatuhkan sekutu-sekutunya sehingga sebagian jatuh dan sebagian lagi menunggu waktu.
“Pengakuan kekeliruan pendahulunya yang mendukung penguasa diktator bukanlah penghargaan atas revolusi Arab, tapi karena AS tidak mampu menghentikan revolusi tersebut sehingga sebagian jatuh dan sebagian lainnya masih dilanda revolusi. Intinya AS tidak kuasa menahah perubahan di kawasan,” papar Abdul Bari Atwan, analis Arab yang mukim di London.
Karena itu, Obama juga mengakui tentang perubahan di Arab tanpa intervensi negaranya. Pengakuan ini memang benar adanya dan bagus, namun harus pula dibarengi dengan perubahan sikap negeri itu guna beradaptasi dengan perubahan dimaksud yang nyatanya tidak terbukti sehingga tidak keliru bila pengakuan itu hanya sebatas basa-basi belaka.
Pasalnya, salah satu kunci keberhasilan perubahan di Arab adalah tertanganinya isu Palestina secara serius oleh rejim-rejim baru Arab terutama Mesir sebagai tulang punggung dunia Arab. Nyatanya, AS justeru semakin berpihak mutlak terhadap keinginan rejim Israel pimpinan PM Benjamin Netanyahu Bahkan AS menantang revolusi publik Arab dengan memperingatkan kepada elit-elit kelompok revolusi agar tidak memusihi Israel sebab semua negara Timteng boleh berubah, kecuali (terhadap) Israel.
Sikap ini ibarat pesan yang sudah berkali-kali diucapkan para pendahulu Obama bahwa Israel sebagai anak emas dari negeri yang disebut adidaya itu, tidak boleh diutak-atik yang menyebabkan negeri zionis itu “merengek” apalagi “menangis” kencang. Pasalnya, jika si anak emas sampai merengek apalagi menangis bisa membahayakan jabatan orang nomor satu negeri adikuasa itu siapapun yang memegangnya.
“Ranjau”
Karena itu, isi orasi Obama terutama di depan sidang AIPAC yang sepi dari “kalam ma`sul” adalah tentang isu Palestina yang berbeda dengan orasi dua tahun sebelumnya di Universitas Kairo yang penuh dengan bumbu-bumbu bahasa dan janji-janji surga. Saat pidato di Kairo pada 4 Juni 2009, ia misalnya menjanjikan terwujudnya dua negara merdeka yang saling berdampingan secara damai paling tidak dalam setahun atau dua tahun pertama masa jabatannya.
Bandingkan dengan orasinya yang terakhir yang benar-benar salinan asli dari apa yang sering disampaikan pemimpin radikal PM Netanyahu. Karenanya, tidak keliru analis Atwan menggambarkan orasi terakhir Obama itu dalam salah satu tulisannya dengan mengatakan “hampir semua isu yang diangkat dalam orasinya dibumbui kata-kata manis, namun ketika sampai kepada isu Palestina sebagai isu sentral Arab, logat bahasanya langsung berubah dan berisi ancaman..,”.
Ancaman yang dimaksud adalah sikap AS yang akan memveto setiap upaya Palestina dan Arab bila mengajukan pengakuan kemerdekaan sepihak ke Majelis Umum PBB. Meskipun dipastikan akan mendapat pengakuan lebih dari dua pertiga anggota PBB namun dipastikan akan terhadang di Dewan Keamanan PBB dengan hak veto yang dimiliki negeri paman sam itu.
Obama misalnya dengan tegas menyatakan “upaya pengakuan sepihak ke Majelis Umum PBB tidak akan mewujudkan negara Palestina merdeka.” Ia juga kembali menegaskan penolakannya atas tercapainya rekonsiliasi Fatah-Hamas di Kairo akhir bulan lalu dan mendesak Palestina agar mengakui Israel sebagai negara Yahudi serta mengingatkan perlunya Palestina memperhatikan kebutuhan keamanan Israel sebelum minta pengakuan kemerdekaan.
Karena itu, banyak analis Arab yang menyebut orasi itu yang terkait dengan Palestina ibarat menanam “ranjau” baru yang dapat meledak setiap saat. Pasalnya, begitu orasi itu usai, Netanyahu langsung mengesahkan pembangunan pemukiman (baca: pencaplokan) baru Yahudi sebanyak 1.500 unit rumah di bagian timur kota pendudukan Al-Quds. “Apakah ini bukan sebagai tantangan nyata?” tanya banyak pengamat.
“Paling tidak pidato terakhir Obama mengungkapkan juga skandal kegagalan politik sebagian pemimpin Arab yang selama ini demikian optimis terhadap Obama. Sekarang gelombang optimis tersebut terbelah karena terbukti hanya sekedar janji-janji berlebihan untuk membius Arab,” ujar Ali Badwan, analis yang juga anggota Persatuan Penulis Arab, dalam salah satu artikelnya.
Karena itu, lanjut Badwan, cacat dari segala cacat terkait dengan kebijakan Arab
selama ini adalah kebijakan yang selalu menunggu dan menggantungkan apa yang akan dilakukan AS. Seharusnya dilakukan inisiatif dalam arti sesungguhnya bukan sekedar menunggu dan menunggu apalagi inisiatif Arab 2002 yang dicetuskan pada KTT Arab di Beirut secara tidak langsung diminta diubah oleh pidato Obama terakhir.
Sebagaimana diketahui inisiatif Arab tersebut intinya kesedian seluruh negara Arab mengakui Israel dan menormalisasikan hubungan apabila negeri zionis itu menarik diri dari seluruh wilayah Arab yang diduduki pasca perang 1967. Dalam pidato Obama terakhir, ia menolak negara Palestina dalam batas 1967 apa adanya namun perlu perubahan sana-sini sesuai kepentingan si negeri penjajah.
Sikap ini juga dipastikan telah dikampanyekan ke sekutu-sekutunya di Eropa dalam lawatan sepekan ke empat negara Eropa yang dimulai 22 Mei lalu, meliputi Irlandia, Inggris, Prancis dan Polandia serta menghadiri KTT G-8 negara-negara industri terbesar di Deauville, Prancis. Perubahan di Arab juga menjadi salah satu agenda utama dalam KTT G-8 tersebut.
Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah mengapa sikap AS yang terkait Israel tetap demikian padahal dunia Arab telah mulai berubah yang berarti sikap mereka akan lebih kuat membela isu Palestina? Mengapa peluang damai dalam batas negara Palestina sebelum perang 1967 dikesampingkan sedemikian mudah lalu mendukung sikap keras kepala Netanyahu yang di dalam Israel sendiri sikap itu tidak populer kecuali di kalangan kelompok radikal?
Hakikat revolusi
Selain memang sudah menjadi tradisi selama ini agar orang nomor satu negeri paman sam itu tidak bentrok dengan negeri zionis itu menjelang pemilu demi mempertahankan posisi jabatanan kepresidenan, sikap Obama terakhir yang dituangkan dalam orasinya itu juga mengisyaratkan bahwa ia lupa akan hakikat revolusi di dunia Arab atau pura-pura lupa.
AS dan negara-negara sekutunya di barat nampaknya hanya memandang gelombang perubahan di Arab lebih disebabkan oleh faktor ekonomi bahkan ada yang memandangnya semata-mata dikarenakan faktor ekonomi. Pandangan ini misalnya dapat dilihat kembali dari hasil KTT G-8 terakhir di kota pesisir Deauville, Prancis (26-27 Mei 2011) yang menitikberatkan bantuan ekonomi guna mendukung perubahan di dunia Arab untuk mengembangkan demokrasi.
Anggota G-8 dilaporkan menjanjikan bantuan hingga 40 miliar dolar bagi negara-negara Arab yang mengupayakan pembentukan demokrasi. Pada pertemuan itu, Obama juga dilaporkan mendesak badan-badan keuangan dunia untuk mengucurkan bantuan finansial kepada Mesir dan Tunisia yang telah terlebih dahulu mengenyam era perubahan.
Bagaikan gayung bersambut, dalam pernyataan seusai penutupan KTT G8 hari Jumat (27/5), Direktur Pelaksana IMF, John Lipsky menyatakan bahwa IMF siap bekerjasama dengan negara-negara anggota di kawasan itu (Timteng dan Afrika Utara) guna memenuhi kebutuhan finansial yang mendesak. Memang sebagian negara kawasan itu memang dalam posisi kesulitan ekonomi tapi bukan termasuk daftar negara miskin sehingga perubahan yang melanda kawasan bukan semata-mata faktor ekonomi.
“Faktor ekonomi memang berperan dalam perubahan yang masih berguling di Arab, tapi bukan faktor satu-satunya karena ada faktor lain yang tidak kalah penting yakni harga diri bangsa Arab sehingga membangkitkan kembali jiwa nasionalisme yang menuntut kedaulatan dan kebebasan dari pengaruh-pengaruh asing,” papar Dr. Fauzi Al-Asmar.
Dalam salah satu tulisannya, Jum`at (27/5), salah seorang analis Arab itu mengingatkan bahwa bangsa Arab saat ini bangkit menuntut kebebasan dari berbagai bentuk pengaruh asing (baca: barat) yang telah menginjak-injak martabat mereka.
“Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa barat terutama AS telah menginjak martabat bangsa Arab karena mendukung para diktator untuk melayani kepentingan barat yang secara otomatis juga Israel,” paparnya.
Apa yang disampaikan Al-Asmar memang kenyataan di lapangan. Sebagai contoh, kondisi perekonomian Mesir memang buruk namun bukan karena negeri Lembah Nil ini miskin, akan tetapi karena kelompok korup yang dipimpin rejim lama yang menguasai perekonomian negara dan mengisap darah sebagian besar rakyat yang tak berdaya. Untuk mempertahankan kekuasaan itu, mau tidak mau harus mendapat dukungan barat dan Israel sehingga tak merasa malu menempuh kebijakan yang menguntungkan mereka.
“Jelaslah setiap warga Mesir merasa terhina melihat pemimpinnya melayani barat dan zionis Israel termasuk dengan penjualan gas dengan harga super murah, membantu embargo atas Gaza dengan cara penutupan pintu perbatasan Rafah lalu pembuatan pembatas bawah tanah dari baja. Juga perannya dalam membantu barat menghancurkan secara menyeluruh negeri Iraq,” papar Al-Asmar lagi.
Tentunya, di era perubahan tersebut, layanan mumtaz (istimewa) itu tidak bakal terjadi lagi meskipun dengan ancaman pemotongan bantuan ekonomi. Isyarat itu misalnya dapat dilihat dari keputusan Mesir yang secara resmi mulai membuka pintu perbatasan Rafah secara permanen pada Sabtu (28/5) yang menandai berakhirnya embargo terhadap 1,5 juta warga Gaza sejak sekitar 4 tahun belakangan ini.
Tidak cukup sebatas pembukaan pintu perbatasan saja, pemerintah Mesir juga mengingatkan para pemimpin zionis agar tidak mengusik-usik kebijakan tersebut karena Mesir baru beda dengan Mesir masa rejim lama. Kairo menilai keputusan pembukaan jalur penyeberangan Rafah sesuai koridor kedaulatan negara dan tidak ada kaitannya dengan pihak manapun.
Duta Besar Mesir di Ramallah, Yasser Othman, mengingatkan, “Kairo tidak akan menolerir segala bentuk keterlibatan pihak manapun terhadap mekanisme pembukaan jalur penyeberangan antara Rafah dan Jalur Gaza. Keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan berbagai penderitaan rakyat Palestina dan Gaza serta dalam rangka mendukung proses rekonsiliasi nasional antara faksi-faksi Palestina.”
Kiranya, sikap Mesir diatas sebagai bukti nyata bahwa posisi pemerintah (resmi) tidak lagi diambil sekehendak hati penguasa, namun bersumber dari aspirasi rakyat yang sejak lama menuntut negerinya sebagai garda terdepan dalam membela Palestina. Setidaknya, itulah bukti kuat bahwa revolusi di Arab yang masih terus bergulir saat ini, bukan sebatas ekonomi tapi lebih penting adalah kebangkitan kembali nasionalisme Arab yang insya Allah bersumber dari ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduknya.*/Sana`a, 26 Jumada al-Tsaniah 1432
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Sana’ah, Yaman