Oleh: Musthafa Luthfi
TUNTUTAN dan mekanisme implementasi perubahan (bagi negara yang sukses melengserkan rezim lama) yang sedang berlangsung di sebagian dunia Arab kelihatannya gampang-gampang susah. Setelah jatuhnya rezim Kaddafi di Libya dengan terbunuhnya mantan penguasa Arab selama lebih dari 42 tahun itu secara misterius, yang sebelumnya diprediksi dapat berpengaruh terhadap percepatan keberhasilan al-rabi`e al-arabi (Arab spring) ternyata belum terbukti sepenuhnya.
Darah para pengunjukrasa masih bertumpahan bahkan muncul kekhawatiran akan terjadinya perang saudara terutama di Suriah. Di Mesir pun yang lebih awal sukses melengserkan rezim lama, nampaknya masih tetap “ribut“ menyangkut mekanisme pelaksanaan perubahan pasca rezim Mubarak yang memaksa para pengunjukrasa kembali turun ke jalan terutama di lapangan el-Tahrir guna memaksa penguasa militer segera mengalihkan kekuasaan ke sipil.
Yang menggembirakan dan patut disambut positif adalah penandatanganan inisiatif Dewan Kerjasama Teluk (GCC) tentang peta jalan mengakhiri krisis politik di Yaman oleh Presiden Ali Abdullah Saleh di Riyadh, Arab Saudi, Rabu malam (23/11/2011) yang menandai alih kekuasaan secara damai ke Wapres yang akan mengambilalih wewenang hingga Pilpres berikutnya setelah 90 hari. Memang sebagian kubu pemuda tidak puas dengan inisiatif tersebut, akan tetapi setidaknya sebagai jalan tengah menghindari perang saudara akibat perpecahan di tubuh militer antara loyalis dan penentang rezim.
Setelah kejatuhan rezim Libya, Suriah menjadi topik utama terkait Arab spring dan sekali-sekali Yaman mendampingi sebagai topik pembicaraan. Dengan penandatanganan inisiatif GCC oleh Presiden Yaman yang dihadiri oleh Raja Abdullah Bin Abdul Aziz, Sekjen GCC, Abdul Latif Al-Zayyani, Utusan Sekjen PBB, Jamal Benomar, beberapa Dubes dari anggota tetap DK PBB dan Uni Eropa di Yaman, akhirnya Suriah menjadi sorotan utama saat ini.
Tanda-tanda krisis akan segera berakhir di negeri Syam itu masih belum nampak bahkan genangan darah kaula muda negeri itu dari hari ke hari masih mewarnai unjukrasa dari para pendemo anti rezim. Namun yang sangat mengkhawatirkan adalah kemungkinan bentrokan antara pengunjukrasa dengan aparat keamanan dan tentara Suriah beralih menjadi perang saudara dengan terlibatnya tentara pro revolusi pimpinan Mayjen, Riyadh Al-As`ad.
Bukan hanya publik Arab dan Liga Arab saja yang mengkhawatirkan negeri bekas pusat pemerintahan Khilafah Omawiyah itu dapat mengalami nasib seperti Libya, akan tetapi sejumlah pemimpin dunia juga ikut mengingatkan kemungkinan tersebut. Mungkin bedanya publik arab benar-benar tidak menginginkan perang saudara terjadi, sementara peringatan sejumlah pemimpin dunia sebatas peringatan, sebagai salah satu bentuk tekanan pada pihak tertentu sesuai kepentingan masing-masing.
Di antara pemimpin dunia yang sejak dini memperingatkan tentang kemungkinan perang saudara adalah Menlu Rusia, Sergei Lavrov, Menlu Turki, Ahmet Davutoglu, Menlu AS, Hillary Clinton kemudian disusul oleh sejumlah pemimpin Eropa lainnya. Peringatan tersebut didasari oleh semakin aktifnya pasukan Suriah yang pro revolusi yang menamakan dirinya “al-jeish as-Suuri al-Hurr“ (tentara independen Suriah) membela pengunjukrasa anti rezim akhir-akhir ini.
Pada unjukrasa Jum`at (25/11/2011) misalnya, para pendemo anti rezim juga mengusung spanduk dan yel-yel unjukrasa mereka bertemakan “jeish hurr yehmiina“ (tentara independen akan melindungi kita). Sementara upaya penengah dari Liga Arab, kelihatannya masih belum menunjukkan tanda-tanda yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bertikai di negeri itu termasuk usulan pengiriman pengawas internasional ke Suriah yang batas waktunya berakhir pertengahan malam Jum`at lalu.
Selain aktif melakukan pembelaan atas pendemo anti rezim, tentara al-hurr ini juga sudah mulai “berani“ menyerang sejumlah instalasi vital rezim seperti yang terjadi sekitar dua pekan lalu saat salah satu unit tentara pro revolusi itu menyerang kantor pusat Intelijen Suriah dan serangan atas titik-titik pemeriksaan aparat keamanan loyalis rezim Bashar Assad. Sejumlah serangan itu menimbulkan korban jiwa tewas dan luka-luka di kalangan pasukan loyalis Assad termasuk juga bentrokan yag terjadi Jum`at (25/11/2011) lalu.
Jatuhnya korban di pihak pasukan pemerintah akibat serangan tersebut antara lain memunculkan kekhawatiran unjukrasa damai dapat berubah menjadi bentrokan besar lalu mengarah kepada perang saudara. Sebagaimana diketahui dari laporan sejumlah LSM yang bergerak di bidang HAM serta perkiraan PBB, lebih dari 3.500 orang warga negeri itu telah gugur menjadi korban krisis termasuk diantaranya 1.000 dari tentara.
Angka korban itu sungguh mengerikan, dan lebih mengerikan lagi bila sampai terjadi perang saudara yang selain dapat menimbulkan korban jiwa lebih besar juga kehancuran yang lebih dahsyat. Sebenarnya perang saudara yang dikhawatirkan tersebut tidak perlu terjadi apabila dilakukan upaya penengah dengan serius disamping sikap mengedepankan kepentingan bangsa di kalangan pihak-pihak yang bertikai.
Namun disayangkan, harapan tercapainya jalan tengah yang dapat diterima semua pihak yang bertikai (pemerintah dan oposisi serta kubu pemuda) masih belum nampak karena setiap pihak bersikeras pada pendirian masing-masing yang mengklaim mendapat dukungan mayoritas rakyat. Sementara itu, pihak-pihak berkepentingan di luar negeri juga membela pihak-pihak yang bertikai sesuai kepentingan mereka.
Sebut saja misalnya China, Rusia dan juga Iran masih menunjukkan posisi yang ingin tetap mempertahankan rezim dan menolak tuntutan massa yang menginginkan perubahan segera dilaksanakan. Di lain pihak, Barat berkepentingan mendukung oposisi untuk menjatuhkan rezim bahkan sudah dimulai dengan berbagai upaya mulai dari upaya diplomatis, isolasi dan rencana sanksi ekonomi yang bisa saja berujung pada campur tangan militer asing.
Tanda-tanda ke arah itu dalam beberapa hari belakangan ini semakin nampak terutama setelah keputusan Liga Arab yang menskor keanggotaan Suriah di badan regional itu. Situasi saat ini sangat mendebarkan publik Arab karena mereka umumnya tidak ingin melihat tuntutan perubahan di negeri Syam itu berakhir seperti Libya yang menimbulkan korban dan kehancuran yang sangat dahsyat dengan “pemenang tunggal“ adalah pihak-pihak asing yang berkepentingan.
Masih berlanjut
Mesir yang telah berhasil melengserkan rezim, kelihatannya masih belum merampungkan revolusinya karena kekuasaan masih di tangan militer (Dewan Militer) sehingga kaum muda kembali turun ke jalan terutama di lapangan Tahrir menuntut segera dialihkannya kekuasaan dari tangan militer ke Dewan Kepresidenan Sipil. Unjukrasa damai sejuta orang kembali muncul dalam sepekan belakangan ini yang sangat disayangkan telah menelan korban jiwa pada dua hari (19-20/11) sekitar 35 orang tewas.
Bentrokan antara aparat keamanan dengan pengunjukrasa sempat menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan stabilitas di negeri Lembah Nil itu masih menunggu waktu cukup panjang apalagi hal ini terjadi menjelang pemilu legislatif menjelang akhir bulan November ini. Kenyataan tersebut juga sempat mengundang kecemasan akan kemungkinan terjadinya kekacauan umum di negeri Al-Azhar itu.
Kekhawatran dimaskud sangat berasalan sebab revolusi Mesir telah mendapat sambutan hangat hampir seluruh warga Arab karena dianggap sebagai pertanda perubahan strategis di dunia Arab. Kegagalannya dalam artian tidak dapat dirampungkan dengan mulus akan berdampak luas ke seantero dunia Arab yang bukan saja akan disambut gembira oleh sisa-sisa rezim lama, akan tetapi akan disambut gembira pula oleh Israel dan AS yang menyimpan kekhawatiran besar terhadap keberhasilan revolusi itu.
“Banyak yang ingin melihat revolusi Mesir gagal setelah melihat negeri ini kembali memainkan perannya selaku pembela harga diri bangsa Arab. Yang paling depan menginginkan kegagalannya adalah Israel dan AS sebab siapa sangka kedutaan Israel pasca perubahan di Mesir dapat ditembus lalu benderanya dirobek serta dokumen-dokumen di dalamnya diporak-porandakan para pendemo,” papar salah seorang analis Arab.
Karena itu, banyak pihak terutama negeri Zionis itu menginginkan agar militer masih terus memegang kendali dengan harapan dapat diajak bekerjasama sehingga pemimpin sipil hanya sekedar “robot“ semata. Hal ini kelihatannya benar-benar disadari kubu revolusi dan umumnya parpol negeri itu sehingga desakan agar dilakukan alih kekuasaan ke sipil dan penentuan pelaksanaan Pilpres secapatnya menjadi tuntutan utama.
Pada unjukrasa Jum`at (25/11/2011), para pendemo tetap menolak penunjukan mantan PM pada era rezim Mubarak, Kamal el-Janzuri sebagai kepala pemerintahan sementara yang baru. Para pendemo tetap bersikeras agar segera dilakukan alih kekuasaan ke Dewan Kepresidenan Sipil yang nantinya mengatur pelaksanaan Pilpres.
Untungnya, militer di negeri yang mendapat julukan “Ummud Dunya“ (ibu dunia) itu berlapang dada menghadapi tuntutan para pendemo sehingga sedikit melegakan dada publik Arab. Sebagian besar tuntutan kubu revolusi pemuda akhirnya dipenuhi diantaranya pelaksanaan Pilpres sebelum bulan Juni 2012, diterimanya pengunduran diri kabinet Esham Sharaf, restrukturisasi kepolisian dan pembentukan kabinet penyelamatan nasional yang memiliki wewenang.
Konsesi pihak militer tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Militer, Marsekal Mohammed Hussein Tantawi, Senin (21/11/2011) sehingga oleh sebagian pihak dianggap sebagai kemenangan kedua revolusi Mesir. Tentunya, konsesi itu sulit akan didapat seandainya tidak ada unjukrasa sejuta orang yang diserukan kubu pemuda yang mengusung spanduk dan yel-yel menuntut diakhirinya kekuasaan militer dengan segera.
Meskipun telah memperoleh banyak konsesi, nampaknya mayoritas kubu pemuda Mesir masih belum puas dikarenakan militer masih menyaratkan alih kekuasaan ke sipil melalui referendum rakyat. Selain itu, wewenang pemerintahan penyelamatan nasional juga masih menjadi tanda tanya besar karena dikhawatirkan nasibnya sama dengan pemerintahan Esham Sharaf yang tidak memiliki wewenang penuh dalam mengatur negara.
Rakyat Mesir yang dimotori kaum muda telah menyatakan tuntutannya dengan suara keras yakni mendesak dewan militer segera menyerahkan kekuasaan ke badan sipil. Tentunya sulit menghentikan unjukrasa mereka selama tuntutan tersebut belum terlaksana apalagi setelah cukup banyak rekan-rekan mereka yang gugur dalam unjukrasa terakhir pekan lalu.
Itu berarti situasi di negeri Lembah Nil itu masih tetap mendebarkan dan revolusi masih belum mencapai garis finish sehingga tetap menyiratkan rasa was-was terhadap kelancaran pelaksanaan pemilu legislatif yang dijadwalkan Senin (28/11/2011). Meskipun demikian, mayoritas rakyat negeri ini berharap hasil pemilu mendatang dapat membuka jalan keluar agar revolusi damai yang dielu-elukan oleh hampir semua publik Arab itu tetap mencapai garis akhir dengan selamat.
Keberhasilan jalan tengah
Di tengah kondisi Arab spring yang masih mendebarkan itu, setidaknya keberhasilan “jalan tengah“ yang dibukukan Yaman dalam mengatasi krisis politik secara damai cukup melegakan banyak pihak. Dengan ditandatangani inisiatif GCC oleh Presiden Saleh di Riyadh maka berakhir pula kekhawatiran akan terjadi kekecauan umum dan perang saudara seperti yang diprediksi banyak pengamat sebelumnya.
Jalan tengah yang dimaksud dalam inisiatif tersebut adalah pemberian kekebalan hukum kepada Presiden dan kroni-kroninya yang sejauh ini ditentang oleh kubu pemuda disamping predikat presiden kehormatan bagi Saleh setelah semua wewenang diberikan kepada Wapres hingga pilpres dilangsungkan 90 hari sejak penandatanganan inisiatif dimaksud. Sebab bila tuntutan hukum tetap dipaksakan justru akan mengalami jalan buntu karena sangat sulit tercapai kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai di negeri Sheba itu.
Penandatanganan inisiatif GCC ini dapat menjadi dasar alih kekuasaan secara damai setelah sekitar 10 bulan terjadi unjukrasa yang menelan korban jiwa ratusan orang tewas dan ribuan lainnya luka-luka. Dalam sebulan ke depan, negeri ini akan menfokuskan pembentukan pemerintahan persatuan nasional pimpinan oposisi yang akan mengatur pelaksanaan Pilpres mendatang.
Yang dipastikan masih akan berlanjut adalah unjukrasa dari sebagian kubu pemuda yang menentang persetujuan tersebut karena memberi kekebalan hukum kepada Presiden Saleh dan kroni-kroninya yang dianggap terlibat pembunuhan atas para pengunjukrasa damai. Namun unjukrasa tersebut kelihatannya tidak akan menghalangi pelaksanaan inisiatif GCC itu bagi alih kekuasaan secara damai menuju Yaman babak baru.
Lewat kekompakan dan pengawasan ketat dari PBB, AS, Uni Eropa dan GCC, pelaksanaan inisiatif ini nampaknya akan berjalan lancar meskipun dibumbui dengan unjuk rasa dari kubu pemuda yang tidak berafiliasi ke parpol yang mungkin tidak sebesar unjuk-unjuk rasa sebelumnya. Mereka nampaknya bertekad melanjutkan demo seperti pada demo Jum`at (25/11/2011) lalu yang mengusung tema “revolusi akan terus berlanjut“.
Masalah unjuk rasa tersebut kelihatannya hanya akan menjadi semacam riak kecil dalam pembangunan Yaman dalam jangka pendek ke depan. Justru masalah utama negeri itu ke depan adalah mengatasi dampak besar akibat krisis tersebut terutama dampak perekonomian karena rezim lama telah meninggalkan beban ekonomi yang sangat parah yang membutuhkan ketergantungan lagi kepada negara-negera donor apalagi Yaman termasuk daftar negeri dengan pertumbuhan paling rendah di dunia (LDC/Least Developed Countries).*/Sana`a, 1 Muharram 1433 H
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di San’ah, Yaman