Oleh Musthafa Luthfi
Hidayatullah.com–Pada saat masjid Al-Aqsa dalam kepungan pasukan penjajah Zionis, Otorita Palestina kembali membuat ulah yang kali ini tidak bisa dibela lagi oleh sekutu-sekutu dekatnya dari negara-negara Arab yang pro AS. Hal ini karena sangat memalukan dan memilukan, bukan hanya bagi bangsa Palestina dan bangsa Arab, akan tetapi mayoritas bangsa-bangsa di dunia.
Pada saat bangsa-bangsa di muka bumi ini sudah bersepakat melalui forum the Human Rights Council (Dewan Hak Asasi Manusia/HAM) PBB di Jenewa untuk menetapkan Israel sebagai pelaku kejahatan perang mengerikan pada perang Gaza terakhir pada 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009, negeri Yahudi itu tidak perlu berpayah-payah menentang keputusan masyarakat internasional tersebut.
Pasalnya, Otorita Palestina yang dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas ternyata lebih Israel dari Israel sendiri, dengan meminta voting tentang bukti kejahatan perang tersebut yang tertuang dalam laporan Richard Goldstone ditunda hingga sidang Dewan HAM berikutnya pada Maret 2010. Voting sedianya dilakukan 2 Oktober lalu di Jenewa, dengan jaminan mayoritas mutlak angota Dewan HAM siap mengesahkannya untuk diajukan ke Dewan Keamanan (DK) PBB.
Laporan yang dipersiapkan Goldstone, mantan Hakim asal Afrika Selatan, bersama timnya sekitar tiga bulan setebal 575 halaman tersebut, berisi bukti kuat bahwa tentara Israel melakukan kejahatan perang dan tragedi kemanusiaan mengerikan yang tak terbantahkan atas warga sipil Palestina di Gaza sehingga berpeluang menyeret para pemimpin negeri Zionis itu ke Mahkamah Kriminal Internasional.
Sudah dapat dipastikan bahwa Dewan HAM PBB yang beranggotakan 47 negara akan mengadopsi laporan itu untuk selanjutnya diajukan ke DK PBB. Dunia Arab dan Islam yang melakukan lobi kuat, antara lain oleh wakil Mesir, berhasil mendapatkan sekitar 35 suara yang pasti mendukung. Hanya dua atau tiga negara yang menolak dan selebihnya menyatakan akan abstain pada voting yang direncanakan tanggal 2 Oktober lalu.
Suatu pemandangan yang sebenarnya akan tercatat sebagai sejarah baru dalam Dewan HAM karena negara-negara pendukung laporan tersebut, yang sejatinya masih bergantung pada bantuan AS, tidak lagi gentar mendapat ancaman AS dan Israel. Mayoritas mutlak tetap pada pendirian semula bahwa tragedi kemanusiaan di Gaza harus diungkap, meskipun nantinya di forum DK PBB AS kembali memvetonya.
Di lain pihak mantan Hakim Goldstone yang konon berdarah Yahudi, tak bergeming dari laporannya, meskipun mendapat serangkaian ancaman dari Israel dan sejumlah negara Barat. “Seharusnya kita malu dari Goldstone yang berdarah Yahudi yang lebih nasionalis dari pemimpin Palestina sendiri,” papar seorang penulis terkemuka Arab berkebangsaan Palestina.
Namun melihat gelagat Otorita Palestina yang lebih Israel dari Israel sendiri dalam memperjuangkan agar negeri Zionis itu tidak dicap sebagai negeri penjahat perang, hampir dipastikan negara-negara anggota Dewan yang tadinya mendukung, akan mereposisi sikapnya pada sidang mendatang. Selain karena kecewa, besar kemungkinan Israel dibantu AS akan menggunakan berbagai kartu “As” mereka untuk mengubah sikap negeri-negeri pendukung laporan tersebut.
“Tadinya Dewan HAM akan membuat sejarah saat voting laporan Goldstone dengan mayoritas mutlak mendukung laporan ini. Tapi sejarah ini justeru dihapus oleh Palestina sendiri untuk suatu kepentingan yang sempit dan saya yakin pada sidang berikutnya pada bulan Maret tahun mendatang semua akan berubah, bahkan sebagian besar akan mengubah posisi sehingga tak ada lagi dukungan buat Palestina,” ujar Luei Deib, seorang anggota penuntut kejahatan perang internasional berkebangsaan Arab yang mukim di Norwegia.
Memang Tel Aviv memiliki banyak kartu penekan atas Otorita Palestina pimpinan Abbas, yang sebenarnya sekedar pimpinan de facto yang tidak mendapat dukungan dari akar mayoritas rakyat Palestina. Otorita ini tak lebih dari sekedar pimpinan Palestina tak berakar di rakyat yang mendapat dukungan dari Washington dan Tel Aviv karena dianggap sebagai pemimpin Palestina yang dapat diajak berunding sesuai kehendak politis kedua negara tersebut.
Kenyataan ini sudah menjadi rahasia umum publik Palestina dan Arab pada umumnya. Kesalahan fatal yang sering dilakukan oleh Otorita tersebut termasuk dukungan implisit terhadap serangan Israel di Gaza terakhir, yang selama ini masih bisa disembunyikan di balik dukungan sejumlah negara Arab terkemuka. Tidak adanya dukungan kuat dari rakyat inilah yang membuat Otorita ini selalu rudukh (tunduk mutlak, red) kepada kehendak Israel.
Namun kesalahan fatal, bahkan mungkin paling fatal, kali ini tidak bisa disembunyikan lagi. Pernyataan wakil Palestina di Dewan HAM PBB bahwa keputusan penundaan sebagai hasil persetujuan bersama negara-negara Arab dan Islam, telah terbantahkan, bahkan termasuk Mesir yang selama ini banyak membela otorita Palestina itu.
“Mesir tidak diberitahukan tentang rencana penundaan voting laporan Goldstone dan mengetahui saat penundaan diumumkan,” kata Menlu Mesir Abu Geith di Amman, Yordania, Senin (5/10). Bahkan Sekjen Organisasi Konferensi Islam (OKI) langsung pada hari penundaan voting membantah pernyataan Wakil Palestina tersebut dengan menyatakan, “penundaan adalah hasil kesepakatan wakil Palestina dengan negara-negara besar.”
“Selama ini kedekatan dengan sejumlah negara Arab selalu dimanfaatkan oleh Otorita Palestina untuk berkelit saat melakukan kesalahan fatal, dengan dalih mendapatkan dukungan negara-negara Arab. Namun sekarang dunia Arab sudah tidak bisa mentolerir lagi sehingga semua membantah, termasuk Mesir,” papar Dr. Hassan Hanafi, guru besar ilmu politik Universitas Kairo kepada TV Aljazeera, Qatar, sambil menilai penundaan tersebut sebagai khasarah kabirah (kerugian besar) bagi perjuangan isu Palestina.
Darah syuhada
Karena itu, sikap Otorita yang selalu rudukh kepada kehendak Israel, dianggap sebagai bentuk persekutuan terselubung untuk mematikan gerakan perlawanan sah bangsa Palestina yang terjajah dan dijamin keabsahannya oleh piagam PBB dan hukum internasional.
Dan tidak pula berlebihan bila banyak pihak di dunia Arab yang menganggap sikap Otorita kali ini sebagai bentuk bisnis darah para syuhada yang gugur di Gaza oleh kekejaman Zionis, yang menggunakan berbagai jenis senjata terlarang oleh hukum internasional.
Darah para syuhada tersebut disia-siakan untuk kepentingan sesaat dengan dalih mengedepankan “perdamaian” dengan Israel, yang sejatinya hanya “istislam” (menyerah kepada kehendak penjajah).
Para syuhada Gaza akhirnya gugur untuk kedua kalinya karena laporan Goldstone bakal menjadi laporan yang akan terlupakan. Setiap laporan yang ditunda pembahasannya, atau tertunda pemungutan suara atasnya, berarti sama dengan penundaan, yang akan berlarut-larut dan hampir dipastikan berakhir pada pengenyampingan secara mutlak.
Setelah peluang emas untuk menghormati para syuhda Gaza akhirnya terkubur, celah untuk melanjutkan usaha mengukuhkan laporan tersebut memang masih terbuka, meskipun makin sempit dan memerlukan upaya ekstra. Usaha ini sebagai bentuk “perang baru” Gaza secara politis, setelah secara militer berhasil bertahan dari gempuran biadab Israel, yang menurut perhitungan matematis, para pejuang yang bersembunyi di bumi sempit seluas separo kota Jakarta itu seharusnya dapat dihabiskan dalam tempo 3 hari.
Perang baru ini kelihatan akan lebih sulit, meskipun tetap mendapat dukungan LSM-LSM internasional. Paling tidak akan memunculkan citra baru masyarakat internasional bahwa negara-negara Barat (AS dan Uni Eropa) menangani kejahatan perang secara ogah-ogahan bila yang melakukan kejahatan adalah negara sekutu mereka.
Di lain pihak, otorita Palestina pimpinan Abbas yang selama ini berhasil berkelit, mencoba memperbaiki citranya lewat instruksi Abbas agar dilakukan penyelidikan atas kasus yang paling menggegerkan dalam sejarah perjuangan Palestina tersebut. Namun sebelum taktik licik itu dimulai, sesama pejabat Otorita sendiri ribut sehingga skandal pembentukan tim penyelidik ini terungkap juga.
Nabil Amr, salah seorang tangan kanan Abbas yang sering menjadi juru bicara Otorita, langsung membeberkan hakikat sebenarnya bahwa penundaan ini adalah instruksi langsung dari Abbas sehingga tidak perlu lagi menipu publik Palestina dengan membentuk tim penyelidik.
“Abbas harus segera kembali ke Palestina untuk mempertangungjawabkan kekeliruan besar ini. Tidak perlu membentuk tim penyelidik, sudah jelas dia sendiri yang memerintahkan penundaan,” tegasnya. Sementara pejabat lainnya Saeb Eurekat, yang membela dengan menyebutkan penundaan bukan berarti melupakan darah para syuhada Gaza, menegaskan bahwa Abbas tetap bertangungjawab.
Terlepas dari tujuan polemik sesama pejabat Otorita itu, sedikitnya bisa ditangkap bahwa semua pejabat ingin mencuci tangan dengan menampakkan pertengkaran intern Otorita kepada publik. Sedangkan bagi publik Palestina dan Arab umumnya, penundaan voting laporan Goldstone itu telah membuka topeng-topeng para pejabat Otorita sehingga mengetahui dengan pasti siapa mereka sesungguhnya.
Publik makin yakin akan jawaban pasti atas pertanyaan besar selama ini, yaitu apakah tokoh-tokoh itulah yang memang berhak mewakili mereka untuk memperjuangkan hak mereka? Ataukah mereka hanya sekedar boneka-boneka yang dibentuk oleh penjajah Zionis?
“Yang sudah pasti semua faksi perjuangan makin anti kepada Abbas dan konco-konconya, termasuk di kalangan Fatah sendiri yang selama ini tidak diberi kesempatan untuk berbicara,” papar Hassan Belal, pengamat Palestina yang mukim di Paris kepada TV Aljazeera Selasa (6/10).
Perluas perpecahan
Harapan akhir saat ini untuk sedikit memberikan suntikan darah bagi tubuh Palestina yang sudah sangat lemah agar mampu bergerak lagi menghadapi penjajah Zionis adalah tercapainya rekonsiliasi Fatah-Hammas agar Palestina kembali bersatu dan solid. Menlu Mesir pada tanggal 5 Oktober lalu di Amman, Yordania menjamin bahwa penundaan voting laporan Goldstone itu tidak berpengaruh terhadap rekonsiliasi.
“Saya menjamin bahwa penundaan ini tidak akan mempengaruhi jalannya rekonsiliasi di Kairo. Insya Allah penandatangan kesepakatan rekonsiliasi akan berlangsung pada 25 Oktober mendatang dan akan dihadiri oleh wakil dari negara-negara besar sebagai saksi,” katanya.
Boleh jadi apapun perkembangan baru yang terjadi, kesepakatan rekonsiliasi tetap akan ditandatangani sesuai jadwal yang telah ditetapkan negara penengah (Mesir). Namun kenyataan di lapangan akan berbeda, mengingat penundaan tersebut jelas akan makin memperluas perpecahan bila Otorita Palestina tidak diganti dengan pimpinan baru, dengan kebijakan baru pula, yang antara lain adalah tetap mempertahankan opsi perlawanan.
Bila pimpinan baru harus diganti lewat Pemilu mendatang (sekitar bulan Juni 2010), paling tidak Otorita sekarang berani mengaku salah dan berjanji mengubah kebijakan. Opsi perlawanan melawan penjajah yang sejalan dan seiring dengan perjuangan di meja perundingan adalah tuntutan utama Hammas dan faksi-faksi lainnya, termasuk sayap militer Fatah sendiri yang dipimpin Mahmoud Abbas. Strategi lainnya yang perlu dijalankan oleh Otorita nanti adalah menghentikan sikap rudukh terhadap AS dan Israel menyangkut masalah vital Palestina.
Perubahan kebijakan dan strategi menghadapi penjajah Zionis ini minimal yang dapat menghentikan meluasnya perpecahan pascapenundaan laporan Goldstone tersebut. Tanpa perubahan tersebut, kesepakatan rekonsiliasi tak lebih hanya sebatas hitam di atas putih seperti nasib kesepakatan-kesepakatan sebelumnya.
Akhirnya, dengan kekeliruan sangat fatal itu banyak yang berharap bahwa inilah saat yang paling tepat mengakhiri sikap rudukh Otorita Palestina terhadap penjajah Israel, hingga pada pemilu mendatang rakyat menentukan kembali pimpinan baru negeri satu-satunya yang masih terjajah di muka bumi ini. Namun dengan kondisi dunia Arab dan Islam yang masih lemah saat ini, alias masih berada di bawah ketiak AS, harapan ini masih sebatas harapan. [18 Syawal 1430 H/hidayatullah.com]
*)Penulis kolumnis hidayatullah.com. Sekarang berdomisili di Yaman