Oleh: Musthafa Luthfi
PADA hari Jum`at (23/09/2001), bagi Otoritas Palestina adalah hari sangat menentukan terkait pengakuan sebagai salah satu negara anggota PBB dengan batas wilayah sebelum perang tahun 1967. Bahkan hingga detik-detik terakhir sebelum Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas mengajukan permohonan keanggotaan penuh Palestina di badan dunia itu, berbagai upaya dari sejumlah pihak terus berlanjut untuk menekan Abbas agar mengurung niatnya.
Negara-negara donor Barat tetap pada posisi bahwa negosiasi (bukan menuntut pengakuan PBB) adalah satu-satunya cara mendapatkan pengakuan kemerdekaan Palestina sambil memberikan sinyal penghentian bantuan (baca: pinjaman) keuangan kepada otoritas atau paling tidak menguranginya. Negeri zionis sendiri berkali-kali menyampaikan ancaman karena merasa tindakan sepihak Palestina itu membahayakan eksistensinya.
Sementara pelindung utama zionis, AS juga sudah siap dengan berbagai langkah jitu seperti hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB untuk menggagalkan pengakuan internasional disamping ancaman untuk menutup kantor perwakilan Palestina di Washington. Bahkan dua hari sebelum hari menentukan itu, Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy mencoba memasang “perangkap“ dengan mengusulkan jalan tengah.
Presiden Sarkozy dalam pidatonya di hadapan Sidang Majelis Umum PBB di New York, Rabu (21/o9/2011), mengusulkan agar PBB memberikan status pengamat kepada Palestina. Selain itu, dia juga mengusulkan agar ada jadwal pasti untuk menyelesaikan masalah Israel dengan Palestina yang diharapkan dalam jangka waktu setahun telah tercapai “kesepakatan final“ antara kedua negara.
Usulan Sarkozy itu sebagai “jalan tengah“ untuk menghindari konfrontasi di DK PBB yang dapat mendorong AS menggunakan hak vetonya membendung keinginan Palestina menjadi anggota penuh PBB, bukan sekedar anggota peninjau. Sejumlah analis Arab menyebut usulan ini sebagai “perangkap“ karena intinya hanya ingin menyelamatkan muka AS dan Israel dari kecamanan masyarakat internasional.
Menyelamatkan muka AS, karena apabila negeri yang disebut adidaya itu menggunakan hak veto maka masyarakat dunia dengan jelas melihat negeri ini sebagai penyebab utama konflik berkelanjutan di kawasan. Menyelamatkan Israel maksudnya, untuk menghapus stigma negeri zionis itu sebagai penyebab utama kegagalan setiap upaya damai selama ini.
Bila Abbas akhirnya menyetujui usulan Sarkozy tersebut maka ia secara pribadi menuai kerugian terbesar sementara PM Israel, Benjamin Netanyahu akan kembali ke Al-Quds dengan kemenangan. Posisi negeri zionis itu pun akan semakin kuat sebagai negeri penjajah yang terus menghalangi upaya bangsa Arab Palestina mencapai hak-hak mereka sekaligus juga mengeluarkannya dari isolasi internasional sejak serangan biadab atas Gaza akhir 2008 dan serangan atas iringan kapal kemanusiaan Mei 2010.
“Abbas harus hati-hati menghadapi jebakan Sarkozy itu, ia harus benar-benar teliti untuk menentukan pilihan terakhirnya karena apabila urung mengajukan keanggotan penuh ke DK PBB maka ia mengalami rugi terbesar sedangkan Netanyahu akan menjadi pemenang,“ tulis harian Al-Quds Al-Arabi mengingatkan kepala otoritas Palestina itu, dalam tajuknya, Kamis (22/09/2011).
Jebakan itu memang pantas diwaspadai karena besar kemungkinan sudah digodok juga bersama AS dan Israel sebab jauh kemungkinan Sarkozy menawarkan usulan itu tanpa mengajukannya terlebih dahulu kepada kedua negara tersebut. Apalagi usulan ini juga tidak jauh beda dari strategi AS untuk mengganjal upaya Palestina meraih keanggotaan penuh PBB.
Seperti diketahui bahwa sejak otoritas Palestina memutuskan untuk mengajukan keanggotaan penuhnya kepada PBB sebagai opsi utama setelah 20 tahun masa perundingan gagal, negeri Paman Sam itu intinya telah menyiapkan setidaknya dua strategi untuk menghalanginya. Yang pertama adalah mengupayakan agar Abbas urung mengajukannya ke PBB dengan berbagai janji dan insentif meliputi politik, ekonomi bahkan pembekuan pemukiman Yahudi.
Setelah strategi pertama itu gagal, maka yang kedua adalah menghindari pengajuan keanggotaan Palestina ke DK PBB yang memaksanya menggunakan hak veto sehingga benar-benar tampak sebagai musuh Palestina dan Arab pada umumnya. Sebagai gantinya, Palestina dipaksa mengajukan keanggotannya ke Majelis Umum (MU) PBB yang dipastikan dua pertiga mendukung namun keanggotaan Palestina lewat MU PBB hanya sebatas anggota peninjau bukan anggota penuh.
Hampir dapat dipastikan bahwa Palestina bakal terhalang veto AS bila tetap bersikukuh mengajukan keanggotaan penuhnya ke DK PBB. Isyarat itu dapat dibaca dari pidato Presiden Barack Obama di hdapan sidang MU PBB ke-66 pada Rabu (21/9) di New York yang antara lain menegaskan bahwa upaya Palestina itu adalah tindakan sepihak sehingga tidak akan terwujud karena negaranya akan menentang pengakuan kedaulatan Palestina lewat PBB.
Atau untuk menghindar dari cemooh masyarakat dunia bisa saja AS melakukan taktik ulur waktu yakni dengan pembekuan permintaan Palestina tersebut beberapa bulan ke depan dengan dalih ingin mempelajari dan konsultasi dengan sekutu-sekutunya terlebih dahulu agar lambat laun permohonan itu kembali terlupakan. Taktik ulur waktu ini sama mengkhawatirkannya dengan veto seperti yang diungkapkan oleh Wakil Palestina di PBB, Riyadh Mansour belum lama ini.
Kekhawatiran timbal-balik
Dengan penegasan Obama itu, para pemimpin zionis tampaknya semakin yakin bahwa negara Palestina tidak akan terwujud dari forum PBB, tidak sama halnya dengan negeri Zionis itu yang dilahirkan lewat forum dunia pada 1948. Upaya mengganjal Palestina tersebut disebabkan adanya kekhawatiran mendalam terhadap berbagai kemungkinan yang membahayakan eksistensi zionis itu bila langkah Palestina itu tidak dihadapi serius.
Para pemimpin Yahudi melihat setidaknya ada tiga bahaya yang dapat menimpa negeri Zionis itu apabila Palestina mendapat pengakuan internasional.
Pertama, keluarnya puluhan ribu warga Palestina ke jalan-jalan yang mengarah kepada aksi kekerasan guna menentang penjajahan yang dapat memunculkan perlawanan bersenjata baru.
Kedua, adalah kemungkinan organisasi-organisasi internasional pro Palestina akan menggunakan pengakuan PBB untuk mengupayakan embargo atas Israel. Sementara kekhawatiran ketiga adalah otoritas Palestina dapat menyerukan badan-badan dunia memberlakukan embargo akibat kelanjutan pembangunan pemukiman (baca: pencaplokan) Yahudi di wilayah Tepi Barat Palestina.
Mantan Dubes Israel di PBB, Ghabriela Shalev kepada harian Maariv belum lama ini menyatakan kekhawatiran mendalam langkah Palestina tersebut dapat memunculkan situasi yang sama dengan nasib Afrika Selatan pada masa politik apartheid (perbedaan ras).
“Pengakuan ini dapat menimbulkan Tsunami politik yang belum pernah dihadapi Israel sebelumnya,” katanya mengingatkan.
Namun kekhawatiran sebenarnya negara zionis itu terhadap pengakuan internasional atas negeri Palestina meskipun hanya di atas kertas adalah terkait perluasan pemukiman (pencaplokan). Pengakuan tersebut akan dapat menghentikan perluasan pencaplokan itu yang saat ini sedang mengejar target perluasan yang belum rampung termasuk pengusiran seluruh warga Arab dari kota suci al-Quds Al-Sharif.
Di lain pihak, meskipun pengakuan internasional lewat forum PBB itu penting, namun sebagian tokoh Palestina juga mengungkapkan kekhawatiran tentang dampak dari pengakuan dimaksud. Paling tidak ada tiga dampak yang dikhawatirkan dialami Palestina bila pengakuan tersebut akhirnya diperoleh otoritas lewat forum badan dunia tersebut (meskipun kemungkinan ini jauh).
Kekhawatiran pertama adalah pengakuan tersebut dapat menyebabkan putusnya hak kembali bagi para pengungsi Palestina di manca negara ke tanah air Palestina karena pengakuan akan menghapus status mereka sebagai pengungsi. “Apabila mereka tidak diberikan kewargaan Palestina, itu berarti terputusnya hubungan dengan tanah air sehingga negara yang baru berdiri ini tidak bisa membela hak-hak sebagian besar warganya yang tinggal di pengasingan,“ papar Mohammed Abu Hashim seorang pakar Palestina di Universitas York, Inggris belum lama ini.
Kekhawatiran lainnya adalah, pengakuan tersebut akan mengubah isu Palestina dari isu penjajahan oleh Zionis Israel menjadi isu konflik tapal batas antara dua negara. Kenyataan ini akan melemahkan isu Palestina itu sendiri dan menghapus dimensi moral dari isu ini yang menjadi kekuatannya selama ini sehingga mendapat dukungan mayoritas masyarakat internasional.
Sedangkan kekhawatiran ketiga adalah, pengakuan itu yang tadinya ditargetkan oleh otoritas Palestina sebagai upaya menghidupkan kembali perundingan damai, justru bisa terjadi sebaliknya.
“Target otoritas Palestina untuk menghidupkan perundingan bisa terjadi sebaliknya karena Israel kemungkinan besar akan membatalkan seluruh persetujuan yang telah dicapai,“ papar Saleh Al-Na`ami, salah satu analis Palestina.
Kekhawatiran-kekhawatiran sebagian tokoh Palestina tersebut sah-sah saja karena berangkat dari kenyataan bahwa posisi Palestina sendiri sangat lemah dengan masih terjadinya keretakan intern. Dukungan yang diharapkan dari negara Arab dan Islam juga tidak akan mampu menandingi dukungan kuat sekutu Israel terutama AS dan Uni Eropa.
Masih panjang
Apa yang disampaikan diatas adalah gambaran singkat tentang “perang“ pengakuan di PBB baik sebelum maupun setelah pengajuan permohonan pengakuan ke badan dunia tersebut. Namun pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana kondisi di lapangan setelah pengakuan bila kita berandai-andai Palestina mendapat pengakuan, apakah aka nada perubahan?
Pertanyaan serupa pernah dilontarkan wartawan kepada PM Palestina, Salam Fayyadh sekitar akhir Juni lalu atau tiga bulan sebelum pengajuan resmi ke PBB. Jawabnya singkat “jawaban saya adalah “tidak“, pengakuan hanya bersifat kemenangan simbolis dan tidak akan mengubah sesuatu apapun di lapangan. “Karena itu, jangan terlalu berharap secara berlebihan bila pengakuan akan mengubah kondisi warga Palestina“.
Jawaban Fayyadh adalah jawaban jujur bukan mengada-ada karena apapun hasil “perang“ pengakuan di PBB tidak akan mengubah sesuatu apapun di lapangan. Mengakhiri derita rakyat Palestina akibat penjajahan zionis masih butuh perjuangan panjang dengan bantuan serius dari dunia Arab dan Islam.
Kedatangan Abbas membawa permohonan pengakuan ke badan dunia itu semata-mata untuk mendapatkan pengakuan hitam diatas putih bagi sebuah negara ilusi, tanpa tanah, tanpa batas yang jelas dan tanpa kedaulatan. Kedatangannya bukan dilandasi kekuatan apapun sebab ibaratnya semata-mata pelampiasan dari rasa keputusasaan setelah 20 tahun berunding tanpa hasil.
“Tujuan utama Abbas hanyalah ingin dikenang sejarah meskipun hanya sebatas mendapat pengakuan di atas kertas. Selanjutnya dia bisa berbangga diri kepada rakyat Palestina bahwa ia telah membukukan prestasi sehingga ia bisa lebih tenang setelah pension dari otoritas Palestina,“ papar Abdul Bari Atwan, analis Palestina yang mukim di London, Senin (19/09/2011).
Bila sebatas pengakuan, sebenarnya sejak 1988, ketika Dewan Nasional Palestina mendeklarasikan negara Palestina merdeka, sekitar 123 negara telah mengakui dan Palestina telah membuka banyak kedutaan dan perwakilannya di manca negara. Walaupun demikian, tidak ada perubahan berarti terkait kelanggengan pendudukan zionis dan hasil apapun dari “perang“ pengakuan kali ini juga akan bernasib sama.
Intinya, otoritas Palestina tidak bisa hanya menyandarkan upaya kemerdekaan negerinya hanya lewat “kemenangan-kemenangan“ diplomatis meskipun hal ini juga penting, namun yang terpenting adalah kembali kepada opsi perlawanan yang dengan inilah negeri zionis dapat dipaksa tunduk terhadap kesepakatan yang telah dicapai. Orde perubahan di dunia Arab saat ini, membuka peluang kembalinya opsi tersebut.
Singkatnya perjuangan menuju Palestina merdeka dengan kondisi intern Palestina saat ini, juga kondisi dunia Arab dan Islam yang masih belum solid, masih memerlukan waktu cukup panjang. Itu berarti perjalanan menuju kota suci Al-Quds masih panjang namun pasti.*/ Sana`a, 24 Syawal 1432 H.
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Sana’ah, Yaman