Oleh: Musthafa Luthfi
SAAT krisis Suriah memasuki tahun ketiga setahun yang lalu (2013) yang merupakan bagian dari apa yang disebut al-Rabei al-Arabi (Arab Spring) atau musim semi Arab banyak pihak terutama di dunia Arab yang berspekulasi bahwa tahun itu adalah ‘aam haasim (tahun menentukan). Yang mereka maksud adalah tahun 2013 merupakan tahun menentukan tumbangnya rezim Bashar Assad baik secara militer maupun hengkang dari kursi kekuasaan sesuai kesepakatan politis.
Bagi yang berspekulasi sebagai tahun menentukan secara militer melihat dari kemajuan oposisi dalam menguasai wilayah demi wilayah yang tadinya berada dibawah kontrol pasukan rezim Assad. Namun dugaan tersebut meleset setelah milisi militan Syiah dari kelompok Hizbullah Libanon terlibat langsung membela pasukan rezim disamping dukungan militer tak terbatas dari Iran serta dukungan politis Rusia di forum PBB.
Bagi mereka yang berspekulasi 2013 sebagai tahun menentukan lewat penyelesaian politis dengan tercapainya kompromi para pihak atas dukungan regional dan internasional, melihat bahwa penyelesaian krisis tercapai secara politis dengan mundurnya Assad atas restu Iran dan Rusia dengan tetap mempertahankan kubu Assad dalam pemerintahan transisi dengan komposisi 50:50. Spekulasi yang kedua ini dianggap sebagai jalan tengah meskipun mendapat penolakan tegas dari banyak faksi oposisi.
Pada pertengahan Maret lalu, krisis di negeri Syam itu memasuki tahun keempat tanpa ada secercah sinyal pun yang menunjukkan bakal ada penyelesaian baik secara militer maupun politis. Tiga tahun telah berlalu, krisis ini telah menelan lebih dari 150 ribu korban jiwa dan jutaan pengungsi sehingga menjadi satu-satunya revolusi Arab Spring yang berubah menjadi perang saudara berlarut-larut.
Pada pertengahan Maret tiga tahun yang lalu, Suriah bergabung dengan sejumlah negara Arab Spring lainnya, saat rakyat negeri itu berusaha mengakhiri “musim dingin” yang sudah beberapa dekade lamanya membeku. Mereka menaruh harapan perubahan di musim semi dengan bayangan tetumbuhan nan hijau dan bunga indah yang berwarna-warni sebagai gambaran kebebasan setelah sekian lama hidup dibawah pemerintahan totaliter.
Pada awalnya, tuntutan rakyat negeri itu hanya sebatas perubahan yang lebih baik tanpa menyinggung pelengseran sang penguasa. Namun rezim yang dikuasai oleh satu keluarga, melihat tuntutan rakyat tersebut sebagai upaya pemberontakan dengan membawa agenda asing dan meresponnya dengan hanya berpegang pada satu kebijakan yakni mempertahankan kekuasaan dengan harga berapa pun sehingga tidak mengherankan bila jalan kekerasan yang sangat berlebihan digunakan rezim untuk membungkam tuntutan tersebut.
Setahun pertama, massa tetap melakukan unjuk rasa damai meskipun ribuan korban jiwa sudah berjatuhan dengan harapan masyarakat internasional terutama Barat segera melakukan intervensi guna menghentikan pembantaian sepihak tersebut. Seperti biasanya, Barat akan sangat lamban merespon bila tidak memiliki kepentingan mendesak di suatu negara sehingga memasuki tahun kedua, respon internasional tak kunjung tiba menyebabkan oposisi menyusun kekuatan militer menghadapi rezim.
Lambannya penanganan dan pengabaian masyarakat internasional (baca: Barat) terhadap pelanggaran HAM yang menimpa rakyat negeri Syam itu patut dicatat sebagai sejarah hitam yang telah ikut andil mendorong Suriah terjebak dalam perang saudara.
Tentunya istilah perang saudara ini telah memkerdilkan nilai politis dan revolusi damai rakyat negeri itu yang menguntungkan rezim yang mendapat dukungan kuat Iran, China dan Rusia.
“Kalimat “perang saudara” merupakan istilah yang melegakan mereka karena membenarkan sikap lamban dan pengabaian. Inilah yang diinginkan rezim dan juga diharapkan oleh Iran, Rusia, China dan juga Barat,” papar Eyadh Abu Saqra dalam artikelnya di harian al-Sharq al-Awsath, Rabu (19/3/2014).
Dan memang terbukti, Barat menjadikan istilah perang saudara ini sebagai dalih bahkan kedok keengganan mereka terlalu jauh terlibat dalam krisis tersebut.
Menurut salah satu analis Arab itu, negara-negara tersebut dengan kepentingan masing-masing setelah tiga tahun lebih krisis berdarah dan derita kemanusiaan berlangsung, tetap menutup muka mereka dan menjauh dari kenyataan revolusi damai rakyat yang selama setahun pertama melakukan tuntutan damai menghadapi kejahatan fasis rezim. ”Dalih mereka adalah “perang saudara” sehingga tidak perlu memihak ke kelompok tertentu,” tandasnya lagi.*/bersambung