Oleh: Ahmad Sadzali
Tanggal 16 Juni nanti Mesir akan kembali menghadapi pemilihan umum presiden putaran kedua. Dari 13 kandidat presiden pada pemilihan akhir bulan lalu, tersisa dua nama yang akan dipilih pada putaran kedua nanti. Dua nama itu adalah Muhammad Mursi, kandidat yang diusung oleh kelompok Ikhwanul Muslimin, dan Ahmad Syafiq.
Sebelumnya, nama Ahmad Syafiq memang selalu menjadi kontroversi di tengah panasnya temperatur pemilu presiden Mesir. Sejak awal dia mencalonkan diri, tidak sedikit orang yang menentang pencalonannya. Pasalnya, dia dicap sebagai bagian dari rezim Hosni Mubarak, tepatnya Perdana Menteri terakhir rezim itu. Bahkan ketika Undang-undang isolasi politik terhadap mantan rezim Mubarak disahkan pun, ternyata nama Ahmad Syafiq masih dapat bercokol di daftar kandidat presiden.
Namun meski Ahmad Syafiq menjadi kandidat yang kontroversial, ternyata dalam pemilihan presiden putaran pertama, dia berhasil memenangkan pemilu di urutan kedua setelah Muhammad Mursi. Artinya dia berhak untuk mengikuti pemilu putaran kedua.
Rakyat Mesir yang memilih Syafiq, setidaknya dapat disimpulkan dalam dua kemungkinan sebab. Pertama, karena mereka kurang begitu simpati dengan kelompok Ikhwanul Muslimin yang mengusung jargon agama Islam, meskipun mereka itu orang Islam sendiri. Kedua, mereka memang pendukung militer, karena latar belakang Syafiq yang merupakan orang militer dan juga kedekatannya dengan Dewan Militer.
Dari dua kemungkinan sebab inilah yang sebenarnya menjadi momok dilema Mesir, baik menjelang pemilihan presiden putaran kedua, maupun setelah terpilihnya presiden nanti. Secara umum, saat ini Revolusi 25 Januari lalu masih belum menghasilkan apa-apa, selain dilema itu tadi. Walhasil, banyak yang menilai bahwa revolusi tersebut menjadi ajang perlombaan kepentingan dari berbagai macam golongan.
Untuk sebab yang pertama, mereka yang memilih Syafiq takut jika Muhammad Mursi menang, Ikhwanul Muslimin yang nantinya menguasai Mesir baik di parlemen maupun pemerintahan, akan mengubah jalannya negara secara drastis menjadi negara agama. Selain itu, mereka juga tidak yakin bahwa Ikhwanul Muslimin dapat menjalankan pemerintahan dengan baik jika Mursi menjadi presiden Mesir.
Sebagai contoh, dari beberapa supir taksi yang sempat penulis tanyai tentang pemilihan umum putaran kedua nanti, kebanyakan dari mereka ternyata lebih memilih Ahmad Syafiq. Berbagai alasan mereka sebutkan. Meski di antara mereka juga ada yang menyatakan dukungannya kepada Muhammad Mursi.
Selain takut jika kelompok Islam berkuasa dan mengubah jalannya negara, mereka yang memilih Syafiq juga menilai bahwa Mursi tidak memiliki pengalaman dalam pemerintahan, seperti halnya Syafiq. Mereka juga menilai bahwa Mursi adalah kandidat alternatif, karena kandidat utama Ikhwanul Muslimin sebenarnya adalah Khairat Syatir yang tidak lulus syarat pencalonan. Bahkan ada yang mengatakan, “Saya nanti terpaksa memilih Syafiq, daripada harus memilih Mursi.”
Jadi, dari kedua nama Muhammad Mursi dan Ahmad Syafiq yang akan bertarung di Pilpres putaran kedua nanti, seakan memberi isyarat bagi rakyat Mesir untuk memilih antara dua pilihan bentuk negaranya ke depan, yaitu negara yang berasaskan agama, atau negara sekuler. Inilah dilema pertama yang dihasilkan dari sebab pertama, kenapa rakyat memilih Ahmad Syafiq.
Wacana dua pilihan ini memang sudah cukup lama berkembang, sejak berhasilnya Revolusi 25 Januari menumbangkan rezim Hosni Mubarak. Namun ketika itu dua pilihan tersebut masih sekedar wacana, belum berbentuk secara real seperti saat ini.
Adapun dilema kedua hasil dari kemungkinan sebab pertama tadi adalah, rakyat Mesir akan memilih presiden antara orang asli militer ataukah orang sipil yang berasal dari kelompok Islam. Dilema ini mengungkit kembali hubungan yang kurang baik antara Ikhwanul Muslimin atau kelompok Islam secara umumnya, dengan militer Mesir.
Dalam perjalanan sejarah politik Mesir, hubungan antara kelompok Islam dengan militer selalu memiliki rapor merah. Terutama pasca pembunuhan Presiden Mesir Anwar Sadat, yang ketika itu tuduhannya jatuh kepada Ikhwanul Muslimin. Hingga rezim Mubarak pun, yang notabene juga orang militer, hubungannya dengan kelompok Islam juga bisa dibilang buruk.
Apalagi situasi sekarang sudah cukup rumit, di mana mayoritas kursi parlemen dikuasai oleh kelompok Islam, yaitu Partai Kebebasan dan Keadilan milik Ikhwanul Muslimin dan Partai Nur milik Salafi. Hingga saat ini, cukup banyak cekcok yang terjadi antara parlemen dengan militer. Apalagi sekarang militer masih memegang kekuasaan tertinggi sejak tidak adanya presiden pasca Revolusi 25 Januari.
Hasil akhir dari dilema ini akan terjawab seusai pemilihan presiden putara kedua nanti, dan Mesir memiliki presiden baru, antara Muhammad Mursi dan Ahmad Syafiq.
Kedua pilihan tersebut sebenarnya masih menyimpan konsekuensi lain. Konsekuensi jika Syafiq menang, meski nantinya hubungan pemerintah dengan militer cukup baik, namun hubungan antara pemerintah dengan parlemen dapat dipastikan kurang baik, karena antara dua kubu yang sangat bertentangan. Selain itu, yang lebih berbahaya lagi adalah ancaman akan adanya revolusi Mesir tahap kedua.
Sedangkan konsekuensi jika Mursi menang adalah, hubungan pemerintah dengan militer yang nantinya kurang baik. Dalam sebuah negara, jika hubungan antara pemerintah dengan militer kurang baik, tentu akan menjadi masalah serius tersendiri. Apalagi dalam konteks Mesir, misalkan jika hubungan tersebut dikaitkan dengan penentuan kelanjutan Perjanjian Damai Camp David dengan Israel.
Alhasil, meski revolusi sudah berhasil menggulingkan rezim Mubarak, namun sebenarnya menimbulkan banyak PR baru bagi rakyat Mesir. Rakyat Mesir ketika Revolusi 25 Januari lalu sepertinya berbeda dengan rakyat Mesir pascarevolusi. Ketika Revolusi 25 Januari, seluruh rakyat seakan satu suara untuk menjatuhkan rezim Mubarak, siapapun itu dan dari golongan apapun itu. Tapi pasca revolusi tersebut, rakyat Mesir seperti terpecah-belah memperjuangkan kepentingan golongannya masing-masing. Wallahu’alam.[]
Penulis adalah mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Cairo, asal Banjarmasin.