Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Musthafa Luthfi
Solusi serius
Untuk menghadapi intervensi negeri beruang merah itu, Arab dan sekutu-sekutunya di Barat harus mengajukan solusi serius setelah beberapa tahun belakangan ini masih sebatas rencana dan solusi setengah hati. Sejumlah analis Arab melihat usul Turki untuk membentuk zona larangan terbang dapat sebagai salah satu opsi penting menghadapi āpetualanganā Rusia itu.
Sejauh ini, diantara negara Barat yang mendukung kuat usul Turki tersebut adalah Prancis. Presiden Perancis, Francois Hollande misalnya menyatakan bahwa negaranya akan melakukan pembicaraan serius tentang usul zona larangan terbang tersebut dengan sekutu-sekutunya.
Diyakini bahwa pemberlakukan larangan terbang tersebut dapat menekan semua faksi untuk duduk di meja perundingan guna selanjutnya dilontarkan solusi serius. āReaksi yang paling tepat untuk menghadapi intervensi Rusia tanpa solusi jelas itu adalah solusi serius Arab bersama sekutu Barat dengan segera,ā papar sejumlah analis Arab.
Namun kelihatannya, solusi serius dimaksud tidak mudah sebab sebagian kalangan di Arab sendiri masih belum kompak menyangkut reaksi yang tepat menghadapi intervensi Rusia tersebut. Mesir sebagai negara Arab terbesar secara militer dan penduduk misalnya secara mengejutkan mendukung keterlibatan militer Rusia di Suriah.
Menlu Mesir Sameh Shoukry pada Sabtu (3/10/2015) misalnya menyatakan dukungan negaranya dengan alasan sebagai upaya menghentikan penyebaran terorisme di kawasan. “Intervensi Rusia di Suriah akan membatasi penyebaran terorisme dan membantu menghadapi serangan ISIS di negara yang dilanda perang,” paparnya dalam salah satu pernyataan di TV setempat.
Menurut Menlu Shoukry, berdasarkan kontak langsung dengan mitranya di Rusia bahwa intervensi negeri beruang itu semata-mata untuk melawan terorisme dan menghentikan perluasan pengaruhnya. Dia juga menandaskan bahwa Rusia memiliki potensi dan kemampuan sehingga berpengaruh terhadap keberhasilan perang melawan teroris di Suriah.
Tentunya posisi Mesir tersebut sangat tidak menguntungkan negara-negara Arab yang mendukung oposisi Suriah karena negeri Piramida tersebut mengamini dalih negeri Beruang itu untuk menyerang seluruh kekuatan oposisi penentang rezim Bashar Assad. Sebagaimana dilaporkan bahwa serangan Rusia atas oposisi hanya 5 % yang menargetkan langsung ISIS.
āJusteru sudut pandang Mesir seperti ini menunjukkan ada perbedaan serius dengan negara-negara Arab pro oposisi Suriah dan hal ini adalah masalah nyata (dalam tubuh Arab). Sikap itu juga dapat dibaca sebagai kelalaian terhadap kejahatan Assad yang telah menyebabkan negerinya hancur dan Assad jualah sebagai sponsor munculnya ISIS,ā papar Tahreq al-Hamid.
Menurut salah satu analis Arab itu, sebagian pihak mungkin tidak sadar bahwa Assad lah penyebab tewasnya lebih dari seperempat juta rakyat Suriah dan jutaan lainnya mengungsi. āDia pula rezim Arab pertama yang meminta bantuan negara luar untuk memerangi rakyatnya setelah sebelumnya mendapat bantuan milisi sektarian,ā tandasnya lagi.
Apa yang dikemukakan salah satu pengamat Arab itu, banyak benarnya sebab sikap negeri Arab terbesar itu dapat dijajdikan sinyal bagi Rusia untuk melapangkan jalan untuk memicu peningkatan kekerasan dan perang sektarian di negeri Syam tersebut. Di lain pihak, negara-negara besar dan kawasan yang memiliki kepentingan masing-masing akan ikut andil membumihanguskannya.
Usul Qatar
Isu lainnya yang menarik perhatian adalah usul Qatar tentang perlunya rekonsiliasi di kawasan Teluk antara negara-negara Arab kaya minyak yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk (GCC) dan Iran. Rekonsiliasi ini, menurut pandangan Qatar adalah bertujuan untuk mengakhiri āpersaingan politis” di kawasan antara kedua belah pihak.
Tidak tanggung-tanggung negeri ini menyampaikan usulan tersebut pada akhir September 2015 lalu saat pelaksanaan sidang Majelis Umum (MU) PBB dalam rangka memperingati 70 tahun berdirinya badan dunia itu. Negara Arab dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia itu juga siap menfasilitasi perundingan rekonsiliasi dimaksud.
Itulah antara lain isi pidato yang paling menarik perhatian yang disampaikan Amir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad bin Khalifa Al Thani di hadapan peserta sidang MU PBB. Orang nomor satu Qatar itu mengklaim, perbedaan kedua belah pihak yang terjadi selama ini bersifat politis bukan karena perbedaan idiologi Sunni-Syiah.
Seruan Qatar tersebut berlangsung saat situasi kawasan yang diliputi suasana ketegangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan semakin mengarah kepada eskalasi mengkhawatirkan terutama di Suriah dan Yaman. Sejumlah analis Arab menilai seruan tersebut sebagai usul berani dan tampil beda dari yang biasanya ditampakkan oleh umumnya pemimpin Arab.
Namun kelihatannya tujuan lebih penting dari seruan Qatar itu adalah mencabut “sumbu perseteruan ideologi” yang tidak diragukan lagi di antara penyebab berlarutnya krisis di sebagian negara Arab yang mengalami Arab Spring khusus Suriah dan Yaman.
Bagaimanapun, lewat dialog di meja perundingan dapat membuka mata para pemimpin kawasan akan bahaya luar biasa perang sektarian.
Dalam situasi ketegangan politis di kawasan saat ini, memang usul tersebut nampaknya mungkin sulit untuk mendapat tanggapan cepat. Terlebih lagi Iran kembali memunculkan “ketegangan baru” dengan mempermasalahkan musibah Mina yang menimpa jamaah haji manca negara pada musim haji tahun ini.
Tentunya sebelum dialog tersebut terlaksana, alangkah baiknya bila dunia Arab terlebih dahulu melakukan dialog strategis sesama Arab untuk menyatukan sikap dan memperkuat perannya di kawasan agar tidak terus menerus menjadi bulan-bulanan negara-negara besar. Dunia Arab dituntut untuk memperkuat solidaritas guna menentukan nasib sendiri dan melepaskan ketergantungan secara bertahap kepada negara-negara besar.*/Bogor, 26 Zulhijjah 1436 H
Koresponden ANTARA di Timur Tengah (1992- 2008), mantan senior interpreter KBRI Yaman