Oleh: Musthafa Luthfi*
Setahun sudah Presiden Barack Obama memimpin AS sejak 27 Januari tahun lalu. Bangsa-bangsa di dunia, khususnya bangsa-bangsa muslim, terutama di kawasan Timur Tengah (Timteng), demikian antusias menunggu perubahan yang dijanjikan sebagai upaya mengubah citra buruk yang diwarisi pendahulunya, George W Bush yang pada dua kali masa jabatannya (8 tahun), berlumur darah kaum muslimin, terutama di Afghanistan dan Iraq.
Khusus untuk kawasan Timteng, atau lebih tepatnya disebut kawasan dunia Arab dan Islam di Timteng, pengalaman-pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa setiap capres baru tidak pernah ketinggalan mengumbar janji manis tentang kawasan yang terus bergolak itu. Namun seperti biasa, janji tetap saja sekedar janji hingga masa jabatan berakhir.
Indikasi janji Obama yang sebelumnya sangat dielu-elukan dunia Islam itu bakal mengalami nasib yang sama dengan janji para pendahulunya. Hal ini makin nampak jelas setelah setahun berada di Gedung Putih. Sikap pesimis publik Arab itu dapat dilihat dari laporan media dan tulisan para analis di hampir semua media sehubungan setahun jabatan Obama itu.
“Setahun janji Obama, tidak ada tanda-tanda pemerintah AS mampu menekan Israel, tidak nampak pula upaya menerapkan visi penyelesaian damai,” antara lain tulis sejumlah analis Arab.
Pidato tahunan di depan Kongres Rabu (27/1) lalu, makin mempertegas bahwa negeri yang disebut “adikuasa” itu lebih menfokuskan pada masalah dalam negeri, terutama pemulihan kondisi ekonomi, setelah pendahulunya meninggalkan beban berupa krisis ekonomi parah sebagai konsekuensi terlalu banyak berperang di banyak front. Menyangkut isu konflik Arab-Israel, tidak mendapat perhatian pada pidato tersebut. Cukup hanya memperingatkan Iran akan konsekuensi berbahaya atas kelanjutan program nuklirnya.
Sebagian analis memprediksi bahwa tidak disinggungnya masalah “perdamaian” Arab-Israel karena Obama lebih menfokuskan pada masalah dalam negeri. Namun sejatinya, tidak disinggungnya isu tersebut karena pemerintahan Obama telah gagal memenuhi janjinya yang dilihat dari kegagalan utusan khususnya, George Mitchell yang melakukan lawatan ulang-alik dalam setahun belakangan ini untuk membuka jalan menuju meja perundingan akibat tidak ada kejelasan landasan perundingan dimaksud.
Indikasi lainnya adalah pernyataan Obama, seperti dilaporkan majalah Time, Inggris, tentang “salah perhitungan” menyangkut kendala-kendala yang mengganjal dalam proses perdamaian. Pernyataan ini sebagai bentuk sikap pencabutan jelas atas komitmen-komitmen yang disampaikan sebelumnya dan ketundukan atas sikap rezim Israel, yang makin leluasa memperluas pemukiman (baca: pencaplokan) Yahudi di Tepi Barat, Palestina.
Padahal sebelumnya, pemerintahan Obama telah menekankan penghentian pencaplokan tersebut sebagai syarat dimulainya kembali perundingan damai. Namun akhirnya, tekanan berbalik ke arah Palestina agar perundingan dimulai tanpa syarat. Selama setahun masa jabatan Obama itu, Utusan Khusus George Mitchell telah melakukan 13 kali lawatan untuk membuka jalan bagi dimulainya perundingan, namun berakhir dengan kegagalan yang terlihat dari lawatan terakhir pekan lalu.
Paling tidak ada tiga alasan utama utusan Mitchell kembali ke Washington dengan tangan hampa. Pertama, adalah pengumuman PM Israel, Benjamin Netanyahu untuk mempertahankan semua kantong pemukiman di Tepi Barat dan bersikeras tetap menguasai perbatasan bagian timur daerah itu bila kesepakatan dicapai nantinya. Kedua, penolakan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk kembali ke meja perundingan dalam kondisi seperti saat ini.
Abbas bersedia kembali ke meja perundingan setelah adanya komitmen negeri Zionis itu untuk menghentikan seluruh pemukiman di Tepi Barat dan Al-Quds, penentuan landasan jelas perundingan, batas waktu perundingan yang dibarengi dengan jaminan internasional, terutama AS, tentang waktu deklarasi negara Palestina merdeka (meskipun secara de facto nantinya hanya berupa kedaulatan terbatas –tepatnya tanpa kedaulatan).
Alasan ketiga, seperti disebutkan sebelumnya, adalah indikasi mundurnya pemerintahan Obama dari komitemen sebelumnya, terutama menyangkut pembekuan pemukiman Yahudi menyusul pernyataannya tentang “salah perkiraan” kendala-kendala proses damai. Ini berarti, bila perundingan tetap dipaksakan maka nasibnya sama dengan perundingan-perundingan sebelumnya, yakni perundingan “abathiyah” alias sia-sia.
Intinya, kenyataan di lapangan saat ini, serupa dengan masa mendiang Yasser Arafat. Bedanya, ketika perundingan akhirnya gagal, Arafat tanpa ragu-ragu mendeklarasikan kembali bahwa perjuangan bersenjata adalah opsi utama lalu memperkuat front dalam negeri dengan jalan mempererat hubungan dengan faksi-faksi pendukung perjuangan bersenjata, terutama dengan Hamas.
Sikap tegas Arafat itu memang dibayar mahal karena akhirnya harus menghadapi pengepungan dan isolasi, yang berakhir mengenaskan, yakni terbunuh dengan racun. Cita-citanya memang seperti didengungkan kepada media seluruh dunia saat pengepungan di Ramallah: ingin mati syahid. “Aku akan tetap di sini sampai aku mencapai mati syahid, syahid, dan syahid,” begitu antara lain ucapannya yang selalu dikenang, sebelum maut menjemputnya di Paris akibat racun yang dibubuhi oleh intelijen Israel pada makanan pemimpin Palestina legendaris itu.
Bila Abbas tetap pada pendirian untuk tidak ke meja perundingan sebelum ada komitmen internasional seperti yang ditegaskan kepada George Mitchell, maka sikap ini adalah salah satu modal utama menuju rekonsiliasi dengan faksi-faksi pendukung perjuangan bersenjata, terutama Hamas. Pendirian Abbas ini akan mempercepat rekonsiliasi yang berkali-kali tertunda di Kairo lalu, selanjutnya dapat mengarah kepada intifadha babak ketiga yang paling menghantui negeri zionis.
Gejala sejak awal
Tidak dipungkiri bahwa isu Palestina merupakan isu sentral seluruh umat Islam sedunia, meskipun sebagian pemimpin Islam akhirnya tunduk kepada kehendak Israel dan negara-negara imperialisme, dan mengakui bahwa isu ini semata-mata isu dua negara (Israel dan Palestina) atau hanya sebatas konflik Arab-Israel. Isu ini akan tetap menjadi perhatian serius umat Islam di seluruh belahan bumi sehingga akan menjadi tolok ukur: sesungguhnya apakah Obama memang menginginkan perubahan atau hanya sebatas menciptakan “mimpi”.
Kalangan publik Arab dan dunia Islam umumnya sebenarnya bisa melihat gejala tidak adanya perubahan sikap mendasar negeri pendukung utama Israel tersebut saat kampanye dan pidato kemenangan Obama. Bila pun ada perubahan, hanya sebatas perubahan formalitas, bukan perubahan yang dinanti-nantikan publik muslim.
Saat kampanye misalnya, Obama hanya menyinggung Palestina lewat ucapan-ucapan indah tentang suatu perdamaian dan hidup berdampingan antara dua negara ( Israel dan Palestina) secara umum dan terkesan tidak jelas ,yang dapat menimbulkan multiinterpretasi. Ucapan memukau serupa juga diucapkan kembali saat menyampaikan orasi kepada dunia Islam yang disampaikan di Universitas Kairo pada 4 Juni 2009 atau sekitar 6 bulan sejak resmi menjabat sebagai orang nomor satu AS.
Isyarat lainnya , ketika menyampaikan pidato kemenangan, Presiden Obama tidak sekali pun menyebut tentang Palestina dan penderitaan rakyat negeri itu, terutama di Jalur Gaza yang mati secara perlahan-lahan akibat embargo internasional sehingga untuk sekedar kebutuhan makan sehari-hari dan pengobatan pun sangat tidak mencukupi. Saat invasi biadab Israel di Gaza pada 28 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009, sikap Obama sangat kentara mendukung penuh negeri Zionis dengan dalih mempertahankan diri.
Yang jelas, satu perinsip kokoh yang telah mentradisi sejak usai perang dunia II, mulai dari Presiden Harry S Truman hingga George W Bush, sebagai jaminan untuk terus mempertahankan jabatannya adalah kesetiaan mutlak kepada negeri Yahudi itu. Singkatnya, menyangkut isu Palestina dan isu bangsa Arab lainnya, adalah tetap berpijak pada dua faktor utama, yakni pertama, jaminan keunggulan dan keamanan Israel menghadapi apa yang mereka sebut “ancaman” dunia Arab, termasuk juga ancaman dari Iran.
Faktor kedua adalah jaminan mengalirnya minyak Arab ke AS dan dunia Barat lainnya dengan harga murah atau sedikitnya dengan harga yang sesuai keinginan negara-negara industri Barat. Sejauh ini telah terbukti bahwa aliran minyak ke Barat tetap deras, meskipun isu Palestina makin dikesampingkan AS terutama sejak peristiwa 11 September 2001 sehingga Washington di masa Obama belum mendesak untuk mengubah kebijakan secara mendasar yang menguntungkan bangsa Palestina.
Selain disebutkan di atas, kelemahan lainnya yang tidak disadari dunia Islam, terutama negara-negara Arab menyangkut isu Palestina tersebut, adalah tidak adanya visi komprehensif menghadapi pergantian kekuasaan di AS. Posisi yang masih dipertahankan adalah “posisi menunggu” sehingga tak ubahnya bagaikan menggantungkan kemenangan pada taruhan judi yang merugikan, atau dengan kata lain menggantungkah harapan-harapan manis tanpa dasar.
Isu-isu dunia Islam lainnya, seperti masalah Iraq, nuklir Iran , Afganistan, dan perang melawan terorisme, tidak jauh dari nasib isu Palestina, meskipun masalah Iraq terjadi perubahan kebijakan hanya sebatas rencana penarikan sebagian pasukan AS dengan tetap membiarkan negeri bekas pusat Dinasti Abbasiyah itu tetap kacau akibat pertikaian antargolongan yang sulit diatasi sehingga mengancam disintegritas pascapenarikan mundur pasukan penjajah nantinya.
Kebijakan Obama di Afganistan tak jauh beda dari pendahulunya, setelah keputusan penambahan 30 ribu personil AS untuk menghadapi Taliban. Korban sipil terus berjatuhan meskipun Taliban dapat mengimbangi sehingga pada 2009 adalah tahun paling mengenaskan bagi pasukan AS dan multinasional di Afganistan karena tahun itu tahun paling banyak korban yang jatuh di pihak tentara sekutu.
Pertemuan London untuk mendukung Afganistan pada 28 Januari lalu, yang salah satu tujuan utamanya adalah mengupayakan rekonsiliasi antara pemerintahan Hamid Karzai dengan unsur-unsur Taliban, ternyata tidak digubris tokoh-tokoh utama Taliban. Itu berarti indikasi bahwa perang akan berlanjut, karena sejumlah tokoh Taliban yang bersedia berunding dengan Karzai ditengarai tidak memiliki pengaruh besar.
Masalah Afghanistan belum teratasi, front baru berusaha dibuka di Yaman dengan dalih yang sama, yakni memerangi Al-Qaeda karena banyak tokoh dari organisasi pimpinan Osama Bin Ladin itu yang dicurigai melarikan diri ke Yaman dari perbatasan Afghanistan-Pakistan. Tapi sebagian analis menilai bahwa mereka sengaja diselundupkan ke Yaman oleh intelijen AS dan Barat untuk selanjutnya menjadikannya sebagai front baru guna menutup kemungkinan kekalahan di Afghanistan .
Seperti perkiraan sebelumnya, dengan makin intensifnya serangan atas Afganistan dengan dalih menghancurkan sisa-sisa pasukan Taliban dan mencari Usamah Bin Ladin dan pembukaan front baru di Yaman dengan alasan mengejar Al-Qaeda, perang melawan apa yang disebut terorisme akan makin gencar di masa Obama. Itu berarti dunia Islam harus bersedia dilanggar kedaulatannya atas nama “war against terrorism”.
Pelajaran dari Gaza
Di tengah kenyataan pahit itu, tidak ada salahnya untuk mengenang kembali perang (invasi biadab) Israel di Gaza yang kebetulan pada pertengahan Januari lalu juga sebagai peringatan tahun pertama usainya salah satu pembantaian paling biadab sepanjang sejarah manusia itu. Mengenang invasi Gaza bukan sekedar mengenang kehancuran dan korban sipil yang syahid sebanyak 1.400 orang lebih dan 5.000 luka-luka, termasuk 1.000 yang cacat seumur hidup, disamping kehancuran dahsyat akibat berbagai jenis senjata paling mutakhir negeri Zionis.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Yang paling utama adalah pelajaran penting dari invasi itu selanjutnya, menjadi bekal bagi dunia Islam, terutama Arab dalam menghadapi konspirasi berkesinambungan dari kaum Zionis dan pendukung-pendukungnya di masa mendatang. Paling tidak ada lima pelajaran penting yang perlu dicermati dari invasi yang berlangsung pada 28 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009 itu.
Pelajaran pertama (dan sering tidak digubris para pemimpin Islam) adalah dasar invasi dan pendudukan Israel adalah akidah sehingga untuk menghadapinya juga harus dengan akidah. Para pejuang dan warga Gaza di areal seluas separo kota Jakarta dengan daratan yang datar tanpa ada gunung, melandaskan perjuangan melawan invasi itu atas dasar akidah sehingga pasukan Zionis tak mampu masuk di darat lalu melakukan penghancuran lewat udara dan laut.
Bila dilhat dari target invasi yakni menghilangkan Hamas dari peta politik Palestina dan menghancurkan perjuangan, maka jelas invasi itu gagal. Hamas tetap eksis dan makin berpengaruh, kemudian opsi perjuangan bersenjata makin meluas di kalangan faksi-faksi Palestina. Kegagalan Zionis tersebut harus diakui sebagai buah dari melandaskan perjuangan atas dasar akidah, sebagaimana musuh juga melandaskan penjajahannya pada akidah mereka.
Pelajaran kedua adalah menghadapi musuh Zionis tak akan pernah berhasil lewat perundingan politis semata sehingga kekuatan senjata adalah opsi satu-satunya. Atau paling tidak opsi perjuangan bersenjata harus seiring dengan opsi perundingan, yang sejak sekitar 30 tahun lebih terbukti sia-sia, mulai dari perundingan Madrid pada 1991 hingga Oslo yang sudah “mati” pada 1993 sampai Annapolis pada 2008.
Pelajaran ketiga adalah munculnya sikap hipokrasi di kalangan sebagian pemimpin. Hal ini dapat dilihat dari sikap mereka yang menyalahkan korban (pemimpin dan warga Gaza yang diembargo secara semena-mena) sebagai penyebab pembantaian biadab di Gaza, bukannya menyalahkan penjajah Zionis yang menjadi biang kesengsaraan bangsa-bangsa di kawasan sejak didirikan Israel oleh negara-negara besar pada Mei 1948.
Pelajaran keempat adalah pengorbanan. Untuk mencapai perubahan sikap masyarakat internasional membutuhkan pengorbanan, sebagaimana diperlihatkan warga Gaza yang tetap kokoh dalam pendirian menghadapi berbagai kelaliman selama ini sehingga menimbulkan simpati dunia dan makin menyebarkan kebencian terhadap penjajah Zionis, seperti sikap anti-Israel yang makin mencuat akhir-akhir ini di Eropa.
Pengorbanan para ulama juga dibutuhkan dengan memberikan fatwa yang benar menyangkut perjuangan Palestina dan haramnya melanjutkan embargo atas Gaza, seperti yang diutarakan Ketua Persatuan Ulama Muslim Sedunia, Sheikh Yusuf Al-Qardawi. Sangat disayangkan, ada sebagian ulama yang mengeluarkan fatwa menguntungkan penjajah Zionis menyangkut kondisi di Jalur Gaza .
Pelajaran kelima adalah, invasi Gaza membuktikan kesia-siaan perundingan selama ini. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, perundingan tanpa dibarengi opsi perlawanan bersenjata adalah sia-sia. Minimal dunia Islam, terutama Arab tetap, mendukung kuat, baik berupa dukungan politis maupun dukungan materi kelompok-kelompok perjuangan sebagai konsekuensi sah dari penjajahan yang dijamin hukum internasional.
Seperti sering penulis utarakan sebelumnya, yang bisa menentukan dan memenangkan isu dunia Islam tersebut hanyalah para pemimpin Islam sendiri, yang kelihatannya belum memiliki kesatuan visi sehingga menyandarkan pada pihak lain (Barat). Padahal potensi umat Islam dewasa ini untuk menentukan nasib sendiri lebih dari cukup, baik diakui atau diingkari, berupa “political will” atau bila disampaikan dalam bahasa agama adalah kekuatan iman. [Jum`at, 14 Safar 1431 H/hidayatullah.com]
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang berdomisili di Yaman