Harian The Jakarta Post, edisi 26 Januari 2004, memuat profil Partai Damai Sejahtera (PDS), satu-satunya partai Kristen di Indonesia yang lolos seleksi sebagai kontestan Pemilu 2004. Beberapa program partai ini diantaranya adalah: kebebasan beragama dan proteksi terhadap kebebasan tersebut (Freedom of religion and protection for that freedom) dan menjamin pemisahan antara negara dengan agama (to ensure separation of state and religion).
Mengapa sebuah Partai Kristen memperjuangkan pemisahan agama dengan negara (sekularisasi)? Inilah yang perlu kita telusuri. Apakah ajaran Kristen memang memerintahkan seperti itu?
Partai Damai Sejahtera (PDS) dipimpin oleh seorang pendeta Kristen fanatik bernama Ruyandi Hutasoit, yang oleh The Jakarta Post, disebutkan juga sebagai “president of the Doulos Foundation, focusing on social services.”
Koran ini tampak tidak terbuka sepenuhnya dalam menjelaskan tentang Doulos foundation, atau Yayasan Doulos. Yayasan Doulos ini jelas bukanlah sekedar yayasan sosial semata. Kaum Muslim di Indonesia sudah sangat mengenal Doulos, yang merupakan yayasan misi Kristen, dan mempunyai target mengkristenkan masyarakat Indonesia.
Perlu diingat, bahwa Komplek Kristen Doulos pernah diserang penduduk pada tanggal 16 Desember 1999, yang mengakibatkan komplek itu habis terbakar, seorang tewas, dan puluhan lainnya luka-luka. Komplek Kristen itu telah bertahun-tahun diprotes umat Islam, karena melakukan aksi Kristenisasi (pemurtadan) terhadap umat Islam.
Pemda Jakarta Timur pun sudah memerintahkan agar Komplek itu ditutup. Yayasan Doulos yang berlokasi di Jalan Tugu No 3-4, Rt 04/04, Kelurahan Cipayung, Jakarta Timur, sudah lama memicu kontroversi diantara warga setempat. Awal Oktober 1999, ratusan masyarakat setempat sudah membuat surat pernyataan yang ditujukan kepada Walikota Jaktim Andi Mapaganthy, yang isinya berkeberatan dengan keberadaan yayasan tersebut.
Surat itu juga telah mendapat rekomendasi dari Muspika Kecamatan Cipayung Jaktim bernomor 231/1.75, tertanggal 11 Oktober 1999, yang isinya meminta agar kegiatan Yayasan Doulos segera ditutup.
Dalam sebuah pertemuan di Balai Kecamatan Cipayung yang dihadiri sekitar 500 umat Islam, telah disampaikan tuntutan tersebut kepada pihak kecamatan, Danramil, dan Kapolsek.
Yayasan Doulous oleh warga setempat dinilai telah melakukan proyek Kristenisasi terselubung, dengan berkedok pendirian RS Ketergantungan Obat, RS Jiwa, dan Sekolah Tinggi Theologia. Berdasarkan bukti-bukti aktivitas kristenisasi Yayasan Doluos tersebut dan keresahan warga setempat, maka Walikota Jaktim, melalui suratnya bernomor 3488/1.857.2, memerintahkan Yayasan Doulos untuk menghentikan kristenisasinya.
Juga, Yayasan ini dianggap melanggar surat keputusan Ditjen Bimas Kristen Protestan No 5 tahun 1993 tanggal 29 Januari 1993. Di dalam diktum keempat keputusan tersebut, dinyatakan bahwa Yayasan Doulos tidak dibenarkan menjalankan fungsi dan tugas sebagai gereja dan atau mengarah kepada pembentukan gereja. Aktivitas Doluos pun dinilai bertentangan dengan SK Menteri Agama No 70 tahun 1978 tanggal 1 Agustus 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama.
Fakta tentang Yayasan Doulos in penting untuk dicatat, bahwa Doulos yang dipimpin oleh Ruyandi Hutasoit memang jelas-jelas merupakan kelompok misionaris Kristen. Adalah menarik, bahwa dalam partai PDS, misi Kristen itu dengan halus disembunyikan. Bahkan, partai ini ikut-ikutan mendukung gerakan pemisahan agama dengan negara.
Pemisahan agama dengan negara sebenarnya bertentangan dengan ajaran Kristen dan tidak dikehendaki oleh kaum Kristen yang taat beragama. Logisnya, setiap orang beragama, pasti bercita-cita menjadikan negaranya dikelola dan diatur sesuai dengan ajaran agamanya.
Dalam ceramahnya di Sekolah Tinggi Theologi Kristen Jakarta, pada tanggal 21 April 1970, Prof. Dr. Hamka, yang ketika itu menjadi ketua umum MUI, menyatakan, baik Islam maupun Kristen, harusnya tidak dapat mengkhayalkan negara yang terpisah dari agama, karena jika negara terpisah dari agama, hilanglah tempat dia ditegakkan.
Islam memandang bahwa negara adalah penyelenggara atau pelayan atau khadam dari manusia. Sedang manusia adalah kumpulan dari pribadi-pribadi. Maka tidaklah dapat tergambar dalam pemikiran bahwa seorang pribadi, karena telah bernegara, dia pun terpisah dengan sendirinya dengan agamanya.
Menurut Hamka, tidaklah mungkin orang yang benar-benar beragama menjadi sekuler, apa pun agamanya.
Dikatakan oleh Buya Hamka di hadapan para tokoh dan aktivis Kristen: “Payahlah memikirkan bahwa seorang yang memeluk suatu agama, sejak dia mengurus negara, agamanya itu musti disimpannya. Anggota DPR kalau pergi ke sidang, agamanya tidak boleh dibawa-bawa, musti ditinggalkannya di rumah. Kalau dia menjadi menteri, selama Sidang Kabinet, agamanya musti diparkirnya bersama mobilnya di luar. Dan kalau dia menjadi Kepala Negara haruslah jangan memperlihatkan diri sebagai Muslim atau Kristen selama berhadapan dengan umum. Simpan saja agama itu dalam hati. Nanti sampai di rumah baru dipakai kembali. Saya percaya bahwa cara yang demikian hanya akan terjadi pada orang-orang yang memang tidak beragama. Sebab memang tidak ada pada mereka agama yang akan disimpan dirumah itu, atau diparkir di luar selama Sidang Kabinet”.
“Kalau dia seorang Muslim yang jujur atau seorang Kristen yang tulus, agama yang dipeluknya itulah yang akan mempengaruhi sikap hidupnya, di luar atau di dalam parlemen, di rumah atau di Sidang Kabinet, dalam hidup pribadi atau hidup bernegara. Dia akan berusaha melaksanakan segala tugasnya bernegara, menurut yang diridhai oleh Tuhan yang dia percayai. Dan dia akan menolong agamanya dengan kekuasaan yang diberikan negara kepadanya menurut kemungkinan-kemungkinan yang ada. Begitulah dia, kalau dia Islam. Begitulah dia, kalau dia Kristen.”
Hamka berkesimpulan, seorang Kristen yang benar, tidaklah akan mau menerima gagasan, kalau dengan gagasan itu mereka diajak memisahkan kegiatan hidup dengan yang diajarkan oleh Isa Almasih.
Padahal, Almasih telah memerintahkan ummatnya untuk menegakkan Syariat Musa, dimana satu titik pun, satu noktah pun, tidak boleh diubah. Jadi ketiga agama langit, yaitu Islam dan Yahudi, dan Nasrani, sebenarnya merupakan agama aqidah dan syariat. Demikianlah pendapat Buya Hamka.
Di dalam Bible dikatakan: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu, siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekali pun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 5:17-19)
Memang, jika hukum Taurat diterapkan, kaum Kristen sekarang ini bisa kelabakan dan sulit “bernafas”.
Karena itu, misalnya, sejak lama mereka mengembangkan salah satu model interpretasi Bible, yang disebut model “interpretasi moral” dengan cara membangun prinsip-prinsip penafsiran yang memungkinkan nilai-nilai etik diambil dari beberapa bagian dalam Bible.
The Letter of Barnabas (sekitar 100 M), misalnya, menginterpretasikan undang-undang tentang makanan dalam Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan untuk memakan daging hewan tertentu, tetapi lebih merupakan sifat-sifat buruk yang secara imajinatif diasosiasikan dengan hewan-hewan itu.
Padahal, dalam Kitab Imamat 11:1-46, disebutkan daftar binatang yang haram dimakan, seperti unta, pelanduk, kelinci, babi hutan, burung rajawali, burung onta, burung camar, elang, burung pungguk, tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, dan bunglon.
“Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram itu semuanya bagimu.” (ayat 8).
Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000, pasal 11 ini diletakkan di bawah tajuk “Binatang yang haram dan yang tidak haram.” Dalam ayat 35 disebutkan: “Kalau bangkai seekor dari binatang-binatang itu jatuh ke atas sesuatu benda, itu menjadi najis; pembakaran roti dan anglo haruslah diremukkan, karena semuanya itu najis dan haruslah najis juga bagimu.”
Karena begitu beratnya hukum Taurat itulah, maka berbagai usaha dilakukan untuk meninggalkannya. Sebenarnya, sebagaimana disebutkan dalam catatan sebelumnya, sejak awal abad ke-20, kaum misionaris Kristen telah menjadikan sekularisasi sebagai musuh besar mereka.
Dalam pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, sekulerisme telah ditetapkan sebagai musuh besar dari Geraja Kristen dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). (Lihat buku The Theology of Mission and Evangelism, 1980).
Seorang aktivis Kristen dari Yabina Bandung, bernama Herlianto, menulis sebuah buku berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? yang dengan cukup jelas memaparkan kehancuran gereja-gereja di Eropa, gara-gara serbuan arus sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan “klenikisme”.
Sebagai contoh, di Amsterdam, yang 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen, sekarang tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.
Pada tahun 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.
Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atai imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur — terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.
Di negara-negara Kristen Barat itu, nilai-nilai agama Kristen sudah hancur. Masyarakat sudah tidak peduli nilai-nilai Kristen. Pemimpin yang jelas-jelas melakukan kejahatan seksual seperti Bill Clinton tetap dipilih. Bahkan, hal-hal yang jelas-jelas ditentang oleh Kristen, seperti homoseksualitas dan aborsi, sudah menjadi tradisi. Semua itu adalah akibat arus sekularisasi dan liberalisasi.
Tentu kita bertanya, mengapa sebuah Partai Kristen (PDS) yang dipimpin pendeta misionaris fanatik begitu bersemangat memperjuangkan sekularisasi di sebuah negeri Muslim (Indonesia) dan berjuang keras agar negara dipisahkan dari agama?
Jawabnya tidak terlalu sulit ditebak, karena mereka tidak ingin bangsa Muslim ini menjadi bangsa yang taat kepada nilai-nilai Islam. Mereka ingin kaum Muslim hancur dan jauh dari nilai-nilai dan hukum agama Islam, sehingga mudah menjadi mangsa pemurtadan.
Mereka paham, bahwa sekularisme adalah senjata pemusnah massal yang ampuh untuk memusnahkan nilai-nilai agama, sebagaimana yang terjadi di wilayah Kristen.
Al-Quran menyebutkan: “Dan mereka akan selalu memerangi kamu, sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), jika mereka sanggup.” (QS Al Baqarah:217).
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi penyesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahannam orang-orang kafir itu akan dikumpulkan.” (QS Al Anfal:36).
Dalam Tafsir al-Azhar, Hamka memberi penjelasan tentang ayat tersebut: “Perhatikanlah betapa di zaman sekarang, orang-orang menghambur-hamburkan uang berjuta-juta dolar tiap tahun, bahkan tiap bulan, untuk menghalang-halangi jalan Allah yang telah dipegang teguh oleh kaum Muslimin. Perhatikanlah betapa zending dan misi Kristen dari negara-negara Barat memberi belanja penyebaran agama Kristen ke tanah-tanah dan negeri-negeri Islam.
Diantara penyebaran Kristen dan penjajahan Barat terdapat kerjasama yang erat guna melemahkan keyakinan umat Islam kepada agamanya. Sehingga ada yang berkata bahwa, meskipun orang Islam itu tidak langsung menukar agamanya, sekurang-kurangnya bila mereka tidak mengenal agamanya lagi, sudahlah suatu keuntungan besar bagi mereka. Jika bapa-bapanya dan ibu-ibunya masih saja berkuat memegang iman kepada Allah dan Rasul, moga-moga dengan sistem pendidikan secara baru, jalan fikiran si anak hendaknya berubah sama sekali dengan jalan fikiran kedua orang tuanya.
Demikian juga propaganda anti-agama, mencemohkan agama, dan menghapuskan kepercayaan sama sekali kepada adanya Allah, itupun dikerjakan pula oleh orang kafir dengan mengeluarkan belanja yang besar. Yang menjadi sasaran tiada lain daripada negeri-negeri Islam.” Demikian Hamka.
Karena itu, kita dapat memahami, jika sekularisme menjadi program partai misionaris Kristen di Indonesia, karena mereka memang berkepentingan untuk memuluskan misinya, melemahkan aqidah dan akhlak kaum Muslim. Tetapi, dapatkah kita memahami, jika ada umat atau tokoh politik atau tokoh Islam yang mengkampanyekan hal yang sama dengan kelompok misionaris Kristen itu? Wallahu a’lam. (KL, 28 Januari 2004).