Oleh: Dr. Adian Husaini
MAHKAMAH Agung Amerika Serikat (AS), pada Sabtu (27/6/2015), secara resmi melegalkan perkawinan sejenis di seluruh negara bagian AS. Keputusan itu, dinilai banyak pihak akan berpengaruh terhadap perkembangan legalisasi perkawinan sejenis di bebagai negara. Kontroversi pun segera marak di berbagai belahan dunia.
Pada 1 Juni 2015 lalu, saya mendapat undangan memberikan kuliah umum tentang Lesbian, Homoseksual, Biseksual dan Transgender (LGBT) di sebuah universitas di Sumatra. Sekitar 400 mahasiswa hadir. Saya dikabari bahwa sebelumnya sudah ada empat kali diskusi yang menyokong legalisasi perkawinan sejenis di kampus itu. Ketika itu, dunia baru saja digemparkan dengan hasil referendum yang melagalkan perkawinan sejenis di Irlandia, sebuah negara berpenduduk mayoritas Katolik. Vatikan pun memberikan reaksi keras terhadap peristiwa di Irlandia tersebut.
Di AS, khususnya, perkembangan pengesahan LGBT berlangsung sangat cepat. Tahun 2013, untuk pertama kalinya, Katedral Nasional AS melaksanakan perkawinan sejenis (https://www.cathedral.org/press/PR-60QF1-3I0018.shtml). Awal Juni 2015 itu pun, baru sekitar 30 negara bagian yang melegalkan kawin sejenis. Sebelumnya, tahun 2003, dunia digemparkan peristiwa terpilihnya Gene Robinson sebagai Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire. Itu untuk pertama kalinya seorang pelaku homoseksual menduduki jabatan tertinggi dalam hirarki gereja selama 2000 tahun sejarah Kristen. Sebab, secara tersurat ketetapan Bible (Imamat, 20:13), sangat jelas: pelaku praktik kawin sejenis wajib dihukum mati.
Karena itu, peristiwa legalisasi perkawinan sejenis di AS itu memang terasa begitu cepat. Persepsi bangsa AS bisa diubah dalam waktu begitu singkat. Pada 22 Mei 2013 lalu, Wakil Presiden AS Joe Biden memuji peran tokoh-tokoh Yahudi dalam mengubah persepsi bangsa AS tentang perkawinan sejenis. Harian Haaretz menulis sebuah berita berjudul: “Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes”.
Dikatakan, bahwa, “Vice President Joe Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about gay marriage and other issues. Biden says culture and arts change people’s attitudes. He cites social media and the old NBC TV series “Will and Grace” as examples of what helped changed attitudes on gay marriage. Biden says, quote, “Think … behind of all that, I bet you 85 percent of those changes, whether it’s in Hollywood or social media, are a consequence of Jewish leaders in the industry.” Biden says the influence is immense and that those changes have been for the good.”
Jika bangsa AS bisa diubah persepsinya dalam waktu begitu cepat dengan peran penting dari para tokoh Yahudi, bagaimanakah dengan bangsa Indonesia? Sejak awal 2000-an, kita sudah beberapa kali mengingatkan, bahwa cepat atau lambat wabah LGBT ini akan merebak di Indonesia, sejalan dengan liberalisasi pemikiran LGBT. Tahun 2004, Jurnal Justisia yang diterbitkan para mahasiswa Fakultas Syariah satu universitas Islam di Semarang, sudah secara terbuka menulis laporan utama berjudul: INDAHNYA KAWIN SESAMA JENIS.
Redaksi Jurnal ini dengan tegas menulis: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam penciptaan manusia (karena waktu itu manusia masih sedikit), maka sekarang Tuhan perlu mengutus “Nabi” untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit proyek Tuhan tersebut. Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami, jalan terus kaum homoseks. Anda di jalan yang benar.”
Tahun 2006, di Yogyakarta ditetapkan satu dokumen bernama “Prinsip-prinsip Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles), berisi tentang Penerapan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dalam kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender. Wikipedia mencatat, bahwa dokumen ini adalah seperangkat prinsip-prinsip yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender, dimaksudkan untuk menerapkan standar hukum hak asasi manusia internasional untuk mengatasi pelecehan hak asasi manusia terhadap lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), dan (secara sekilas) interseks.
Prinsip-prinsip yang dikembangkan pada pertemuan Komisi Ahli Hukum Internasional, International Service for Human Rights dan ahli hak asasi manusia dari seluruh dunia di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada tanggal 6-9 November di 2006. Dokumen penutup “berisi 29 prinsip yang diadopsi dengan suara bulat oleh para ahli, bersama dengan rekomendasi kepada pemerintah, lembaga antar pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan PBB itu sendiri”.
The Yogyakarta Principles itu menyatakan, bahwa: “All human beings are born free and equal in dignity and rights. All human rights are universal, interdependent, indivisible and interrelated. Sexual orientation and gender identity are integral to every person’s dignity and humanity and must not be the basis for discrimination or abuse.” (http://www.yogyakartaprinciples.org/principles_en.htm).
Jadi, kaum LGBT dan pendukungnya, memang sedang bergerak secara sistematis untuk memperjuangkan pengesahan perkawinan sejenis di Indonesia. Salah satu gerakan itu, misalnya, mengusung jargon indah: “Indonesia tanpa diskriminasi”. Gerakan ini secara terbuka memperjuangkan pengesahan legalisasi perkawinan sesame jenis, sebagaimana di AS.
Lalu, bagaimana kira-kira prospek pengesahan kawin sejenis di Indonesia, yang komunitas itu kini popular disebut LGBT (Lesbian, Homoseksual, Biseksual, Transgender)? Menarik menyimak Rekomendasi dari sebuah laporan hasil diskusi dalam “Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia” yang diselenggarakan pada 13-14 Juni 2013 di Bali. Sebagian isi Rekomendasi itu penting untuk kita simak dan pahami.
- Rekomendasi Untuk Organisasi dan Komunitas LGBT di Indonesia
- Mengingat pentingnya bekerja dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia, sementara tingkat pemahaman dan pelaksanaan hak asasi manusia masih rendah, maka advokasi hak asasi manusia LGBT dapat dijadikan sebagai salah satu strategi utama di setiap organisasi, selain berperan aktif dalam advokasi kebijakan baik di tingkat regional, nasional maupun internasional, melalui mekanisme hak asasi manusia PBB dan mekanisme hak asasi manusia ASEAN.* (BERSAMBUNG)
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com