Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | Hasil pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, menetapkan sekulerisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme.
Dikatakan: “It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism.”
Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional. (Lihat, Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, Finnish Missionary Society, Helsinki, 1980).
Tetapi, tantangan sekularisme begitu berat. Apalagi, bagi agama Kristen yang berpusat di dunia Barat. Karena merasa tidak sanggup menghadapi sekularisme, sebagian kalangan Kristen kemudian menyerah dan ikut-ikutan mendukung sekularisasi dan bahkan mencarikan legitimasinya dalam Bible.
Kalangan ini kemudian memandang sekularisasi sebagai satu keharusan yang tidak dapat ditolak. Pakar teologi Harvey Cox membuka buku terkenalnya, The Secular City, dengan bab “The Biblical Source of Secularization”, yang diawali kutipan pendapat teolog Jerman Friedrich Gogarten: “Secularization is the legitimate consequence of the impact of biblical faith on history.”
Katanya, sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah. Jadi, kata Harvey Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one).
Karena sudah menjadi satu keharusan, kata Harvey Cox, maka kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab sekularisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bible. Maka, tugas kaum Kristen adalah menyokong dan memelihara sekularisasi. (Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, (New York: The Macmillan Company, 1967).
*****
Pengaruh buku Harvey Cox kemudian melintasi batas negara dan agama. Di Yogyakarta, juga pada tahun 1960-an, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi Limited Group, sangat terpengaruh oleh buku “The Secular City” nya Harvey Cox. Kelompok inilah yang kemudian menjadi salah satu cikal bakal gerakan liberalisasi Islam di Indonesia.
Karel Steenbrink, dalam artikelnya berjudul “Patterns of Muslim-Christian Dialogue in Indonesia, 1965-1998” – yang dimuat dalam buku Jacques Waardenburg, Muslim-Christian Perceptions of Dialogue Today, (Leuven:Peeters, 2000) — menulis: “The book The Secular City by Harvey Cox had a great impact in these young students.”
Baca: Sekularisme Mendominasi Wajah Peradaban Barat Kini
Salah satu aktivis mahasiswa yang tergabung dalam “Limited Group” itu adalah Ahmad Wahib. Dalam “Catatan Harian”-nya, Ahmad Wahib menulis: “Sejauh yang aku amati selama ini, agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita sekularkan. Padahal, sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita kalau kita tidak ingin sekularistis.”
Meskipun aktif dalam satu organisasi mahasiswa Islam, Wahib merupakan anak asuh Romo Willenborg dan Romo H.C. Stolk SJ di Asrama Katolik Yogyakarta. Ketika itu ia sudah menyatakan dirinya sebagai penganut pluralisme, sama dengan Romo Stolk. Wahib juga membahas tentang sekularisme dan sekularisasi. (Lihat, Djohan Efendi & Ismet Natsir Ahmad (ed), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2003, cet ke-6).
Gagasan liberalisasi juga bersumberkan dari peradaban Barat. Setelah melanda agama Yahudi, dengan tokohnya Abraham Geiger, berikutnya adalah maraknya gerakan Kristen Liberal. Lalu, giliran Islam dan agama-agama lain pun hendak diliberalkan. Liberalisme adalah paham yang telah menjerumuskan peradaban Barat pada relativitas agama dan nilai moral.
Kristen, karena problem teologis, Bible, dan sejarah mereka, tidak mampu menghadapi sekularisme dan liberalisme. Mereka menyerah kepada peradaban Barat. Prof. Naquib al-Attas memberikan penjelasan panjang lebar tentang masalah ini dalam buku “klasik”-nya, “Islam and Secularism”. Kesimpulannya, agama Kristen telah ter-Baratkan. Hasil yang jelas adalah terjadinya proses sekularisasi di dalam teologi dan mayarakat Kristen. E.L. Mascall, dalam bukunya, The Secularization of Christianity, menyatakan, “… that instead of converting the world to Christianity they are converting Christianity to the World. “
Baca: Post Sekularisme Pasca Kudeta Turki
*****
Kini, gelombang sekularisme terus melanda dunia. Agama dianggap sebagai penghalang terbesar. Misalnya, dalam masalah seksualitas. Dunia Barat, bahkan kalangan Gereja Kristen, terus diguncang hebat dalam soal penentuan batas-batas moral soal homoseksualitas.
Homoseksualitas yang berabad-abad dicap sebagai praktik kotor dan maksiat oleh agama-agama, justru kemudian diakui sebagai praktik yang manusiawi dan harus dihormati sebagai bagian dari penghormatan Hak Asasi Manusia. Orang yang menolak homoseksual dituduh sebagai intoleran.
Tokoh-tokoh Gereja pada awal-awal Kristen, seperti Clement of Alexandria, St John Chrysostom, dan St Agustine, mengutuk perbuatan homoseksual. Tahun 1975, Vatikan mengeluarkan Doktrin “The Vatican Declaration on Social Ethics”, yang hanya mengakui praktik heteroseksual dan menolak pengesahan homoseksual. St Thomas menyebut Sodomi sebagai “contra naturam”, artinya, bertentangan dengan sifat hakiki manusia.
Tetapi, kemudian, sebagian teolog Kristen pendukung homoseksual. Mereka membuat tafsiran lain tentang homoseksual. John J. McNeill SJ, misalnya, menulis buku “The Church and the Homosexual” yang memberikan justifikasi moral terhadap praktik homoseksual. Menurut dia, Tuhan menghukum kaum Sodom dan Gomorah, bukan karena praktik homoseksual, tetapi karena ketidaksopanan penduduk kota itu terhadap Tamu Lot.
Baca: Bibit Sekularisme
Kaum Katolik mendirikan sebuah kelompok gay bernama “Dignity” yang mengajarkan, bahwa praktik homoseksual tidak bertentangan dengan ajaran Kristus. Teolog lain, Gregory Baum, menyatakan: bahwa “If the homosexual can live that kind of life (love), than homosexual love is not contrary to the human nature.” Tahun 1976, dalam pertemuan tokoh-tokoh Gereja di Minneapolis, AS, dideklarasikan, bahwa “homosexual persons are children of God.” (William F. Allen, Sexuality Summary, (Ohio: Alba House Communications, 1977), hal. 12-15, 33-39).
Puncak kehebohan dalam kasus seksual di kalangan Gereja adalah ketika pada November 2003, Gereja Anglican di New Hampshire mengangkat Gene Robinson, seorang praktisi homoseksual, menjadi Uskup. Maka, gerakan kaum homoseksual dengan resmi mendapat legitimasi dari Gereja. Sesuatu praktik maksiat yang dikutuk dalam Bible dan selama ratusan tahun dipertahankan, akhirnya tidak mampu dibendung karena mendapatkan legitimasi agama. Kini, AS sudah melegalkan perkawinan sejenis!
Jadi, jika sudah begitu banyak yang menyerah menghadapi sekularisme, apakah kita juga akan ikut-ikutan menyerah dan membuang tuntunan agama dalam seluruh aspek kehidupan kita? Tentu saja: TIDAK! Inilah ujian iman. Dan kita harus lulus dari ujian ini. Tetap dalam Iman dan Islam. Aamiin. (Depok, 28 Januari 2021).*
Penulis Ketua Umum PP Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
Tulisan lain Adian Husaini