Oleh: Muhaimin Iqbal
DI TENGAH hiruk pikuk pemberitaan tentang daging sapi, ada hal yang harus disadari oleh masyarakat yaitu bahwa harga daging sapi nampaknya akan terus semakin mahal. Demand dalam negeri yang akan cenderung melonjak oleh pergeseran konsumsi ketika masyarakat meningkat kemampuan ekonominya – lihat kasus China – akan semakin jauh meninggalkan supply-nya. Problem serius bagi masyarakat luas, tetapi peluang besar bagi yang mau menggarapnya.
Melebarnya gap antara demand dengan supply ini dapat kita lihat dari data dua tahun terakhir. Tahun 2011 lalu konsumsi daging sapi nasional kita sekitar 450,000 ton, lebih dari sepertiganya (157,000 ton) diimpor. Tahun 2012 konsumsi daging meningkat sekitar 7.5 % menjadi 484,000 ton sementara yang diimpor adalah turun menjadi sekitar 85.000 ton.
Asumsinya tentu kekurangan nya terisi oleh supply daging dalam negeri, bagaimana kalau tidak? Di situlah terjadi pelebaran gap antara demand dan supply yang menyebabkan harga daging sapi melonjak di tahun 2012 lalu. Gap tersebut masih akan terus melebar karena tahun 2013 diperkirakan kebutuhan daging sapi akan mencapai sekitar 500.000 ton sementara impor direncanakan akan hanya mencapai 80.000 ton.
Lantas apakah solusinya memperbesar impor? Untuk jangka pendek mungkin itu yang masih harus terpaksa dilakukan. Tetapi jangka panjang tentu harus ada solusi yang lebih strategis.
Apakah departemen terkait yaitu Departemen Pertanian tidak melihat masalah ini dan tidak berbuat sesuatu? Oh di sana banyak orang pinter dan segudang Doktor di bidangnya – tentu mereka sudah banyak berbuat.
Dari laporan menteri yang terkait, saya melihat mereka telah berbuat antara lain dengan melakukan pengendalian impor, perbaikan distribusi, penyelamatan sapi betina produktif, optimalisasi RPH, Peningkatan Produktifitas, Good Farming Practice dlsb. Hanya saja saya melihat ini belum cukup, mengapa?
Pertama dengan langkah-langkah normatif tersebut, saya belum melihat supply daging sapi akan bisa meningkat secara significant dalam foreseeable future. Kedua ada gap kebutuhan daging yang nampaknya belum diperhitungkan.
Seperti kasus China yang saya tulis dalam tulisan khusus “Peluang Di Pangan Dan Pakan” pekan lalu, ada peningkatan konsumsi daging yang tidak proporsional terhadap peningkatan jumlah penduduk. Ketika pertumbuhan penduduk rata-rata Indonesia sedikit dibawah angka 1.5 % pertahun. Kebutuhan daging sapi dari tahun 2011 ke 2012 meningkat sampai 7.5% !. Bila tren semacam ini terus berlanjut, maka demand gap terhadap supply akan melonjak – dan hal seperti inilah yang sudah terjadi di China antara 2001-2011 seperti dalam tulisan saya tersebut di atas.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka di tahun 2020 ketika penduduk Indonesia akan mencapai sekitar 275 juta orang kebutuhan daging sapi saya perkirakan akan mencapai sekitar 927,000 ton – atau hampir dua kali dari kebutuhan sekarang.
Bisa dibayangkan melebarnya gap antara demand dengan supply itu – yang tentu saja akan mendorong harga daging sapi yang semakin tidak terjangkau. Lantas apa solusinya? Dari mana kita memulainya? Di sinilah lahan amal Anda yang tertarik untuk ikut terlibat memberi solusi bagi problem yang ada di masyarakat ini – sekaligus menjadikannya peluang usaha yang sangat menarik kedepan.
Peluang Di Kebutuhan Daging
Peluang itu datangnya tidak seperti ayam dan telur – mana yang lebih dulu, kita mulai dari mana saja insyaAllah bisa. Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar di samping.
Kita bisa mulai memanfaatkan peluang dengan kreativitas sektor hilir, dengan mengubah dari paradigma ‘Daging Adalah Daging Sapi’ (masyarakat mengutamakan daging sapi ) menjadi ‘Daging Bukan Hanya Sapi’ (masyarakat tidak harus mengandalkan daging sapi untuk pemenuhan kebutuhan dagingnya). Menu-menu makanan yang mengandalkan daging selain sapi akan menjadi semakin menarik.
Peluang lainnya adalah di industri pakan, yang miss dari program pemerintah untuk swasembada daging seperti yang saya kutip dari laporan menteri pertanian tersebut di atas adalah belum adanya fokus pada perbaikan supply pakan.
Apalagi kalau kita berpegang dari petunjuk di al-Qur’an bahwa ketika kita disuruh memperhatikan apa yang kita makan, rangkaian ayat-ayatNya ini ditutup dengan kita disuruh memperhatikan kenikmatan (makanan) ternak kita.
فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ إِلَى طَعَامِهِ
أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاء صَبّاً
ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقّاً
فَأَنبَتْنَا فِيهَا حَبّاً
وَعِنَباً وَقَضْباً
وَزَيْتُوناً وَنَخْلاً
وَحَدَائِقَ غُلْباً
وَفَاكِهَةً وَأَبّاً
مَّتَاعاً لَّكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ
“maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya…untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS: abasa [80]: 24-32).
Di sinilah salah satu peluang terbaik itu, di negeri ini sangat cukup tersedia bahan baku untuk menyiapkan pakan untuk ternak-ternak kita. Tetapi siapa yang akan menggarap ini?
Selama ini sudah sangat banyak industri pakan skala besar milik para konglomerat global – yang sebagian bahan bakunya juga harus diimpor. Tetapi ternyata inipun belum menjawab kebutuhan daging kita.
Peluang yang kemudian bisa digarap oleh orang kebanyakan seperti kita-kita barangkali adalah sektor UKM-nya. Bayangan saya adalah tumbuhnya usaha-usaha kecil pakan ternak yang mengandalkan ketersediaan bahan baku setempat untuk menunjang tumbuhnya peternak-peternak skala kecil-menengah di sejumlah wilayah yang menyebar luas ke seluruh nusantara.
Problem bersama masyarakat, menjadi peluang bersama dan digarap rame-rame bersama masyarakat pula. InsyaAllah kita bisa!
Penulis Direktur Gerai Dinar, kolumnis hidayatullah.com