Oleh: Muhaimin Iqbal
BULAN April lalu IMF me-release perkiraannya tentang GDP per kapita negara-negara di dunia sampai lima tahun mendatang atau 2016. Dari 183 negara anggota IMF, menurut mereka ini Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan memiliki GDP per kapita sebesar US$ 4,657,- dan pada tahun 2016 meningkat menjadi US$ 6,556,-. Ini menjadikan Indonesia negara ‘termakmur’ nomor 118 dari 183 negara anggota IMF – bila diukur dari pendapatan per kapita-nya. Tetapi yang penting bukan angka-angka atau urutan ini, yang lebih penting adalah apakah kita bisa menjadikannya pelajaran?
Berikut saya sajikan perbandingan kita dengan negara-negara di sekitar kita yang rata-rata lebih makmur – kecuali Phillipina. Bisa jadi negara-negara tersebut jumlah penduduknya jauh lebih kecil sehingga ketika GDP-nya ketika dibagi jumlah penduduk (GDP per kapita) menjadi besar. Maka saya hadirkan pembanding yang agak jauh yaitu China dan Brasil.
China dengan jumlah penduduknya yang sekitar 5 kali lebih banyak dari Indonesia – mereka juga masih lebih makmur. Brazil mempunyai banyak kemiripan dengan Indonesia yaitu sama-sama berada di garis khatulistiwa, dan jumlah penduduk mereka nomor 5 terbesar di dunia, dibawah Indonesia yang berada di urutan ke 4. Lagi-lagi Brazil masih lebih makmur.
Fakta-fakta ini tidak untuk membuat kita pesimis, sedih atau bahkan kufur nikmat. Sebaliknya ini menjadi introspeksi kita semua untuk bisa berbuat lebih baik kedepan. Yang menjadi ukuran nampaknya bukan banyaknya sumber daya alam yang kita miliki, bukan juga jumlah penduduk.
Sumber daya alam yang banyak bila tidak mampu mengelolanya dengan baik, maka dia tidak menjadikannya sebagai sumber kemakmuran. Demikian pula penduduk yang seharusnya menjadi asset negeri ini, bila tidak diberdayakan secara optimal maka dia berbalik menjadi liability.
Mengenai interaksi antara sumber daya alam dengan budaya penduduknya ini salah satunya dapat kita pelajari dari kebiasaan ketika berbuka puasa. Kita yang hidup di Indonesia terbiasa berbuka puasa dengan aneka macam makanan dari kolak, buah, sirup, nasi sampai sayur-mayurnya, tetapi justru dengan banyaknya makanan ini kita malah mengantuk ketika shalat tarawih.
Sebaliknya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencontohkan berbuka itu dengan beberapa butir kurma saja, dan ini dapat kita saksikan hingga kini Di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram ketika berbuka puasa – hasilnya orang-orang pada umumnya mampu shalat tarawih dan qiyamul lail yang panjang-panjang dan sedikit saja yang merasa ngantuk.
Budaya ini juga ‘menular’ kepada bagaimana kita memberi makan hewan ternak kita. Indonesia yang hijau royo-royo sejauh mata memandang, ternyata tidak mampu menghasilkan ternak-ternak pedaging yang gemuk-gemuk sehingga kita harus impor daging dari negeri lain. Ternak-ternak kita tidak cukup menghasilkan susu, sehingga kita-pun harus impor susu.
Bandingkan ini dengan sejarah nabi-nabi yang rata-rata hidup di padang pasir, mereka seluruhnya menggembala kambing, dan mereka juga minum susu kambing. Pertanyaannya adalah diberi makanan apa kambing-kambing mereka ini sehingga menghasilkan daging dan susu yang cukup?
Dari dua contoh tersebut, kini kita bisa melihat bahwa ada makanan yang sedikit tetapi cukup untuk membuat manusia-manusia yang memakannya sehat dan kuat. Demikian pula ada sumber-sumber pakan hewan ternak yang tidak perlu banyak tetapi mampu membuat hewan ternak tumbuh cepat untuk menghasilkan daging dan mampu pula menghasilkan susu yang banyak.
Yang terakhir inilah yang antara lain dari kajian kami adalah tumbuhan alfalfa. Bahkan dari sebuah buku tentang alfalfa yang terbit di Amerika yang disumbangkan oleh pembaca setia situs ini menyebutkan sejarah alfalfa sebagai berikut: “It was grown in ancient times by the Arabians and Persians, and was then introduced into Europe and from there into Central and South America by the first Spanish explorers and settlers.” Mengenai namanya sendiri mereka akui sebagai “The name of ‘alfalfa’ comes from Arabic and means ‘best fodder’.” Kekuatan ekonomi pertanian dan peternakan Amerika-pun ternyata berasal dari negeri para nabi – yang seharusnya umat inilah yang lebih berhak untuk mengikutinya.
Jadi ada jenis-jenis bahan makanan tertentu yang efektif untuk manusia, dan ada pula tanaman-tanaman tertentu yang efektif untuk hewan. Kita tinggal belajar untuk menemukannya dengan menggali dari petunjuk-petunjuknya baik yang ada di ayat-ayat al-Qur’an maupun dari sirah umat terdahulu.
Bila kita mampu mengelola sumber daya yang ada dengan petunjukNya ini, maka angka-angka yang diprediksi oleh IMF yang tetap menempatkan kita pada urutan 118 hingga lima tahun mendatang bisa kita jungkir balikkan.
Apalagi bila semua upaya ini kita lakukan dengan keimanan dan ketakwaan, maka keberkahan itulah yang dijanjikan Allah:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: 7: 96)
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar
Source : IMF April 2011