Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
TAK pantas disebut aktivis dakwah jika perkataannya meremehkan as-sunnah. Tak pantas disebut Mukmin jika ia bersombong dengan hartanya di hadapan Allah Ta’ala Yang Maha Kaya, bahkan seandainya ia mampu bersedekah emas sebesar Jabal Uhud. Patutkah seseorang disebut sebagai ahlus sunnah jika kepada atsar para sahabat ia tidak hormat?
Miris hati ketika di sebagian majelis mendengar perkataan yang meremehkan sunnah dan atsar para sahabat, justru dari aktivis yang bersemangat. Sunngguh, semangat saja tidak cukup. Semangat tanpa disertai kesediaan menuntut ilmu dan ketundukan pada sunnah, justru jadi pembuka syubhat.
Sangat berbeda orang yang tidak mampu melaksanakan sunnah dengan mereka yang menolak atau meremehkan sunnah. Sangat berbeda. Ada orang yang memiliki penghormatan terhadap sunnah Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Ia mencintainya, tapi tak mampu melaksanakannya. Tetapi ada pula orang yang merendahkan sunnah dan melecehkannya karena memandang ada yang lebih baik daripada tuntunan Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.
Seseorang bertanya, “Bagaimana jika perkataannya itu bercanda?” Sungguh, seorang Mukmin tak patut bercanda dengan merendahkan as-sunnah dan atsar para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Bagi seorang Mukmin, canda pun tidak menolak kebenaran dan meremehkan petunjuk. Ia berhati-hati agar tak tergelincir dalam perkataan batil.
Ingatlah ketika Abu Al-Qasim Al-Asbahani, ‘alim besar dari kalangan Syafi’iyah mengingatkan, “Ahlus-sunnah dari kalangan salaf mengatakan, ‘Apabila seseorang telah mencerca atsar, maka sudah pantas baginya untuk diragukan keislamannya.’”
Abu Muhammad al-Hasan Ibn Ali Ibn Khalf al-Barbahari, penulis kitab Syarhus Sunnah, mengingatkan, “Apabila kamu mendengar seseorang mencerca atsar atau menolaknya atau menginginkan selainnya, maka ragukan keislamannya dan janganlah kamu ragu bahwa ia adalah seorang pengekor hawa nafsu dan mubtadi’.”
Renungkanlah.
Sama tindakannya, sangat berbeda kedudukannya. Perempuan yang meminta mahar tinggi karena terpengaruh adat, atau karena mata duitan, berbeda sekali dengan yang menuntut mahar tinggi karena merendahkan sunnah. Berhati-hatilah jika engkau menghadapi yang ketiga ini.
Terhadap tingginya mahar karena adat, dekatilah dengan penuh adab dan bicaralah dengan santun. Mereka sesungguhnya tak mempersulit. Adakalanya justru engkau yang harus gigih berusaha dan meniatkannya sebagai dakwah. Tak jarang, perempuan itu sesungguhnya tak menghendaki.
Adapun terhadap yang meninggikan mahar karena mata duitan atau karena gengsi, terserah kepadamu untuk meneruskan atau menghentikan proses. Telah jelas bagimu akhlak dan sikapnya, sehingga engkau dapat memperhitungkan resiko yang akan engkau terima jika tetap melanjutkan. Adapun terhadap perempuan yang menuntut mahar tinggi karena memandang rendah sunnah terkait mahar, maka sungguh tak ada kebaikan padanya. Tinggalkan dia. Semoga Allah Ta’ala berikan pengganti yang jauh lebih baik dan penuh barakah. Atau nasehati dia sampai berubah dan bertaubat. Jangan meneruskan proses kecuali jika engkau melihat bahwa ia sungguh-sungguh berubah. Takutilah jika ini menjadi penghapus barakah.
Menikahlah dengan memuliakan sunnah. Bukan merendahkannya. Sesungguhnya bersama sunnah ada barakah. Ini yang sangat penting. Hal yang serupa juga berlaku terhadap para laki-laki. Sama tindakannya, bisa berbeda sekali kedudukannya. Berbeda pula sikap terhadapnya.
Tak masalah jika ia ingin memberi mahar yang cukup besar sekiranya ia mampu. Tetapi yang terbaik adalah menyederhanakannya. Yang harus engkau tinggalkan adalah laki-laki yang ingin meninggikan mahar karena mentertawakan sunnah dan bersombong terhadap kekayaannya. Jika ia bermaksud menyombongkan kekayaannya yang tak seberapa, maka inilah jalan kehinaannya. Takutlah ini menimpa rumah-tanggamu. Jika ia meninggi-ninggikan mahar (meskipun jumlahnya, sungguh tak seberapa) karena merendahkan sunnah, maka ingatlah nasehat Imam Ahmad rahimahullah.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Barangsiapa menolak suatu hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia berada di tepi jurang kehancuran.”
Teriris-iris rasanya hati ini manakala ada yang mentertawakan mahar seorang sahabat radhiyallahu ‘anhu. Terlebih jika ia seorang aktivis. Sungguh, andaikata ia berdiri sepanjang malam untuk beribadah dan puasa sepanjang hari, niscaya tak dapat menyamai kemuliaan satu saja dari sahabat Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.
Mari kita renungkan sejenak hadis ini. Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku! Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Gunung Uhud, maka tidak akan menyamai satu mudd (sedekah) bahkan tidak setengahnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah & Ahmad).
Meski wujudnya tidak menghina satu atau sebagian sahabat secara langsung, tetapi mentertawakan kecilnya mahar mereka tidak termasuk penghinaan? Ada tertawa, ada mentertawakan. Keduanya berbeda. Memang sikap meremehkan apa yang diperbuat tidak secara persis sama dengan menghina sahabat, tetapi ini dapat menjadi jalan untuk menggelincirkan kita lebih jauh sampai kepada keadaan yang diperingatkan oleh Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Na’udzubillahi min dzaalik.
Semoga catatan ringkas ini bermanfaat. Semoga kita dapat menghindari perkara-perkara yang memusnahkan barakah pernikahan. Sebaliknya, kita mengerjakan hal-hal yang Allah Ta’ala ridhai.*
twitter, @kupinang