Sambungan artikel PERTAMA
oleh: Salim A. Fillah
***
Ayahanda Presiden,
Baik sesuai Siklus Yusuf atau tidak, dalam lintasan sejarah tampak nyata bahwa kelimpahan dan kesempitan memang datang dan pergi berganti-ganti nyaris secara niscaya. Tak ada negara yang terjamin bebas dari disambangi paceklik. Pun bahkan, sekali lagi untuk menegaskan, jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa; maka pintu keberkahan yang dibukakan dari langit dan bumi tak selalu berbentuk kesejahteraan tanpa jeda, melainkan juga berupa sisipan kesempitan yang membuat manusia kembali bermesra padaNya.
Menghadapi paceklik itu, dalam ketidakpastian tentang seberapa kuat ia akan menghantam, ada di antara kita yang mengkhawatirkan sang krisis. Keterbatasan pemahaman tentangnya dan berbagai gejala yang telah terasa, suka tak suka menimbulkan berbagai kegelisahan dan bahkan pesimisme. Inilah yang dialami sebagian besar masyarakat kini, terlebih mereka yang pernah mengalami tahun-tahun pahit 1997 dan menyisakan trauma dalam hati.
Barangkali mereka yang menginsyafi keniscayaan datangnya krisis itu akan lebih mengkhawatirkan kesiapan kita menghadapinya. Para jamhur ekonomi makro, para cendikia pengamat pergerakan mata uang maupun pasar saham, para winasis yang menyeksamai neraca perdagangan, cadangan devisa, maupun berbagai rasio indikator mungkin akan lebih jernih melihat hal ini.
Dan di luar sang paceklik serta kesiapan menghadapinya, bersebab keterbatasan ilmu penyusunnya, tulisan ini hanya hendak mengajak berbincang tentang sikap menghadapi krisis itu. Sebab sungguh diyakini, nestapa paling malang yang berhasil disikapi pasti menghasilkan sesuatu yang lebih baik dibanding keberhasilan paling gemilang yang gagal disikapi. Bahkan, berhasil menyikapi kegagalan, berlipat baiknya daripada gagal menyikapi keberhasilan.
Sejarah pernah menaburkan teladan-teladan sikap utama dari para mulia di zaman paceklik menyapa mereka. Semoga dengan menyimaknya, kita tertuntun pula menyusuri celah-celah berkah hingga Allah karuniakan kebaikan di masa depan, dunia dan akhirat.
Sebagaimana ditelaah oleh Dr. Jaribah ibn Ahmad Al Haritsi dalam disertasinya di Universitas Ummul Qura Makkah yang meraih predikat summa cum laude, Al Fiqhul Iqtishadi Li Amiril Mukminin ‘Umar ibn Al Khaththab; ada hal-hal menarik dari Sayyidina ‘Umar selaku pemimpin negeri dalam masa Ramadah yang patut dicatat.
Pertama, dia sebagai kepala negara memikul penuh tanggungjawab atas hal tersebut. Bahkan meskipun diyakinkan berulangkali oleh para sahabat bahwa semua yang terjadi merupakan takdir Allah, ‘Umar selalu merasa bahwa pangkal persoalannya adalah kepemimpinan dirinya yang dalam pandangannya amat jauh dari kualitas pribadi yang dimiliki kedua pendahulunya, yakni Rasulullah dan Abu Bakr. Maka ‘Umar selalu takut kepada Allah kalau-kalau ummat ini binasa dalam pemerintahannya. Dengan bercucuran airmata, berulang-kali dia berdoa, “Ya Allah, jangan kau jadikan ummat Muhammad binasa dalam kepemimpinanku.”
Barangkali ada berlapis-lapis alasan bagi ‘Umar dalam paceklik itu, semuanya berupa keadaan yang di luar kendalinya; hujan yang tak turun, anomali musim, panen yang gagal, para pengungsi yang membanjiri Madinah, wabah penyakit yang datang dari arah Syam. Tapi dia memilih untuk bermuhasabah, barangkali dosa dan kelemahannyalah yang jadi persoalan. Alih-alih menyalahkan berbagai hal ataupun pihak, dia menjadi lebih banyak diam, bermuhasabah, dan beristighfar.
Kedua, ‘Umar mengambil sikap untuk bersama rakyatnya dalam keprihatinan. ‘Umar adalah penyuka susu dan keju. Tapi sepanjang 2 tahun Ramadah, dia haramkan untuk dirinya makanan selain roti tepung kasar, garam, dan minyak. Para sahabat menyaksikan bagaimana kulit ‘Umar yang semula putih kemerah-merahan, berubah menjadi kuning kehitam-hitaman bersebab hidup prihatin yang dia paksakan untuk dirinya.
Barangkali hidup sederhana takkan menyelesaikan krisis dan tidak pula memberi solusi kepada paceklik parah itu. Penghematan yang terjadi juga tak signifikan sama sekali. Tapi ketika itulah rakyat akan melihat bahwa sang pemimpin ada bersama mereka, merasakan hal yang sama seperti yang mereka alami. Dengan itu, bertambah tentramlah hati mereka yang dipimpinnya. Ketika rakyat hatinya tenang, bahkan pemimpin yang tak solutif sekalipun akan melihat bahwa rakyatnya punya kemampuan dahsyat untuk mencari solusinya sendiri.
Ketiga, ‘Umar menjadikan masa Ramadah sebagai wahana untuk membangun solidaritas menyeluruh kepada berbagai bangsa yang dipimpinnya. Betapa dia meneladankan langsung mengangkuti tepung, minyak, dan lauk kering untuk para pengungsi dan penduduk Madinah. Dia pula menghimbau dan menyemangati rakyatnya untuk berbagi dan menanggung beban sesama. Dia tepuk-tepuk pundak seorang ‘relawan’ muda bernama Al Ahnaf ibn Qais, yang dengan terus berlari-lari sepanjang hari memenuhi hajat orang-orang, lalu ketika habis tenaganya, dia mengelemprak sembari menangis dan berdoa, “Ya Allah, jangan murka padaku jika masih ada hambaMu yang kelaparan.”
Kita sebagai bangsa juga punya modal sosial yang amat kuat untuk membangun solidaritas itu. Bahkan mungkin kita adalah salah satu negara dengan lembaga kemanusiaan yang amat banyak jumlahnya, bekerja menyalurkan zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah, hadiah, dan bahkan dana CSR dalam berbagai kegiatan sosial. Dukungan dan kebersamaan pemerintah akan kian meneguhkan kita pula sebagai bangsa yang tangguh.
Keempat, ‘Umar terus memikirkan dan merumuskan sistem jaminan sosial yang bisa membuat rakyatnya bertahan di tengah paceklik. Segala sumber daya yang ada di Baitul Maal, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dikisahkan bagaimana dia mengumpulkan 60 orang, lalu memasak sejumlah tepung menjadi roti dan daging kering sebagai lauknya lalu mempersilakan mereka makan. Ketika ditanyakan apakah mereka merasa kenyang dengan itu, semua menyatakan ya. Maka ‘Umar memutuskan, sejumlah bahan-bahan yang tadi dimasaklah yang akan diberikan sebagai tunjangan sosial bulanan bagi tiap jiwa yang musnah sumber penghidupannya selama Ramadah.
Kelima, ‘Umar menjadikan sektor pangan sebagai perhatian utama selama krisis dan setelahnya. Dari kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salaam pun didapati bahwa, dalam masa kelangkaan di mana bahkan emas dan perak jadi tak berguna, Mesir selamat karena menata dengan baik konsumsi dan persediaan logistiknya. ‘Umar pun meminta Abu Musa Al Asy’ari untuk mengajarkan kebiasaan kaumnya yang dipuji Rasulullah, yakni; semua keluarga dalam tiap unit masyarakat mengumpulkan bahan pangan yang dimiliki menjadi satu dalam lumbung, kemudian pembagian kembali untuk konsumsi diatur dengan tata laksana gotong-royong yang adil dan penuh kebersamaan.
Inilah kebijaksanaannya; jika lumbung terpusat ala Yusuf tidak relevan untuk negaranya yang membentang dari Gurun Sahara hingga Sungai Indus; maka ketahanan pangan dibangun dalam unit-unit kecil masyarakat. Teknologi budidaya, pemanenan, pengolahan, dan penyimpanan panen di masa berikut kiranya amat membantu lahiriah dari jiwa-jiwa yang berbagi suka dan duka.
‘Umar pula mengunjungi beberapa daerah pantai dan menemui para nelayan. Dengan pujiannya ketika membersamai mereka melaut, “Betapa baiknya cara kalian menjemput rizqi Allah”, dia meminta pelipatgandaan penyediaan ikan dan membiasakan rakyatnya memakan hasil laut. ‘Umar juga melarang segala jenis ternak dan hewan peliharaan diberi makan dengan apa yang dapat dikonsumsi manusia. Dia sangat marah ketika pada sebuah peternakan unta ditemukan kotoran yang mengandung jejak tepung sya’ir.
Keenam, ‘Umar menggesa pembangunan infrastruktur dan jaminan keamanan yang mendukung kelancaran suplai logistik. Pada jalur antara Syam ke Madinah, Kufah ke Madinah, dan bersambung hingga Yaman; didirikan pos-pos penjagaan dan tempat-tempat istirahat kafilah yang memadai. Di tahun berikutnya, setelah melihat lama dan mahalnya angkutan darat dari Mesir ke ibukota, ‘Umar memerintahkan Gubernur ‘Amr ibn Al ‘Ash untuk menggali kanal yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, sehingga hasil pertanian Mesir yang berlimpah dapat diangkut dengan cepat ke Madinah untuk menekan harganya. Terusan itu tetap berfungsi hingga akhir masa pemerintahan Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan.
Ketujuh; ‘Umar memberlakukan beberapa kebijakan yang meringankan beban tanggungan masyarakat. Selama masa Ramadah, zakat hewan ternak ditunda penarikannya, pemeroleh jaminan sosial diperluas dari semula bayi tersapih menjadi sejak bayi lahir, bahkan beberapa hukuman ditangguhkan penerapannya termasuk pencurian yang benar-benar bersebab kebutuhan dan tak mencapai nilai seperempat dinar. Sebaliknya, ketika menemukan lahan subur milik para pemuka kaum tak digarap dalam tinjauannya ke Iraq, dia tegas mengultimatum bahwa jika dalam waktu tertentu sang tuan tanah tak menjadikannya produktif, negara berhak menyita dan mengamanahkannya pada yang mampu menanaminya.
Kedelapan, boleh jadi inilah yang terpenting; keberserahan diri ‘Umar kepada Allah dan upayanya dalam memohon pertolongan Allah. Suatu hari di puncak paceklik, digandengnya erat Sayyidina ‘Abbas ibn ‘Abdil Muthalib setelah bersama-sama menunaikan shalat istisqa’. Dengan berlinang dia berkata, “Ya Allah, dulu kami memohon hujan dengan perantaraan NabiMu. Kini kami mohon turunkanlah lagi hujan itu dengan perantaraan doa Paman NabiMu ini.” Tak lama kemudian angin mengarak awan hitam di langit Madinah, dan hujanpun turun dengan deras. Inilah sang pemimpin, dia merunduk pada Allah dan menggandeng erat orang-orang shalih.
Ayahanda Presiden yang terhormat,
Kami akhiri hatur-tutur ini dengan tiga kata yang menggambarkan sifat pemimpin menurut Pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Rangga Warsita, yakni momor, momot, dan momong. Momor berarti hadir, dekat, bersama, menyatu, dan seperasaan dengan yang dipimpin. Momot artinya mampu memuat segala beban, keluhan, dan harapan yang dipimpin. Adapun momong artinya, menjaga, mencukupi, mengasuh, mengasihi, dan mengasah yang dipimpin. Doa kami selalu, semoga Panjenengan nDalem mampu mengemban amanah lebih dari 250 juta manusia yang amat berpotensi menjadi pendakwa, bukan pembela di akhirat sana.*
Hamba Allah yang tertawan dosanya,
twitter: @salimafillah
FB: Salim A. Fillah