Oleh: Salim A. Fillah
INILAH kota berjuluk sepotong Syam yang jatuh di Hijjaz; ialah Thaif, di tahun kesebelas kenabian.
Sungguh penduduk kota ini sama sekali tak sesejuk cuaca negerinya, bahkan mereka lebih garang dari angin gurun Tihamah.
Inilah Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang telah ditolak oleh tiga bersaudara putra ‘Amr Ats Tsaqafi, pemimpin Thaif, tetap berupaya menyampaikan risalahnya.
Maka orang-orang yang takut kedatangan Muhammad merusak niaga mereka dengan Makkah ini makin murka atas seruan Sang Rasul. Mereka berkerumun, mencerca dan meneriakinya. Dari dua barisan mereka mengejar dan melemparinya dengan batu.
Tubuh Nabi itu lebam. Kakinya luka. Darah meleleh membasahi terompahnya. Zaid ibn Haritsah yang membentengi dengan tubuhnya, entah berapa rajaman yang tertoreh di kepala dan badannya.
Sang Nabi dihinakan dan diusir. Dia terus dikejar dan disakiti hingga tiga mil kemudian sampai di kebun anggur milik putra-putra Rabi’ah. Di sinilah mereka lalu meninggalkannya dan kembali ke Thaif. Adapun Rasulullah, tertatih beliau menghampiri sebatang pohon anggur, lalu duduk beristirahat meredakan rasa sakit yang zhahir maupun batin. Dengan senyum yang tertengadah ke langit namun airmata melelehi pipinya yang mulia, segala aduan hanya tertuju pada Penciptanya.
Utbah dan Syaibah ibn Rabi’ah yang sedang ada di kebunnya merasa iba melihat keadaan cucu ‘Abdul Muthalib itu. “Hai Addas”, panggil salah satu di antara keduanya kepada seorang pembantu, “Ambillah setandan anggur dan serahkan pada lelaki di sana itu.”
Addas beranjak menemui Sang Nabi. Diulurkannya anggur itu dan beliau menerimanya dengan tersenyum. “Siapakah namamu wahai saudara yang mulia?”, tanya Rasulullah. “Namaku Addas. Aku hanyalah pembantu Tuan Utbah dan Tuan Syaibah.” Addas memperhatikan, ketika memetik sebulir anggur dari tangkai, lelaki lusuh dan terluka namun berwajah seri itu menyebut nama Allah.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”, ucap Rasulullah sambil mengulurkan kembali anggurnya untuk menawari Addas. Addas menggeleng dan tersenyum.
“Kata-kata itu tak pernah diucapkan oleh orang-orang di negeri ini”, kata Addas.
“Dari manakah asalmu hai Addas, dan apa pula agamamu?”
“Aku seorang Nasrani. Aku penduduk negeri Ninaway.”
“Oh, dari negeri seorang shalih bernama Yunus ibn Matta?”, tanya Sang Rasul dengan penuh minat begitu Adas menyebut nama negeri asalnya. Mata Addas mengerjap, pupilnya melebar. Lelaki ini benar-benar membuatnya tertarik.
“Apa yang kau ketahui tentang Yunus ibn Matta?”, tanya Addas.
Sang Utusan tersenyum. “Dia saudaraku. Dia seorang Nabi, dan akupun seorang Nabi.”
Mendengar itu, Addas langsung merengkuh kepala Rasulullah. Dikecupnya dahi beliau dengan penuh cinta, diciumnya tangan beliau dengan penuh hormat, dan dikecupnya kaki beliau dengan penuh khidmat. Melihat kejadian itu Utbah dan Syaibah saling berbisik. “Demi Allah”, kata Utbah, “Muhammad telah merusak pembantu kita itu!”
Yang tertarik itu menarik. Maka Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah pribadi yang paling menawan di langit dan bumi, sebab cinta dan perhatiannya pada setiap insan yang dihadapi. Inilah kaidah penting pergaulan yang harus dihayati para da’i.
Alih-alih menghabiskan waktu membuat orang-orang menyadari pesona kita, jauh lebih bermanfaat bagi seorang pejuang untuk tertarik pada mereka yang diserunya menuju kebenaran. Ialah ketertarikan pada diri lawan bicara, dan segala hal yang terkait mesra dengan mereka. Addas, Ninaway, dan Yunus ibn Matta umpamanya.
Sesungguhnya ketampanan, kepandaian, dan ketaatan pada Allah memang pesona yang menawan mata maupun rasa. Tetapi alangkah memuakkan sesosok insan yang gemar mengunjuk-unjukkan betapa rupawan, betapa cerdas, dan betapa shalih dirinya. Yang dinanti para manusia dari setiap keunggulan jasmani maupun akal, juga kemesraan kita dengan Allah; hanyalah akhlaq mulia. Bukan yang lain.
Maka seperti Rasulullah, biarkan tangis kita tumpah-ruah hanya pada Allah; dan izinkan sesama merasakan manisnya senyuman langit yang merasuk ke hati mereka, sebab ia berhulu dari ketulusan dalam dada.*
Twitter @Salimafillah