Oleh: Salim A Fillah
BULAN Juni dan Juli 1812 itu memang memilukan. Setelah nyaris 2 pekan bombardemen oleh 40.000 serdadu Inggris di bawah pimpinan Kolonel Robert Rollo Gillespie, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles membiarkan anak buahnya melakukan penjarahan besar-besaran di Keraton Yogyakarta. Emas dan perak berpeti-peti, berbagai benda seni, pusaka, perhiasan; bahkan di bawah todongan, kancing baju Sultan Hamengkubuwono II yang terbuat dari berlian dipreteli para tentara berseragam merah itu.
Tapi emas bisa dicari, permata bisa dikumpulkan. Kehilangan terbesar Keraton Yogyakarta agaknya adalah sumber peradabannya; 7.000 buku jarahan 1812 itu kini berada di British Library, belum termasuk yang ada di koleksi pribadi. Seperti Sungai Tigris menjadi merah-hitam karena darah pembantaian dan tinta buku yang dihanyutkan pada 1258 memusnahkan peradaban Islam di Baghdad; Yogyakarta pada 1812 mengalami kemunduran parah dan lalu peradabannya, budayanya, politiknya, ekonominya, keseniannya mulai didikte penjajah.
Apa saja buku yang hilang itu?
Ini salah satunya. Serat Menak Amir Hamzah, ceritera dengan tokoh utama Paman Nabi ﷺ, ditulis oleh pujangga Keraton Yogyakarta dan di halaman persembahannya tertulis untuk; “Prabu Wanodya / Kang Jumeneng Ratu Agung / Kang Ngedhaton Tegalreja”. Seorang perempuan yang berkuasa dan dijunjung tinggi, dikenal sebagai Ratu Ageng, dengan Puri-nya di Tegalrejo.
Ditulis dalam huruf Arab Pegon dan berbahasa Jawa, dengan ketebalan 3.040 halaman alias 1.520 Folio terbuat dari daluwang (kertas serat kayu murbei), buku ini adalah naskah paling besar dalam koleksi British Library dari Asia Tenggara. Wow. Dan Serat Menak ini hanya satu di antara 70 naskah yang telah didigitalisasi lalu hasil pindainya dikembalikan ke Keraton Yogyakarta pada pertengahan tahun ini. Masih ada 6.970 lagi koleksi British Library dari penjarahan 1812 yang seharusnya dikembalikan. Itupun seharusnya dikembalikan naskah aslinya, bukan file scan-an.?
Nah, perhatikan nama yang tertulis di halaman persembahan. Dialah permaisuri Sultan Hamengkubuwono I yang bernama asli Niken Lara Yuwati, keturunan Sultan Bima dan Raja Gowa Tallo. Ratu Ageng Tegalrejo, demikian beliau biasa dipanggil, mendampingi suaminya berjihad 9 tahun melawan VOC (1746-1755), sampai melahirkan sang putra, calon Hamengkubuwono II di lereng Gunung Sindoro. Mahir memanah, tangkas berkuda, dan lihai memainkan aneka senjata; beliau juga dikenal sangat shalihah, cendikia, lagi dermawan; dengan penghasilannya di Tegalrejo dia berangkatkan banyak ‘ulama berhaji, dan dia selenggarakan majelis-majelis ilmu yang dipadati kaum santri.
Dan tentu jasa besarnya adalah menjadi pengasuh dan pendidik #sangpangeran #diponegoro di Tegalrejo, bagaikan seorang Ibu yang tegas dan galak tapi penuh kasih. Mengingat ‘Serat Menak Amir Hamzah’ ini dipersembahkan bagi sang Ratu perkasa; sangat memungkinkan ia jadi bagian ‘kurikulum’ pendidikan masa kecil Diponegoro.
Dibesarkan dengan kisah kepahlawanan Sayyidina Hamzah ibn ‘Abdil Muthalib, tak heran kelak dia begitu gigih dan tabah memimpin Perang Sabil Jawa (1825-1830).*
Diambil dari Instagram Salim A Fillah